Skema Gaji Tunggal ASN Belum Realistis Diterapkan dalam Waktu Dekat

cnbcindonesia.com
6 jam lalu
Cover Berita
Foto: Ilustrasi ASN. (Aristya Rahadian Krisabella/CNBC Indonesia)

Menulis artikel mengenai gaji tunggal aparatur sipil negara (ASN) menjadi topik yang menarik belakangan ini, terutama ketika hampir seluruh kalangan ASN berharap kebijakan tersebut dapat segera diterapkan. Isu ini tidak hanya ramai dibahas oleh pejabat publik, tetapi juga menjadi bahan diskusi para influencer di media sosial.

Meskipun realitas implementasinya masih terbilang jauh, publik di jagad maya ramai memperbincangkan isu tersebut. Salah satu faktor pendorong ramainya pembahasan tersebut tidak terlepas dari aspek popularitas.

Membahas gaji tunggal kerap dipersepsikan sebagai membawa harapan baru bagi ASN, yang pada akhirnya berdampak pada meningkatnya jumlah tayangan dan interaksi. Dalam kacamata ekonomi digital, lonjakan pengunjung tersebut tentu berpotensi dikonversi menjadi pendapatan bagi pengelola kanal media.


Namun demikian, dalam waktu dekat skema gaji tunggal masih belum realistis untuk diterapkan. Meski desain kebijakan ini kabarnya tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 79 Tahun 2025 tentang Pemutakhiran Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2025, apabila ditelusuri lebih jauh konsepsi gaji tunggal atau single salary tidak disebutkan secara eksplisit.

Frasa yang paling mendekati adalah "total reward" atau secara lengkap berbunyi "Peningkatan Kesejahteraan ASN melalui Penerapan Konsep Total Reward Berbasis Kinerja ASN". Apakah konsep total reward dapat dimaknai sebagai gaji tunggal? Jawabannya beragam, bisa iya tapi bisa juga tidak. Akan sangat bergantung dari sudut pandang dalam menafsirkan substansi kebijakan tersebut.

Penerapan gaji tunggal dalam sistem penggajian ASN pada dasarnya merupakan sebuah perubahan besar dalam pengelolaan sumber daya manusia sektor publik. Skema penghasilan ASN selama ini dibangun atas sejumlah komponen, mulai dari jenjang kepangkatan, lama masa kerja, hingga berbagai jenis tunjangan. Jika seluruh komponen tersebut disatukan ke dalam satu angka tunggal, maka konsekuensi untung dan rugi bagi pegawai menjadi tidak terhindarkan.

Sayangnya diskursus yang berkembang selama ini lebih banyak menonjolkan sisi keuntungan semata, seolah-olah semua pegawai akan otomatis mengalami kenaikan penghasilan. Potensi kerugian nyaris tidak pernah disinggung. Padahal pegawai akan mengalami hal berupa hilangnya penghargaan atas masa kerja, kompensasi bagi keluarga, atau terbatasnya ruang tumbuh jabatan.

Ketiadaan ruang tumbuh jabatan menjadi salah satu risiko paling nyata. Dalam skema yang berlaku saat ini (misalnya seorang pejabat eselon III atau setara kepala kantor dengan pangkat IV/a) ketika menjabat akan memperoleh penghasilan berupa gaji pokok sesuai pangkat dan masa kerja ditambah tunjangan jabatan.

Apabila suatu saat yang bersangkutan memilih untuk non-job maka komponen penghasilan yang hilang hanyalah tunjangan jabatan. Sedangkan gaji pokok tetap melekat sesuai pangkat dan masa kerja yang telah dicapai.

Bandingkan dengan skema gaji tunggal untuk contoh yang sama. Seorang pejabat eselon III kemungkinan akan masuk ke dalam kelompok jabatan atau grade tertentu, misalnya grade 12 atau 13. Ketika kemudian yang bersangkutan memilih untuk non-job, maka penghasilannya berpotensi turun ke grade 8 atau 9.

Bisa jadi malah mendapatkan posisi grading bisa lebih rendah lagi jika memang tidak tersedia ruang jabatan. Artinya penurunan penghasilan tidak lagi bersifat parsial, melainkan signifikan dan permanen selama tidak kembali ke jabatan struktural.

Potensi kerugian berikutnya berkaitan dengan penghargaan atas masa kerja. Dalam sistem yang berlaku saat ini, bertambahnya masa kerja secara otomatis berdampak pada peningkatan penghasilan. Dalam skema gaji tunggal, mekanisme tersebut tidak lagi dikenal. Penghasilan hanya dapat meningkat melalui kenaikan kelas jabatan. Tanpa kenaikan jabatan maka besaran penghasilan akan stagnan, terlepas dari lamanya masa pengabdian pegawai.

Selain itu, keberadaan tunjangan keluarga yang selama ini melekat dalam struktur penghasilan ASN juga berpotensi ditiadakan. Padahal tunjangan keluarga merupakan bagian dari kesepakatan implisit antara pemerintah sebagai pemberi kerja dan pegawai.

Dengan adanya tunjangan tersebut, pemerintah memiliki legitimasi untuk mengatur aspek tertentu dalam kehidupan pribadi ASN. Contoh yang berlaku saat ini seperti larangan bagi ASN perempuan menjadi istri kedua, ketiga, dan seterusnya.

Sedangkan bagi ASN laki-laki terdapat kewajiban memperoleh izin atasan yang akan berpoligami. Ketika tunjangan keluarga dihapus, maka secara logis pemerintah juga kehilangan dasar kompensasi untuk mencampuri urusan domestik pegawai. Fenomena pelanggaran berupa kumpul kebo menjadi gambaran aspek yang tidak bisa dikenai sanksi apabila pemerintah berkeputusan menghilangkan unsur tunjangan keluarga dari struktur gaji.

Di luar aspek struktur penggajian, penerapan gaji tunggal juga dihadapkan pada keragaman karakteristik unit pemerintah. Tingkat modernisasi layanan antarinstansi masih sangat bervariasi. Ada unit yang telah sepenuhnya menerapkan layanan paperless, namun masih dijumpai adanya institusi yang mensyaratkan dokumen fisik dalam setiap urusan. Perbedaan tingkat modernisasi ini berimplikasi langsung pada kebutuhan anggaran yang harus disediakan, khususnya untuk belanja barang.

Modernisasi layanan menjadi krusial karena berkaitan dengan efisiensi penggunaan sumber daya. Semakin modern suatu unit kerja maka akan semakin kecil kebutuhan anggaran untuk alat tulis kantor, rapat konvensional, dan aktivitas administratif lainnya.

Penghematan dari belanja barang inilah yang selama ini menjadi tambahan ruang fiskal untuk meningkatkan besaran tunjangan kinerja pegawai. Ketika tingkat modernisasi belum seragam, maka standardisasi penghasilan melalui skema gaji tunggal menjadi sulit diterapkan secara adil.

Pemerintah sebenarnya telah menyediakan kerangka menuju modernisasi layanan melalui Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2018 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE). Namun dalam praktiknya, implementasi SPBE belum berjalan serempak di seluruh unit pemerintah. Ada instansi yang adaptif terhadap perubahan, namun tidak sedikit pula yang masih nyaman dengan pola kerja manual.

Tantangan semakin besar dengan konversi tenaga honorer menjadi PPPK yang secara agregat menambah sekitar satu juta pegawai. Kondisi ini memunculkan dilema, apakah modernisasi layanan harus dijalankan dengan konsekuensi sebagian pekerjaan digantikan oleh teknologi. Ataukah fungsi dan tugas tetap dijalankan secara konvensional demi memastikan seluruh pegawai memiliki output pekerjaan, meskipun mengorbankan efisiensi.

Sembari menunggu konsep matang mengenai rancangan gaji tunggal, skema penghasilan yang berlaku saat ini masih menyediakan ruang untuk memberikan penghargaan yang lebih layak kepada pegawai. Meskipun bersifat parsial, kementerian/lembaga maupun pemerintah daerah yang mampu mengefisiensikan belanja barang masih memiliki peluang untuk menyesuaikan tunjangan kinerja.

Pilihan ini memang tidak bebas dari polemik terutama ketika dihadapkan antara mempertahankan jumlah pegawai eksisting atau mulai mengadopsi pola kerja baru berbasis teknologi informasi. Namun di situlah perdebatan kebijakan publik menemukan relevansinya yaitu mencari titik temu antara efisiensi, modernisasi, dan kesejahteraan aparatur negara.


(miq/miq)

Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
5.044 Aparat Gabungan Dikerahkan Amankan Jakarta Jelang Nataru
• 12 jam lalumetrotvnews.com
thumb
Eropa Berencana Timbun CO2 di Laut Utara
• 7 jam laluidxchannel.com
thumb
Penembakan di Pub Afrika Selatan Tewaskan 9 Orang
• 15 jam laluidntimes.com
thumb
Bunda Resah karena Suami Kerap Melirik Wanita Lain, Seorang Ulama Ingatkan Kepada para Istri
• 23 jam lalutvonenews.com
thumb
Cerita SBY Soal Tsunami Aceh, GAM hingga Misi Rahasia Penyelamatan di Laut Somalia
• 22 jam lalukompas.tv
Berhasil disimpan.