Pantau - Hoaks disebut sebagai ancaman paling berbahaya kedua bagi korban bencana setelah dampak fisik bencana itu sendiri karena merusak orientasi realitas dan menghambat penanganan darurat, tulis Dr Eko Wahyuanto dalam artikelnya yang diterbitkan pada Senin, 22 Desember 2025.
Artikel tersebut menjelaskan bahwa hoaks menyapu akal sehat para pembuat dan penyebarnya, bersamaan dengan air bah yang menyapu rumah-rumah penduduk, sehingga korban bencana tidak hanya kehilangan harta benda tetapi juga kehilangan pegangan terhadap kenyataan.
Bencana hidrometeorologi yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat pada akhir November 2025 menghadapi masalah tambahan berupa beredarnya informasi tidak benar saat banjir bandang dan longsor masih berada dalam tahap pemulihan.
Hoaks muncul dan menyebar cepat pada fase krisis karena ketidakpastian psikologis korban dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk menyebarkan narasi dramatis dan sensasional yang lebih mudah dipercaya dibandingkan fakta berbasis data.
Kementerian Komunikasi dan Digital mengimbau masyarakat agar waspada terhadap maraknya hoaks selama masa penanganan bencana karena banyak informasi yang beredar luas ternyata tidak benar dan tidak berasal dari kanal resmi pemerintah.
Imbauan tersebut berfungsi sebagai lensa sistematis agar masyarakat mampu melihat kerentanan ruang digital yang semakin terbuka pada saat krisis dan darurat.
Contoh hoaks yang mencolok terjadi di Pidie Jaya, Aceh, ketika polisi mengamankan lima orang yang menyebarkan narasi palsu tentang "kenaikan air laut ke daratan yang akan menyapu permukiman", ungkap aparat kepolisian setempat.
Pesan berantai dan rekaman suara palsu tersebut memicu evakuasi warga secara panik dan tanpa arah sehingga mengacaukan operasi pencarian dan pertolongan yang sedang berlangsung.
Selain itu, beredar pula klaim palsu mengenai keberadaan makam massal berisi 400 korban bencana serta tudingan politik tidak berdasar yang mengaitkan bencana dengan kebijakan lama seorang menteri.
Artikel tersebut menegaskan bahwa hoaks-hoaks semacam ini tidak boleh dibiarkan beredar karena secara langsung mengganggu proses pemulihan pascabencana dan memperparah penderitaan korban.
Penulis mengajak masyarakat, khususnya generasi muda, agar tidak terjebak dalam pembingkaian sepihak saat menerima informasi kebencanaan dan selalu memverifikasi kebenaran sumber sebelum menyebarkannya.



