Pelajaran Kedua Dari Bumi Andalas: Saatnya Indonesia Berbenah Lagi

kumparan.com
9 jam lalu
Cover Berita

Tragedi ini menyingkap betapa minimnya kesiapsiagaan bencana Indonesia saat itu. Tidak ada sistem peringatan dini tsunami yang efektif, dan tidak semua masyarakat mengenali tanda-tanda tsunami seperti surutnya air laut usai gempa. Akibatnya, banyak korban jiwa yang sebenarnya bisa dicegah dengan peringatan dan evakuasi lebih awal.

Titik balik pun dimulai setelah tsunami Aceh. Pemerintah Indonesia melakukan tanggap darurat masif dan mereformasi sistem penanggulangan bencana nasional. Kemudian lahirlah kerangka kebijakan baru melalui Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. UU ini menjadi dasar hukum jelas penanggulangan bencana, mengadopsi prinsip Hyogo Framework for Action agar pendekatan yang semula reaktif bergeser menjadi proaktif dalam pengurangan risiko bencana. Melalui UU 24/2007 tersebut, pemerintah pusat dan daerah diwajibkan bertanggung jawab menyelenggarakan penanggulangan bencana.

Tugas ini dilaksanakan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) di tingkat pusat dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) di tingkat provinsi/kabupaten. Pasal 18 dan 19 UU 24/2007 secara tegas memandatkan pembentukan BPBD di daerah sebagai upaya desentralisasi respons bencana hingga level lokal.

Sejak berdirinya BNPB, paradigma penanggulangan bencana di Indonesia berubah total. Penanganan bencana tidak lagi menunggu setelah musibah terjadi, tetapi menekankan mitigasi dan kesiapsiagaan sebelum terjadinya bencana. BNPB berperan mengoordinasikan upaya pencegahan, kesiapsiagaan, tanggap darurat, hingga pemulihan secara terencana dan menyeluruh. Berbagai langkah konkret dijalankan, dari pengembangan sistem peringatan dini (misalnya Indonesia Tsunami Early Warning System di Samudra Hindia), penyusunan peta risiko bencana dan kajian ilmiah di daerah rawan, penandaan jalur evakuasi serta pembangunan infrastruktur evakuasi di zona rentan, hingga program edukasi dan simulasi kebencanaan di sekolah-sekolah serta komunitas lokal.

Upaya masif ini didukung payung hukum (UU 24/2007 dan peraturan turunannya) yang memastikan penanggulangan bencana menjadi prioritas nasional. Berkat pembenahan tersebut, Indonesia jauh lebih siap menghadapi berbagai bencana alam, dengan harapan tragedi sebesar tsunami 2004 tidak terulang di masa depan

Anomali Siklon Tropis

Dua dekade berselang, Sumatra kembali memberikan pelajaran berharga. Pada akhir November 2025, bencana banjir bandang dan tanah longsor melanda secara serentak Provinsi Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, meninggalkan jejak kehancuran luar biasa. Hujan lebat turun tanpa henti selama beberapa hari, menyebabkan sungai meluap dan lereng bukit runtuh. Ratusan desa terendam banjir dan infrastruktur vital lumpuh, sementara korban jiwa mencapai ratusan orang. Data BNPB mencatat banjir bandang akhir tersebut menelan lebih dari 400 korban jiwa di tiga provinsi terdampak.

Curah hujan ekstrem periode itu dipengaruhi oleh munculnya Siklon Tropis Senyar yang terbentuk di Selat Malaka, perairan di sebelah timur Aceh, pada akhir November 2025. Fenomena ini terbilang sangat langka, mengingat wilayah dekat khatulistiwa biasanya relative aman dari pembentukan siklon tropis karena kurangnya efek rotasi Coriolis.

Uniknya, Siklon Senyar bukan satu-satunya badai yang melanda Asia Selatan pada waktu itu. Secara bersamaan, Topan Koto terbentuk di wilayah Samudra Pasifik Barat Laut dan memicu banjir bandang serta longsor parah di Filipina, sebelum melemah mendekati Vietnam. Interaksi atmosfer yang tidak biasa antara Topan Koto di utara dan Siklon Senyar di selatan turut berkontribusi memperparah curah hujan di Sumatera.

Munculnya serentetan badai tropis intens di wilayah yang tidak biasa ini menimbulkan pertanyaan: apakah ini berkaitan dengan krisis iklim global? Para ahli meteorologi menyebutkan bahwa siklon tropis di dekat ekuator memang jarang terjadi, namun bukan tidak mungkin.

Meskipun membutuhkan penelitian lebih lanjut untuk memastikan kaitan langsung dengan perubahan iklim, tren umum yang sudah diketahui adalah pemanasan global cenderung membuat badai tropis lebih kuat dan curah hujan ekstrem makin sering terjadi. Fenomena cuaca ekstrem yang dulunya langka kini bisa muncul lebih sering dan dengan dampak lebih merusak.

Saatnya Berbenah di Era Krisis Iklim

Jika tsunami Aceh 2004 menjadi momentum kita berbenah dalam manajemen bencana, maka rangkaian bencana iklim di Sumatra akhir-akhir ini seharusnya menjadi peringatan keras untuk kembali meningkatkan ketangguhan masyarakat. Krisis iklim yang tengah terjadi semakin mempersempit ruang kelalaian manusia. Ketika pola cuaca semakin sulit diprediksi dan cenderung ekstrem, setiap kelalaian atau keteledoran dalam mengelola lingkungan akan berdampak sangat katastropik.

Mencegah perusakan lingkungan harus dipandang sebagai masalah keselamatan bersama, bukan sekadar isu politik atau beban sektoral semata. Prinsip ini sejatinya telah tertuang dalam UUD 1945 Pasal 28H ayat (1) yang menjamin bahwa setiap orang berhak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi. Amanat konstitusi ini dipertegas dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, di mana Pasal 67 menyatakan tegas: “Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mengendalikan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Artinya, perlindungan lingkungan sebagai kewajiban kolektif demi melindungi keselamatan rakyat, dan pembangunan ekonomi tidak boleh lagi mengabaikan daya dukung alam.

Menghentikan laju deforestasi, menata tata ruang berbasis mitigasi bencana, penegakan hukum terhadap perusakan lingkungan, dan edukasi publik tentang perubahan iklim. Semua upaya tersebut bukan lagi pilihan, melainkan keniscayaan demi melindungi keberlangsungan hidup bangsa Indonesia.

Indonesia perlu kembali berbenah dengan keseriusan sebagaimana pasca-tsunami 2004, kali ini dengan fokus pada krisis iklim dan kerusakan lingkungan. Setiap jengkal hutan yang diselamatkan, setiap sungai yang dinormalisasi, dan setiap simulasi evakuasi yang dilatih, bisa berarti ribuan nyawa terselamatkan di masa mendatang.

Dengan menjadikan keselamatan lingkungan sebagai kepentingan bersama, Indonesia dapat lebih tangguh menghadapi tantangan alam yang kian berat. Bukankah pepatah telah mengatakan, mencegah lebih baik daripada menanggulangi?


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
BOJ Kerek Bunga ke Level Tertinggi dalam 30 Tahun, Apa Dampaknya ke Pasar Global?
• 23 jam laluidxchannel.com
thumb
KPK Buru Kasi Datun Hulu Sungai Utara yang Kabur Saat OTT
• 21 jam laluliputan6.com
thumb
15 Ide Kado Natal 2025 untuk Laki-Laki, Berkesan dan Bermanfaat
• 15 jam lalugrid.id
thumb
Konon Kiai Sepuh NU Menggelar Musyawarah Kubro di Lirboyo Besok
• 13 jam lalujpnn.com
thumb
5 Militan ISIS Tewas Digempur AS di Suriah
• 18 jam laludetik.com
Berhasil disimpan.