FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Mantan Kabareskrim Polri, Komjen Pol (Purn) Susno Duadji, ikut angkat bicara terkait wacana Peraturan Pemerintah yang memunculkan tafsir baru soal peluang Kapolri berasal dari kalangan sipil atau purnawirawan.
Susno menegaskan, apabila ketentuan tersebut memang membuka ruang bagi figur di luar perwira aktif Polri untuk menduduki jabatan Kapolri, maka opsi kepemimpinan di tubuh Korps Bhayangkara justru semakin luas.
“Kalau benar Kapolri bisa dari sipil atau purnawirawan, maka akan banyak pilihan untuk pemimpin Polri,” kata Susno di X @susno2g (22/12/2025).
Sebelumnya, Pakar Hukum Pidana UIN Alauddin Makassar, Rahman Syamsuddin, menegaskan, langkah tersebut tidak bisa dianggap sebagai solusi sederhana atas polemik yang selama ini mencuat.
“Ini menimbulkan persoalan hukum yang serius,” ujar Rahman kepada fajar.co.id, Senin (22/12/2025).
Ia menjelaskan, praktik penempatan anggota Polri di jabatan sipil sejauh ini dilakukan melalui Peraturan Polri (Perpol).
Namun, mekanisme tersebut kerap dikritik karena disebut bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang menegaskan pemisahan fungsi sipil dan aparat keamanan.
Dikatakan Rahman, perbedaan antara Perpol dan PP memang terletak pada hierarki peraturan.
Hanya saja, persoalan substansial tetap tidak berubah jika PP yang disusun masih membuka ruang bagi Polri aktif untuk menduduki jabatan sipil tanpa revisi undang-undang.
“Namun jika isi PP tetap membolehkan Polri aktif menduduki jabatan sipil tanpa perubahan undang-undang, maka secara substansi tetap bermasalah dan berpotensi melanggar prinsip negara hukum,” tegasnya.
Lanjut Rahman, wacana penerbitan PP tersebut justru memunculkan kesan bahwa pemerintah lebih berupaya meredam kritik publik ketimbang menyelesaikan persoalan secara tuntas.
“Karena itu, muncul kesan kuat bahwa rencana penerbitan PP ini hanya untuk meredam kritik publik,” tukasnya.
Rahman menyayangkan langkah pemerintah karena terkesan memilih jalan pintas dengan menerbitkan aturan turunan.
“Alih-alih memperbaiki aturan secara terbuka melalui revisi undang-undang, pemerintah justru memilih jalan pintas dengan membuat aturan turunan,” Rahman menuturkan.
Wakil Dekan I Fakultas Syariah dan Hukum UIN Alauddin Makassar ini mengingatkan, jika PP tersebut hanya mengulang substansi Perpol dengan level aturan yang lebih tinggi, maka kebijakan itu tidak menyelesaikan persoalan mendasar.
“Jika PP hanya mengulang isi Perpol dengan kemasan yang lebih tinggi, maka langkah tersebut bukan menyelesaikan masalah, melainkan melegalkan praktik yang sejak awal dipersoalkan dan berpotensi melemahkan prinsip supremasi sipil dalam demokrasi,” jelas Rahman.
Sebagai solusi, Rahman menegaskan bahwa revisi Undang-Undang Polri seharusnya menjadi langkah awal yang ditempuh pemerintah.
“Sebaiknya UU Polri direvisi dahulu dan menyesuaikan dari hasil kerja komisi percepatan reformasi kepolisian yang ketuanya adalah Jimly Asshiddiqie,” kuncinya. (Muhsin/fajar)




