Ada benda-benda yang tampaknya tidak bersalah. Misalnya, karung beras, cerutu, atau tusuk sate. Kita berjumpa dengannya hampir setiap hari, tanpa didasari dengan rasa curiga. Namun, dalam situasi tertentu, benda-benda itu mendadak berubah menjadi watak. Ia tidak lagi sekadar benda; ia menjadi tanda. Dan tanda—seperti kita tahu—selalu lebih cerewet daripada pidato.
Karung beras sudah lama menjadi kamus visual kekuasaan di Indonesia. Ketika negara tak sanggup menjelaskan kebijakan dengan bahasa yang jernih, ia berbicara lewat beras. Beras adalah jawaban paling ringkas atas kemiskinan yang rumit. Ia mengenyangkan—setidaknya untuk sementara—dan memberi ilusi bahwa masalah telah ditangani. Dalam logika semacam ini, lapar dianggap persoalan logistik, bukan struktur.
Maka, kita pun terbiasa melihat adegan yang berulang: karung beras dipikul, diserahkan, lalu difoto. Senyum muncul di kedua sisi. Kamera mengabadikan momen itu dengan penuh keyakinan, seolah-olah di dalam karung itu bukan hanya ada beras, melainkan juga keadilan, kesejahteraan, dan masa depan.
Padahal, seperti kita tahu, beras hanyalah beras. Ia tidak pernah cukup untuk menjawab mengapa seseorang yang miskin sejak lahir tetap miskin hingga tua.
Lalu, ada cerutu. Ia kecil, tapi tidak netral. Cerutu selalu membawa kelas bersamanya. Ia tidak tumbuh di sembarang ruang. Ia menandai waktu luang, kenyamanan, dan jarak dari kecemasan hidup sehari-hari. Ketika seseorang mengisap cerutu, ia seolah berkata bahwa hidup sedang tidak tergesa-gesa. Tidak ada yang mendesak. Semua terkendali.
Masalah muncul ketika cerutu itu hadir di ruang yang penuh duka. Di tengah narasi bencana, cerutu menjadi benda yang terlalu jujur. Ia berkata lebih banyak daripada yang dimaksudkan pengisapnya. Ia mengirim pesan yang tak perlu kata: bahwa penderitaan adalah sesuatu yang bisa ditinjau, bukan dialami. Bahwa musibah adalah agenda, bukan luka.
Di titik ini, cerutu berhenti menjadi pilihan personal. Ia berubah menjadi simbol publik. Dan simbol publik—seperti kita tahu—tidak tunduk pada niat, melainkan pada tafsir.
Kemudian, kita sampai pada sate. Makanan rakyat, makanan pinggir jalan, dan makanan yang akrab dengan asap serta bara. Tidak ada yang elitis dari sate. Justru karena itu, ia terasa ganjil ketika muncul dalam konteks yang salah. Sate yang dimakan di tengah kunjungan bencana tidak lagi tampil sebagai makanan, melainkan sebagai adegan.
Tusuk-tusuk sate itu—satu per satu—seperti menunjuk ke arah yang tak ingin kita lihat: jurang antara yang datang meninjau dan yang ditinjau. Yang satu mengunyah dan yang lain menunggu. Yang satu duduk dan yang lain berdiri di lumpur. Tidak ada yang salah secara biologis—setiap orang perlu makan—tetapi politik tidak hidup dari biologi semata, tetapi hidup dari rasa pantas.
Dan rasa pantas adalah sesuatu yang tidak bisa diatur lewat peraturan menteri.
Yang sering dilupakan oleh kekuasaan adalah bahwa publik membaca gestur sebagaimana membaca teks, bahkan secara lebih teliti. Di era kamera dan media sosial, satu adegan kecil bisa mengalahkan seribu halaman laporan. Rakyat mungkin tidak menghafal angka statistik, tetapi mereka peka terhadap ketimpangan simbolik. Mereka tahu kapan sebuah tindakan terasa janggal, meski tak bisa merumuskannya dalam bahasa akademik.
Karung beras, cerutu, dan tusuk sate akhirnya membentuk satu rangkaian cerita yang tidak pernah diniatkan, tetapi telanjur terbaca. Cerita tentang negara masih gemar dikomunikasikan lewat benda, bukan lewat kehadiran yang sungguh-sungguh. Negara merasa cukup dengan prosedur, tetapi abai pada etika situasi.
Barangkali yang paling menyedihkan bukanlah benda-benda itu sendiri. Bukan berasnya, bukan cerutunya, dan bukan satenya. Yang menyedihkan adalah ketenangan saat semua itu dilakukan. Tidak ada keraguan dan tidak ada canggung, seolah-olah semuanya wajar. Seolah-olah penderitaan publik hanyalah latar, bukan pusat.
Dalam dunia yang ideal, kekuasaan memiliki kepekaan estetika sekaligus etika: tahu kapan harus berbicara, kapan harus diam, dan kapan sebaiknya menunda makan. Bukan karena ingin tampak suci, melainkan karena sadar bahwa setiap gestur adalah pernyataan.
Namun di negeri ini, sering kali justru simbol-simbol kecil itulah yang membocorkan watak besar kekuasaan. Ia tidak kejam, hanya terlalu nyaman. Tidak jahat, hanya kurang peka. Dan ketidakpekaan itu—dalam politik—sering kali lebih melukai daripada niat buruk.
Tusuk sate itu kini telah tertancap dalam ingatan publik. Ia kecil, nyaris remeh. Namun seperti luka kecil yang diabaikan, ia bisa bernanah lama. Dan barangkali, di situlah ironi terbesar politik kita: bukan pada kebijakan yang gagal, melainkan pada simbol-simbol sepele yang tak pernah disadari telah menyakiti.




:quality(80):format(jpeg)/posts/2025-12/21/featured-4b7ee0f2d7e1164f2156f716023a76b4_1766278177-b.jpg)