Bisnis.com, JAKARTA — Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) menilai penerapan formula baru pengupahan pada Upah Minimum Provinsi (UMP) 2026 perlu dilakukan secara hati-hati, khususnya bagi industri padat karya seperti furnitur dan kerajinan.
Ketua Umum HIMKI Abdul Sobur mengatakan pihaknya memahami kebijakan tersebut sebagai upaya pemerintah memberikan kepastian dan perlindungan bagi pekerja. Namun, karakteristik industri furnitur yang sangat bergantung pada tenaga kerja membuat kebijakan pengupahan perlu disesuaikan dengan kondisi riil di lapangan agar tidak menimbulkan tekanan berlebihan bagi pelaku usaha.
“Dalam implementasinya, kebijakan ini perlu dijalankan secara hati-hati dan kontekstual, terutama bagi industri padat karya seperti furnitur dan kerajinan,” kata Sobur kepada Bisnis, Senin (22/12/2025).
Sobur menjelaskan, industri furnitur dan kerajinan saat ini menyerap lebih dari 2 juta tenaga kerja secara nasional. Struktur industrinya didominasi oleh usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) serta industri menengah, dengan porsi biaya tenaga kerja yang relatif besar.
“Pada struktur usaha furnitur, komponen biaya tenaga kerja dapat mencapai 30% hingga 40% dari total biaya produksi,” ungkapnya.
Kondisi tersebut, lanjut Sobur, membuat setiap kenaikan upah berdampak langsung terhadap struktur biaya dan daya saing industri, terutama di pasar ekspor. Oleh karena itu, formula pengupahan idealnya mempertimbangkan produktivitas tenaga kerja serta kemampuan industri dalam menjaga keberlanjutan usaha.
Baca Juga
- Belum Ada Titik Temu UMP Jakarta 2026, Kapan Diumumkan?
- Aprisindo Soroti Aturan Upah Baru, Minta Kebijakan Lebih Berimbang untuk Industri Padat Karya
- Pengusaha Tekstil Kalang Kabut Formulasi Upah 2026 Diubah: Pabrik Bisa Bangkrut
Dari sisi dampak, HIMKI menilai kebijakan pengupahan berpotensi meningkatkan biaya produksi furnitur nasional, yang pada gilirannya dapat memengaruhi daya saing harga produk Indonesia di pasar global yang masih dalam tahap pemulihan.
“Pasar utama furnitur Indonesia seperti Amerika Serikat dan Eropa masih berada dalam fase pemulihan, sementara persaingan dengan negara seperti Vietnam, Malaysia, dan China makin ketat,” tuturnya.
Ia menambahkan, negara pesaing memiliki keunggulan dari sisi biaya pembiayaan yang lebih rendah serta ekosistem industri yang lebih efisien. Tanpa diimbangi peningkatan produktivitas dan penurunan biaya struktural lainnya, margin usaha industri furnitur berpotensi makin tertekan.
Dalam jangka menengah, HIMKI mengidentifikasi sejumlah risiko, mulai dari terbatasnya ekspansi kapasitas produksi, penundaan perekrutan tenaga kerja baru, hingga tekanan berat terhadap UMKM furnitur yang selama ini menjadi tulang punggung industri.
“Dalam kondisi ekstrem, tekanan biaya ini dapat mendorong terjadinya relokasi pesanan ke negara pesaing,” ujarnya.
Untuk memitigasi risiko tersebut, HIMKI mendorong pemerintah menempatkan kebijakan pengupahan dalam kerangka keseimbangan antara perlindungan tenaga kerja dan keberlanjutan industri. Penyesuaian upah dinilai perlu dilakukan secara bertahap, terukur, dan berbasis produktivitas.
Selain itu, kebijakan pengupahan bagi industri padat karya perlu diiringi dukungan kebijakan struktural, seperti akses pembiayaan yang lebih murah dan stabil, penurunan biaya logistik dan energi, serta penyederhanaan regulasi dan perizinan bagi UMKM berorientasi ekspor.
HIMKI juga menekankan pentingnya program peningkatan produktivitas tenaga kerja melalui pelatihan dan insentif teknologi. Dengan pendekatan kebijakan yang terintegrasi, industri furnitur diharapkan mampu menjaga kesejahteraan pekerja sekaligus mempertahankan daya saing dan kontribusinya terhadap ekspor nasional.





