Sejak kecil, Ziye sering mendengar mitos dari neneknya tentang benang merah takdir. “Setiap orang punya benang merah yang melilit jari kelingkingnya,” kata neneknya dengan suara bergetar.
“Benang itu menghubungkanmu dengan seseorang yang sudah digariskan untukmu. Benang itu bisa membawa kebahagiaan, kadang membawa luka, tapi tidak akan pernah benar-benar putus. Hanya mereka yang hatinya peka yang bisa melihatnya.” Waktu itu Ziye hanya tertawa. Ia menganggap itu cerita lama untuk menidurkannya. Namun, bertahun-tahun kemudian, ketika ia bertemu Arkha, dongeng itu mulai terasa seperti kenyataan.
Ziye dan Arkha pernah saling jatuh cinta dengan sederhana. Pertemuan pertama mereka di pameran seni membuat keduanya akrab, lalu akhirnya menjadi pasangan.
Saat pertemuan pertama mereka, untuk pertama kalinya Ziye melihat benang merah. Benang merah tersebut melilit jari kelingking Arkha dan terhubung dengan jari kelingkingnya. Apakah ini benang merah yang nenek maksud? Awalnya Ziye bingung dan tidak yakin, tetapi akhirnya ia memutuskan untuk mulai menjalin hubungan, berharap hal ini akan membawa kebahagiaan. Namun, hidup tak selalu berjalan sesuai harapan.
Awalnya Arkha selalu bersikap manis kepada Ziye. Dia memperlakukannya layaknya seorang ratu. Arkha selalu mengiyakan segala hal yang Ziye inginkan. Itu membuat Ziye makin yakin bahwa Arkha adalah takdir yang membawa kebahagiaan untuknya.
Namun waktu berjalan, dan Arkha berubah. Ia menjadi sosok yang temperamen, manipulatif, dan playing victim. Puncaknya adalah ketika mereka harus LDR karena Arkha mendapat beasiswa ke Bandung untuk melanjutkan kuliah seni rupa, sementara Ziye tetap di Jakarta.
Saat mereka berjauhan, jari kelingking Ziye terasa sakit seperti ditarik. Kepercayaan mereka perlahan retak. Telepon berkurang, pesan makin singkat, dan Ziye mendapat kabar dari temannya bahwa ia melihat Arkha bersama perempuan lain di Bandung. Perempuan tersebut bernama Feli, teman kuliah Arkha. Ziye telah mencurigainya selama ini.
Hari itu, Ziye merasa sebagian dirinya hilang. Ia mencoba menguatkan hati, meyakinkan bahwa itu bukan Arkha, tetapi bukti foto mengatakan sebaliknya.
Ia berpikir, apakah rasa sakit di jari kelingkingnya merupakan pertanda untuk melepaskan Arkha? Akhirnya Ziye memutuskan untuk berpisah. Namun, perpisahan itu justru membuat jari kelingkingnya semakin sakit, seperti ditarik oleh benang yang sangat tajam dan melarangnya untuk benar-benar melepas Arkha.
Enam bulan kemudian, Ziye mulai menata hidupnya kembali. Benang itu tetap ada. Rasa sakit di jari kelingkingnya makin jelas terasa. Ia menahan rasa sakit itu dan menganggapnya sebagai halusinasi. Ia bekerja sebagai asisten penulis di Yogyakarta, meninggalkan Jakarta untuk melupakan Arkha.
Suatu hari, atasannya, Naila, mengajaknya ke pameran seni. Di sana, mata Ziye terhenti pada sebuah lukisan yang menggambarkan dua sosok perempuan dengan sesosok laki-laki diantaranya. “Bagus, kan?” komentar Naila. “Eh, ngomong-ngomong, ini karya adik kelasku waktu SMP, namanya Arkha. Dia sekarang kuliah seni rupa, suka banget bikin karya kayak gini.”
Nama itu membuat Ziye membeku dan berharap itu bukan Arkha yang ia kenal. "Masa sih di Yogyakarta aku masih dengar nama Arkha?" gumam Ziye dalam pikirannya.
Beberapa minggu kemudian, di sebuah kafe, matanya bertemu dengan sosok yang sangat dikenalnya. Arkha duduk di sudut ruangan, menulis di buku sketsa. Saat mata mereka bertemu, Ziye terdiam.
Benang itu bergetar, seolah menari di udara. Ziye terkejut, mengedipkan mata berulang kali. Namun, anehnya, rasa sakit di kelingking Ziye hilang setelah bertemu Arkha.
Mereka pun berbincang sebentar tanpa membahas masa lalu. “Lagi sibuk apa kamu sekarang?” tanya Ziye. “Aku lagi libur, terus iseng aja isi pameran kakak tingkatku di sini.” Ziye hanya tersenyum.
Sejak hari itu, Ziye dan Arkha terus dipertemukan. Di toko buku, di halte bus, bahkan di persimpangan jalan. Setiap kali pandangan mereka bertemu, benang merah itu semakin jelas. Keanehan itu bukan hanya membuat Ziye bingung, tapi juga takut.
Apakah aku benar-benar terikat? Pertemuan-pertemuan yang tidak disengaja tersebut membuat Ziye menjadi luluh kembali. Padahal, tidak ada kata maaf yang keluar dari mulut Arkha. Tidak ada juga perubahan sikap yang ditunjukan oleh Arkha. Namun, Ziye hanyalah perempuan, perempuan yang hanya mengandalkan perasaan daripada logika.
Akhirnya, Ziye meminta Arkha untuk kembali kepadanya. Ia melupakan semua rasa sakit yang pernah Arkha berikan hanya karena pertemuan singkat itu. Mereka pun memutuskan untuk kembali menjalin hubungan. Rasa sakit di jari kelingking Ziye hilang sepenuhnya.
Belum lama setelah keputusan itu, Ziye melihat Arkha bersama Feli secara langsung. Mereka tertawa lepas di toko alat lukis. Ziye yang sebelumnya sudah luluh dan memaafkan kesalahan Arkha, bahkan tanpa diminta, menjadi semakin marah. Malam itu, ia menolak semua pesan Arkha. Baginya, benang itu bukan anugerah, melainkan kutukan.
Ziye merasa dirinya tidak bisa lepas dari Arkha. Ke mana pun ia pergi, benang merah tersebut selalu menariknya kembali kepada Arkha. Ziye benci kepada Arkha, merasa hatinya sudah mati untuknya. Namun, benang sialan itu selalu menahannya. Sejahat apa pun Arkha, pada akhirnya Ziye akan memaafkannya. Pada hari itu, akhirnya Ziye bertekad ingin memutuskan benang merah tersebut.
Beberapa hari kemudian, Ziye pulang ke Jakarta untuk menghindari Arkha. Namun, seperti biasa, jari kelingkingnya kembali terasa sakit. Ziye bercerita pada neneknya. Neneknya menatap Ziye lama sebelum menjawab, “Ziye, kamu tahu kenapa nenek menyebut benang merah sebagai takdir sekaligus kutukan?” tanya nenek. Ziye hanya menatap neneknya, menunggu jawaban.
Neneknya menghela napas. “Benang merah memang menghubungkan dua jiwa. Namun, ikatan itu tidak selalu membawa kebahagiaan. Ada orang yang ditarik pada pasangan yang tidak baik dan merasakan sakit tiap kali terpisah, seolah jarinya teriris. Itulah sisi kutukannya, kamu tidak bisa benar-benar bebas.”
Ia melanjutkan dengan suara lirih, “Dulu, buyutmu pernah cerita tentang seorang wanita di kampung. Ia terikat pada seorang pria yang sudah beristri. Benang merah mereka begitu kuat, hingga setiap kali ia mencoba menjauh, tubuhnya jatuh sakit. Bahkan, saat pria itu meninggal, wanita itu ikut meregang nyawa hanya selang tiga hari. Itu karena benang merahnya menarik jiwa mereka bersama; bukan dengan bahagia, melainkan dalam penderitaan.”
Ziye tercekat. Kisah itu menempel di kepalanya seperti duri.
Seminggu berlalu, Ziye pun kembali ke Yogyakarta untuk menyelesaikan pekerjaannya. Saat bekerja, ponsel Ziye berdering. Nomor tidak dikenal. Ziye mengangkatnya. Muncul suara, “Halo Ziye, aku Feli.” Ziye hanya diam. “Bisa kita ketemu sore ini di kafe dekat kantor kamu?” tanya Feli.
Ziye mengiyakan. Ia penasaran apa yang akan dikatakan Feli.
Feli ternyata tahu lebih banyak dari yang terlihat. Ia juga bisa melihat benang merah di jari Arkha yang terhubung pada Ziye. Rasa iri menyala dalam diri Feli.
Feli menjelaskan semua hal-hal yang ia ketahui kepada Ziye di kafe. Ia menambahkan, “Sebenarnya kamu selingkuhannya.”
Ziye terkejut dan tidak terima.
Feli melanjutkan, “Aku sama dia sudah tiga tahun. Aku tahu nggak ada benang merah di antara kita, tapi kita saling mencintai.”
Ziye hanya terdiam, tak percaya bahwa dirinya lah penjahatnya. “Bagaimana kamu tahu aku bisa melihat benang merah itu?” tanya Ziye.
“Awalnya aku nggak tahu dan ragu memberi tahu tentang benang merah itu karena takut disangka tidak waras. Namun, melihat responmu yang biasa saja, sepertinya kamu juga tahu," jawab Feli.
Feli memberi tahu Ziye bahwa ia pernah membaca buku tua tentang mitos benang merah di perpustakaan seni. Di dalam buku itu ada salah satu cara memutuskan benang merah tersebut.
Ziye menjawab, “Benang merah ini tidak akan pernah bisa putus, kata nenekku.”
“Iya, aku tahu. Tapi apa salahnya mencoba?” ujar Feli.
Ziye yang sudah frustrasi dengan benang merah tersebut dan merasa bersalah kepada Feli akhirnya menerima ajakan Feli.
“Apakah Arkha tahu tentang benang merah ini?” tanya Ziye. Feli menjawab, “Dia nggak tahu. Dia cuma bilang ke aku kalau jari kelingkingnya terasa sangat sakit jika jauh dari kamu.”
“Kamu nggak marah sama dia?” lanjut Ziye. Feli menjawab, “Marah, sedih, kecewa. Tapi mau gimana, itu bukan kesalahan dia sepenuhnya.” Ziye hanya terdiam, merasa sangat bersalah karena ada di tengah hubungan orang lain.
Pada malam bulan purnama, mereka menyiapkan upacara. Di kamar, Ziye menutup tirai rapat-rapat. Lilin merah disusun membentuk lingkaran, dupa menyala menebarkan bau menyengat, dan di tengah lingkaran ia letakkan mangkuk berisi air bercampur garam serta sehelai benang merah panjang.
Feli melukai jarinya dengan pisau kecil, membiarkan darah menetes dan memasukkan sehelai rambut Arkha ke mangkuk. Suara mantranya lirih, “Benang takdir, benang pengikat, dengan darahku aku memutus ikatanmu. Biarkan ia bebas, biarkan ia milikku.” Angin dingin berhembus, lilin bergoyang liar. Namun, seperti yang sudah nenek katakan, benang merah tersebut tidak akan putus.
Tidak ada yang terjadi. Benang merah itu tetap ada. Ziye harus menerima kenyataan bahwa ia selamanya akan terikat dengan Arkha, bahkan tanpa ada rasa saling mencintai.
Akhirnya, Ziye menjelaskan semuanya kepada Arkha. Mereka memutuskan untuk hidup berdekatan agar rasa sakit di kelingking mereka berkurang.
Arkha tetap bersama Feli, perempuan yang memang dicintainya dari awal. Meskipun pada awalnya Ziye sangat mencintai Arkha, rasa tersebut hilang, tertutup oleh rasa bersalah karena telah menjadi orang ketiga.
Ziye sadar bahwa Arkha tidak benar-benar mencintainya, Arkha hanya ingin ada di dekatnya untuk menghilangkan rasa sakit di kelingkingnya. Entah apa yang akan terjadi ke depannya, Ziye memasrahkan diri.





:strip_icc()/kly-media-production/medias/5452657/original/012490700_1766416657-WhatsApp_Image_2025-12-22_at_21.38.36.jpeg)