Kejar Target EBT di RUPTL, METI: Harus Ada Lelang Proyek 8 GW per Tahun

bisnis.com
2 jam lalu
Cover Berita

Bisnis.com, JAKARTA - Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) menilai bahwa pengadaan proyek pembangkit listrik berbasis energi baru terbarukan (EBT) dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero) 2025-2034 masih berjalan lambat.

Keterlambatan operasional pembangkit EBT berpotensi memicu pembengkakan subsidi dan kompensasi listrik. METI pun mendorong PLN untuk mempercepat tender proyek-proyek EBT yang telah direncanakan dalam RUPTL.

Adapun, dalam RUPTL teranyar, pemerintah akan menambah pembangkit listrik hingga 69,5 gigawatt (GW). Sebesar 42,6 GW dari total kapasitas itu berasal dari EBT. Perinciannya, pembangkit EBT itu terdiri atas energi surya sebesar 17,1 GW; air 11,7 GW; angin 7,2 GW; panas bumi 5,2 GW; bioenergi 0,9 GW; dan nuklir 0,5 GW.

Sekretaris Umum METI Paul Butarbutar mengatakan, untuk mengejar target pembangunan pembangkit EBT 42,6 GW hingga 2034, dalam 5 tahun ke depan PLN harus melakukan pengadaan atau tender minimal 8 GW proyek EBT per tahun.

googletag.cmd.push(function() { googletag.display("div-gpt-ad-parallax"); });

Pasalnya, proses pengadaan proyek pembangkit EBT hingga dapat akhirnya bisa mencapai commercial operation date (COD) atau beroperasi komersial memakan waktu cukup lama. Seperti misalnya, proyek pembangkit listrik tenaga air (PLTA) yang membutuhkan waktu pembangunan 7-8 tahun.

"Artinya, untuk 42 GW kalau dalam waktu 5 tahun, pengadaan per tahun itu harus sekitar 8 GW. Ini yang buat pusing PLN karena proses pengadaan saat ini memang masih agak lambat," ujar Paul, dikutip Minggu (21/12/2025).

Baca Juga

  • METI Kritisi Program PLTS 100 GW, Biaya Produksi Listrik Bisa Melonjak
  • PLTA Dituding Jadi Pemicu Banjir Sumatra, METI: Justru Cegah Laju Air ke Hilir
  • 2 GW PLTA Belum Ditender, METI Soroti Risiko Target RUPTL Molor

Guna mengakselerasi proyek-proyek EBT, METI merekomendasikan sejumlah perbaikan mekanisme proses pengadaan. Beberapa di antaranya pengetatan proses daftar penyedia terseleksi (DPT), pengumuman rencana pengadaan untuk 2-3 tahun ke depan, klasterisasi dan klasifikasi, jadwal yang jelas dan transparan, transparansi titik sambung (interconnection), pembatasan jumlah proyek yang dapat dimenangkan oleh satu pengembang, penunjukan langsung untuk proyek site specific, hingga kajian kelayakan proyek dibuat oleh PLN.

METI juga menyarankan dalam evaluasi calon pengembang, PLN meminimalisasi negosiasi dan mengutamakan pengembang lokal, serta memberlakukan scoring system dengan memasukkan komponen-komponen, seperti tingkat komponen dalam negeri (TKDN), technical score, hingga kesiapan pendanaan.

Ketua Umum METI Zulfan Zahar menekankan bahwa molornya proyek-proyek EBT di RUPTL berisiko memicu pembengkakan subsidi dan kompensasi listrik.

Menurutnya, keterlambatan proyek EBT akan memaksa pemerintah mengoperasikan pembangkit berbasis gas atau diesel yang memiliki biaya tinggi.

"Fiskal pasti akan berat. Harusnya 2027 sudah ada PLTA yang direncanakan COD sebesar 2 GW, tapi hari ini tendernya belum selesai. Ada kemungkinan 2 GW akan dikompensasi dengan LNG atau diesel," kata Zulfan.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Daftar Pemenang Melon Music Awards 2025: G-Dragon Raih 3 Daesang
• 12 jam lalumedcom.id
thumb
BMKG Peringatkan Masih Ada Potensi Cuaca Ekstrem di Wilayah Sumatra
• 8 jam laluwartaekonomi.co.id
thumb
Wolfsburg Kena Hattrick, Freiburg Malah Pulang Bawa Kemenangan Dramatis
• 19 jam lalutvonenews.com
thumb
Gus Yahya Hadiri Haul Gus Dur, Kena “Roasting” Inayah Wahid
• 21 jam lalukompas.com
thumb
Gunung Semeru Kembali Erupsi pada Minggu (21/12)
• 13 jam lalubisnis.com
Berhasil disimpan.