Cahaya yang tak lagi bergantung

antaranews.com
4 jam lalu
Cover Berita
Mataram (ANTARA) - Lampu-lampu di Kantor Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) kini menyala tanpa jeda. Gangguan sekecil apa pun langsung berpindah ke penyulang cadangan dalam hitungan milidetik.

Bagi sebagian orang, itu sekadar urusan teknis kelistrikan. Namun bagi NTB, layanan listrik tanpa kedip adalah simbol dari sebuah ambisi yang lebih besar, yakni keluar dari ketergantungan energi dan menata kemandirian listrik sendiri.

Selama bertahun-tahun, sistem kelistrikan di kawasan timur Indonesia, termasuk NTB, kerap diposisikan sebagai “pengguna akhir” dari sistem besar Jawa-Bali. Ketika beban meningkat atau gangguan terjadi di pusat, daerah ikut merasakan dampaknya.

Dalam konteks itulah, pernyataan Gubernur NTB Lalu Muhamad Iqbal bahwa NTB tak ingin lagi menjadi beban bagi Pulau Jawa menemukan makna strategis. Kemandirian listrik bukan sekadar soal pasokan, melainkan tentang posisi daerah dalam peta pembangunan nasional.

Isu ini penting ditelaah karena listrik bukan hanya urusan energi. Ia adalah prasyarat dasar pelayanan publik, denyut ekonomi, dan kepercayaan investor.

Tanpa listrik yang andal dan berkelanjutan, mimpi besar pembangunan daerah mudah padam, sebelum benar-benar menyala.

Secara geografis, NTB dianugerahi potensi energi yang tidak kecil. Data Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral NTB menunjukkan potensi energi terbarukan mencapai lebih dari 13.500 megawatt.

Angka ini jauh melampaui kebutuhan listrik kawasan Bali, NTB, dan NTT yang saat ini sekitar 1,2 gigawatt.

Matahari bersinar hampir sepanjang tahun, angin bertiup di pesisir selatan dan timur, arus laut mengalir kuat di Selat Lombok dan Selat Alas, sementara biomassa dan sampah kota terus dihasilkan setiap hari.

Hanya saja, potensi besar itu belum sepenuhnya menjelma menjadi kekuatan nyata. Kontribusi energi baru terbarukan dalam sistem kelistrikan NTB masih sekitar 5 persen dari total daya mampu.

Sisanya masih ditopang pembangkit berbahan bakar fosil dan jaringan interkoneksi yang bergantung pada sistem luar daerah.

Kesenjangan antara potensi dan realisasi inilah yang membuat kemandirian energi sering terdengar sebagai jargon, bukan kenyataan.

Di sisi lain, PLN dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan upaya serius memperkuat keandalan listrik. Program pemeliharaan terpadu jaringan, peningkatan kualitas distribusi, hingga layanan zero down time di kawasan strategis pemerintahan memperlihatkan bahwa fondasi teknis terus dibenahi.

Hasilnya terlihat pada penurunan signifikan gangguan penyulang dan membaiknya indikator keandalan. Namun keandalan sistem hari ini belum otomatis menjamin kemandirian energi esok hari.

Kemandirian

Keandalan listrik dan kemandirian energi adalah dua hal yang saling terkait, tetapi tidak identik.

Keandalan berbicara tentang seberapa stabil listrik mengalir hari ini. Kemandirian berbicara tentang dari mana listrik itu berasal dan sejauh mana daerah mampu mengendalikannya.

Gagasan membangun super grid di kawasan Sunda Kecil membuka babak baru. Dalam skema ini, NTB dan NTT tidak lagi sekadar konsumen, tetapi produsen energi hijau yang memasok kebutuhan kawasan, termasuk Bali.

Logika ini berangkat dari realitas bahwa Bali menghadapi keterbatasan lahan untuk pembangkit, sementara NTB memiliki ruang dan sumber daya alam yang memadai.

Hanya saja, jalan menuju ke arah itu tidak sederhana. Transisi energi membutuhkan investasi besar, kepastian regulasi, dan kesiapan infrastruktur transmisi.

Pengembangan pembangkit surya skala besar, pembangkit arus laut, hingga biomassa dari sampah kota harus terhubung dalam sistem yang mampu menyalurkan listrik secara stabil.

Tanpa jaringan transmisi yang kuat dan sistem penyimpanan energi, potensi energi hijau akan terjebak sebagai proyek-proyek terpisah.

Di sinilah pentingnya melihat kemandirian energi sebagai proyek lintas sektor, bukan sekadar urusan teknis kelistrikan.

Tata ruang, perizinan, kesiapan SDM, hingga penerimaan sosial masyarakat sekitar lokasi pembangkit menjadi faktor penentu keberhasilan.



Keadilan akses

Kemandirian listrik juga tidak boleh dilepaskan dari dimensi keadilan. Program penyambungan listrik gratis bagi warga kurang mampu di NTB menunjukkan bahwa transisi energi harus menyentuh lapisan paling dasar masyarakat.

Listrik bukan hanya soal industri besar atau kawasan VVIP, tetapi juga tentang rumah-rumah kecil di pelosok desa yang selama ini hidup dalam keterbatasan energi.

Ketika listrik masuk, dampaknya langsung terasa. Aktivitas ekonomi rumahan tumbuh, anak-anak belajar lebih lama, dan kualitas hidup meningkat.

Dalam konteks ini, kemandirian energi harus dimaknai sebagai upaya memastikan setiap warga merasakan manfaat pembangunan, bukan hanya menikmati narasi besar tentang energi hijau.

Pemanfaatan sampah menjadi energi juga menawarkan contoh menarik. Di tengah krisis tempat pembuangan akhir (TPA) sampah yang kian penuh, energi biomassa membuka jalan keluar ganda, yakni mengurangi beban lingkungan, sekaligus menambah pasokan listrik.

Jika dikelola konsisten, pendekatan ini bisa menjadi model pembangunan yang menjawab persoalan lingkungan dan energi secara bersamaan.

Meski arah kebijakan terlihat menjanjikan, tantangan kemandirian listrik di NTB tetap besar. Energi terbarukan bersifat intermiten, bergantung pada cuaca dan kondisi alam.

Tanpa teknologi penyimpanan, seperti baterai skala besar, stabilitas sistem berisiko terganggu. Investasi untuk teknologi ini tidak kecil dan membutuhkan dukungan kebijakan jangka panjang.

Selain itu, risiko pendekatan proyek juga mengintai. Pembangkit energi hijau bisa berhenti sebagai monumen jika tidak diintegrasikan dengan sistem distribusi dan kebutuhan riil masyarakat.

Pengalaman di berbagai daerah menunjukkan bahwa proyek energi yang tidak disertai penguatan kelembagaan dan pengelolaan berkelanjutan cenderung kehilangan daya guna.

Aspek lain yang kerap luput adalah pengembangan sumber daya manusia. Kemandirian energi membutuhkan teknisi, perencana, dan inovator lokal yang memahami karakter wilayahnya sendiri.

Tanpa investasi serius pada SDM, daerah akan terus bergantung pada pihak luar, meski sumber energinya berasal dari tanah sendiri.


Menjaga arah

Kemandirian listrik di NTB adalah pilihan strategis yang sejalan dengan kepentingan nasional.

Ia mendidik publik tentang pentingnya energi bersih, memberdayakan daerah melalui pemanfaatan potensi lokal, mencerahkan arah pembangunan jangka panjang, dan menegaskan kontribusi daerah dalam menjaga ketahanan energi Indonesia.

Namun kemandirian tidak lahir dari satu kebijakan atau satu proyek. Ia tumbuh dari konsistensi, keberanian mengambil keputusan jangka panjang, dan kemampuan menjaga keseimbangan antara ekonomi, lingkungan, dan keadilan sosial.

Listrik tanpa kedip di kantor gubernur adalah awal yang baik, tetapi kemandirian sejati baru teruji ketika seluruh wilayah merasakan pasokan yang andal, bersih, dan terjangkau.

NTB memiliki cahaya matahari, angin, laut, dan sumber daya manusia yang cukup untuk menyalakan dirinya sendiri. Tantangan kini adalah memastikan cahaya itu tidak padam oleh setengah langkah.

Kemandirian energi bukan tujuan akhir, melainkan fondasi agar pembangunan daerah berjalan tegak, berdaulat, dan berkelanjutan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.




Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Gunung Semeru Erupsi Pagi Ini, Semburkan Abu Vulkanik Setinggi 1.200 Meter
• 2 jam laluokezone.com
thumb
Perempuan dan Pangan: Pilar Sunyi yang Menopang Ketahanan dan Masa Depan Bangsa
• 1 jam lalupantau.com
thumb
Rusia Cetak Surplus Dagang Rp1.700 Triliun pada Januari-Oktober 2025
• 3 jam laluidxchannel.com
thumb
Ringgo Agus Rahman Akui Canggung Komunikasi dengan Ayah dan Kakak
• 18 jam lalugenpi.co
thumb
Berlayar Kencang, Saham Perkapalan BBRM-SOCI Cs Melonjak Pekan Ini
• 14 menit laluidxchannel.com
Berhasil disimpan.