Jagat media sosial sedang ramai memperdebatkan gerai Roti’O di Jakarta yang menolak pembayaran tunai dalam transaksi. Perdebatan ini dipicu oleh sebuah video pendek yang diunggah di akun tiktok @arlius_zebua pada Jumat (19/12/2025).
Dalam unggahan tersebut, tampak seorang laki-laki memprotes kebijakan Roti’O yang menolak pembayaran tunai seorang nenek yang ingin membeli roti. ”…. Makanya aku bilang, cash itu harus kalian terima, masa harus QRIS. Nenek-nenek itu kan nggak ada QRIS-nya, gimana?”
Akun tersebut menyebutkan, peristiwa terjadi di salah satu gerai toko roti di kawasan halte busway Monumen Nasional, Jakarta Pusat. Selain mengunggah video itu, @arlius_zebua menyampaikan somasi terbuka kepada PT Sebastian Citra Indonesia sebagai pengelola dan yang bertanggung jawab secara hukum atas penjualan dan transaksi pembelian Roti’O kepada masyarakat, khususnya di Halte Busway Monas.
Ia menyatakan keberatan dan dirugikan atas pemberlakujan SOP (standard operating procedure) yang tidak menerima transaksi pembelian Roti’O secara tunai.
Pihak manajemen Roti’O meminta maaf atas kejadian tersebut sambil menjelaskan bahwa penggunaan aplikasi dan transaksi non-tunai di outlet mereka bertujuan untuk memberikan kemudahan dan menghadirkan berbagai promo dan potongan harga bagi pelanggan setia kami. Meski demikian, manajemen tetap melakukan evaluasi internal agar ke depannya tim mereka bisa memberikan pelayanan yang lebih baik.
Peristiwa semacam ini bukan baru pertama terjadi. Roti’O juga bukan satu-satunya gerai yang mengharuskan pembeli menggunakan metode pembayaran non-tunai dengan QRIS di gerainya. Di Jakarta banyak sekali gerai-gerai lain, terutama kedai kopi modern, yang menolak pembayaran tunai dan hanya mau menerima QRIS dengan berbagai alasan.
Fenomena ini mengindikasikan adanya salah kaprah yang muncul di kalangan masyarakat dalam menyikapi kehadiran QRIS. Padahal pembayaran tunai maupun nontunai setali tiga uang selama menggunakan rupiah ketika bertransaksi di wilayah Indonesia.
Hal itu telah diatur dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. Selain itu, ada Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/6/PBI/2018 tentang Uang Elektronik (PBI Uang Elektronik) dan Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 21/18/PADG/2019 tentang Implementasi Standar Nasional Quick Response Code Untuk Pembayaran.
Kewajiban bertransaksi dalam rupiah di wilayah NKRI diatur secara tegas dalam Pasal 23 ayat 1 yang menyebutkan:
”Setiap orang dilarang menolak untuk menerima Rupiah yang penyerahannya dimaksudkan sebagai pembayaran atau untuk menyelesaikan kewajiban yang harus dipenuhi dengan Rupiah dan/atau untuk transaksi keuangan lainnya di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, kecuali karena terdapat keraguan atas keaslian Rupiah.”
Apa yang dimaksud dengan mata uang rupiah dalam UU ini? Pasal 2 dalam UU tentang Mata Uang menyebutkan, mata uang rupiah terdiri atas rupiah kertas dan rupiah logam.
Uang dalam bentuk kertas dan logam yang beredar di masyarakat dan diedarkan oleh otoritas moneter itu dikenal sebagai uang kartal.
Seiring perkembangan teknologi digital, uang tidak hanya dalam bentuk uang kertas atau logam, tetapi juga dalam bentuk elektronik atau digital. Hal ini juga telah diatur dalam regulasi, yakni Pasal 1 angka 3 Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/6/PBI/2018 tentang Uang Elektronik (PBI Uang Elektronik). Disebutkan, uang elektronik merupakan instrumen pembayaran yang memenuhi unsur:
1) diterbitkan atas dasar nilai uang yang disetor terlebih dahulu kepada penerbit; 2) nilai uang disimpan secara elektronik dalam suatu media server atau chip; dan 3) nilai uang elektronik yang dikelola oleh penerbit bukan merupakan simpanan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang tentang perbankan.
Kemudian, sejalan dengan kebijakan gerbang pembayaran nasional (national payment gateway), tahun 2019 BI menetapkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 21/18/PADG/2019 tentang Implementasi Standar Nasional Quick Response Code Untuk Pembayaran. Peraturan ini menjadi dasar diberlakukannya QRIS yang diluncurkan secara resmi pada peringatan hari kemerdekaan ke-74 Repubik Indonesia, 17 Agustus 2019 di Jakarta.
Sumber dana yang digunakan Pengguna QRIS dalam transaksi pembayaran QRIS dapat berasal dari simpanan dan/atau instrumen pembayaran berupa kartu debet, kartu kredit, dan/atau uang elektronik yang menggunakan media penyimpanan server based sebagaimana Pasal 7 ayat (1) PADG BI QRIS.
Peraturan tersebut kemudian diubah pada 2022. Perubahan antara lain terkait batas atas jumlah transaksi dengan menggunakan QRIS yang sebelumnya Rp 5 juta menjadi Rp 10 juta.
Dengan adanya QRIS, masyarakat disodorkan oleh dua pilihan tatkala bertransaksi di wilayah Indonesia, yakni membayar secara nontunai atau tunai asalkan menggunakan mata uang rupiah. Pada prinsipnya, uang tunai dan uang nontunai hanya cara bayar, yang penting pembayaran dalam bentuk rupiah.
Dalam Pasal 23 ayat 1 UU Mata Uang sudah diatur bahwa satu-satunya alasan untuk menolak penggunaan rupiah adalah jika ada keraguan atas keaslian uang rupiah yang digunakan. Jadi, tidak ada ruang sedikit pun untuk alasan lain seperti kepraktisan, kenyamanan, kemudahan untuk memberi disko/promo, tidak menyediakan uang kembalian, atau alasan lainnya.
Bagaimana jika para pihak menolak bertransaksi menggunakan uang rupiah? Pasal 33 ayat (2) UU Mata Uang mengancam pelakunya dengan ancaman pidana kurungan selama 1 tahun dan pidana denda paling banyak Rp 200 juta. Petikannya sebagai berikut:
”Setiap orang dilarang menolak untuk menerima Rupiah yang penyerahannya dimaksudkan sebagai pembayaran atau untuk menyelesaikan kewajiban yang harus dipenuhi dengan Rupiah dan/atau untuk transaksi keuangan lainnya di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, kecuali karena terdapat keraguan atas keaslian Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).”
Jadi, berdasarkan pasal tersebut, menolak pembayaran rupiah secara tunai dianggap perbuatan melawan hukum dalam hukum pidana. Pelakunya diancam sanksi pidana sebagaimana dijelaskan dalam UU Mata Uang.
Untuk menghindari salah kaprah soal transaksi tunas-nontunai, Doni Primanto Juwono saat menjabat Deputi Gubernur Bank Indonesia, menegaskan, walaupun BI mendorong digitalisasi, merchant wajib menerima uang rupiah dalam bentuk fisik.
”Ini sekali lagi saya tegaskan, karena memang berkali-kali pertanyaan yang sama,” ujarnya dalam Konferensi Pers Hasil Rapat Dewan Gubernur BI Oktober 2024, di Jakarta, 16 Oktober 2024.
Dalam acara yang sama, Deputi Gubernur BI Filianingsih ketika itu mengimbau masyarakat untuk melaporkan apabila mendapati pedagang ultramikro yang meminta biaya tambahan untuk transaksi di bawah Rp 500.000. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 52 Ayat 1 Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyedia Jasa Pembayaran (PJP).
Transaksi non-tunai dengan QRIS kini semakin populer. Hingga April 2025, BI mencatat 6,05 miliar transaksi QRIS senilai Rp 579 triliun. Transaksi ini melibatkan 57 juta pengguna dan 39,3 juta merchant, yang 93,16 persen di antaranya adalah pelaku UMKM.
Adapun hingga April 2025, jumlah pengguna QRIS di Jakarta telah mencapai 6 juta orang dengan total volume transaksi 258,15 juta kali. Sementara secara nasional.
Berdasarkan data BI hingga Juni 2025, Jakarta menyumbang 43 persen dari total transaksi QRIS nasional meski jumlah penggunanya hanya 11 persen dan merchant 16,5 persen dari total nasional. Velositas pembayaran nontunai di Ibu Kota telah mencapai angka 1,25. Angka ini mencerminkan semakin masifnya penggunaan kanal digital seperti QRIS, e-money, dan mobile banking dalam keseharian warga.
Bagaimanapun, QRIS kini bukan sekadar inovasi teknologi, melainkan telah menjadi gaya hidup yang memudahkan transaksi harian mereka. Namun, sebagaimana inovasi teknologi lainnya, selalu ada kalangan yang dinafikan, yakni mereka yang tidak bisa mengadopsi teknologi tersebut. Mereka antara lain kelompok masyarakat yang tinggal di kawasan tanpa internet bahkan listrik dan sebagian besar warga senior. Hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di banyak negara.
Para pelaku usaha kiranya perlu berempati pada kelompok-kelompok yang dinafikan oleh kemajuan teknologi dalam konteks metode pembayaran. Selain empati, pelaku usaha mesti mematuhi regulasi soal metode pembayaran di wilayah Indonesia seperti diatur UU dan aturan lainnya.



