Revisi UU Sisdiknas dan Masa Depan Pesantren

kumparan.com
6 jam lalu
Cover Berita

Revisi Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) 2025 kembali membuka perdebatan lama tentang arah pendidikan Indonesia. Pemerintah menyebut revisi ini sebagai upaya kodifikasi hukum: menyatukan berbagai regulasi pendidikan agar lebih rapi, efisien, dan tidak tumpang tindih.

Di atas kertas, tujuan tersebut terdengar ideal. Namun dalam praktik kebijakan, kodifikasi selalu memunculkan satu pertanyaan krusial: Apakah penyeragaman aturan akan benar-benar menghadirkan keadilan, atau justru melahirkan ketimpangan baru?

Bagi pesantren dan pendidikan keagamaan, revisi UU Sisdiknas bukan sekadar urusan teknis pasal dan ayat. Ia menyentuh persoalan yang jauh lebih mendasar: pengakuan negara, keadilan anggaran, kesejahteraan pendidik, dan batas intervensi negara terhadap tradisi pendidikan yang telah hidup jauh sebelum republik ini berdiri.

Ekosistem Besar yang Kerap Dipinggirkan

Berdasarkan data resmi Kementerian Agama melalui Education Management Information System (EMIS) dan publikasi Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, hingga akhir 2025 terdapat hampir 42.000 pondok pesantren dan sekitar 87.200 madrasah ada di Indonesia.

Lembaga-lembaga ini menaungi tidak kurang dari 16 juta santri dan peserta didik, angka yang setara dengan hampir sepertiga generasi muda bangsa.

Angka tersebut menunjukkan bahwa pesantren dan madrasah bukan entitas pinggiran dalam sistem pendidikan nasional. Mereka adalah bagian utama dari ekosistem pendidikan Indonesia. Karena itu, memperlakukan pesantren hanya sebagai sub-sistem yang harus menyesuaikan diri—dengan standar pendidikan formal tanpa afirmasi kebijakan yang adil—merupakan pendekatan yang problematik sejak awal.

Kesetaraan di Atas Kertas, Ketimpangan di Anggaran

Selama bertahun-tahun, lulusan pesantren—terutama pesantren salafiyah—masih kerap menghadapi stigma dalam dunia kerja. Ijazah mereka sering dianggap tidak sepenuhnya setara, seolah kualitas pendidikan hanya dapat diukur dengan satu model kurikulum formal.

Namun, persoalan yang lebih mendasar terletak pada ketimpangan struktural dalam pembiayaan pendidikan. Meski konstitusi mengamanatkan alokasi 20% anggaran pendidikan, distribusinya belum sepenuhnya adil.

Sekolah-sekolah di bawah Kementerian Pendidikan cenderung memperoleh porsi anggaran yang lebih besar dibanding lembaga pendidikan di bawah Kementerian Agama, termasuk pesantren dan madrasah.

Jika revisi UU Sisdiknas benar-benar ingin menghadirkan kesetaraan, prinsip keadilan anggaran berbasis peserta didik (equal funding per student) perlu ditegaskan secara eksplisit. Tanpa itu, kesetaraan hanya akan berhenti sebagai jargon kebijakan, bukan realitas yang dirasakan jutaan santri.

Guru Agama: Antara Pengabdian dan Pengabaian

Isu lain yang kerap luput dari perdebatan publik adalah kesejahteraan pendidik agama. Data Statistik Pendidikan Islam Kementerian Agama serta laporan Badan Litbang dan Diklat Kemenag menunjukkan sekitar 1,2 juta guru madrasah dan pendidik keagamaan masih hidup dalam keterbatasan ekonomi, dengan honor yang jauh dari standar kelayakan.

Narasi “ikhlas mengabdi” sering digunakan untuk menormalisasi kondisi ini. Padahal, keikhlasan tidak boleh dijadikan dalih pembenar bagi pengabaian negara. Jika negara berani melakukan resentralisasi kewenangan guru, negara juga wajib menjamin hak-hak dasar guru agama: sertifikasi yang adil, tunjangan profesi yang setara, dan perlindungan kerja yang manusiawi.

Digitalisasi dan Batas Campur Tangan Negara

Di era kecerdasan buatan, digitalisasi pendidikan menjadi agenda besar negara. Namun bagi pesantren, kemajuan teknologi tidak dapat dimaknai semata sebagai pengadaan perangkat digital. Pesantren hidup dari relasi keilmuan yang khas, sanad keilmuan, keteladanan, dan kedekatan guru-murid, yang tidak sepenuhnya dapat digantikan oleh sistem berbasis algoritma.

Hal yang sama berlaku pada wacana dana abadi pesantren. Dukungan negara tentu penting, tetapi harus dirancang dengan prinsip non-intervensi. Fakta menunjukkan bahwa mayoritas pesantren tumbuh dari swadaya masyarakat. Negara seharusnya hadir sebagai penopang keberlanjutan, bukan sebagai pengendali yang berpotensi menggerus kemandirian dan ruh pesantren.

Pendidikan Keagamaan Tak Hanya Pesantren

Perbincangan tentang pendidikan keagamaan sering kali berhenti pada pesantren dan madrasah. Padahal, ekosistemnya jauh lebih luas. Data Kementerian Agama mencatat keberadaan ratusan ribu Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPQ), Taman Kanak-Kanak Al-Qur’an (TKQ), serta Madrasah Diniyah Takmiliyah yang tersebar hingga ke pelosok desa.

Di tingkat lanjutan, terdapat Ma’had Aly yang pengakuannya merujuk pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren, dan telah ditempatkan setara dengan pendidikan tinggi. Jutaan peserta didik tumbuh dalam ekosistem pendidikan keagamaan ini—sebagian besar dengan dukungan swadaya masyarakat dan keterlibatan negara yang masih terbatas.

Mengabaikan kenyataan tersebut dalam desain revisi UU Sisdiknas berarti mempersempit makna sistem pendidikan nasional itu sendiri.

Masa Depan Pesantren di Persimpangan Kebijakan

Pada akhirnya, revisi UU Sisdiknas 2025 adalah soal pilihan arah kebijakan. Apakah negara ingin menghadirkan kesetaraan yang adil, atau sekadar penyeragaman yang rapi secara administratif?

Sebagaimana amanat Pasal 31 UUD 1945, negara bertanggung jawab mencerdaskan kehidupan bangsa tanpa pengecualian. Pesantren, madrasah, TPQ, madrasah diniyah, hingga Ma’had Aly bukan pelengkap sistem pendidikan nasional, melainkan bagian dari jantungnya.

Jika revisi ini gagal mengakui realitas tersebut, kodifikasi hukum pendidikan justru berisiko melahirkan keteraturan yang timpang—rapi di atas kertas, tetapi jauh dari rasa keadilan yang hidup di tengah masyarakat.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Komisi VIII DPR Dorong Akselerasi MBG di Pesantren
• 2 jam lalumetrotvnews.com
thumb
Kejagung Copot Jaksa Terjaring OTT, Pakar UGM: Langkah Tegas Jaga Integritas Lembaga
• 6 jam lalujpnn.com
thumb
KAI Pulihkan 13 Titik Jalur Terdampak Bencana, Jalur Perkeretaapian Sumatera Kembali Normal
• 17 jam laluliputan6.com
thumb
Viral ASN Dipecat karena Diduga Selingkuh, Mardani PKS Sarankan Ini ke Kemenpan
• 5 jam lalufajar.co.id
thumb
Semua Program Studi PEM Akamigas Raih Akreditasi Unggul, Kualitas SDM Energi Kian Terjamin 
• 9 jam laluliputan6.com
Berhasil disimpan.