Rendahnya harga batubara yang mulai terasa sejak awal 2025 belum juga terangkat melampaui 110 dollar AS per ton hingga akhir triwulan III-2025. Kondisi ini mendorong penurunan laba bersih secara tahunan pada sejumlah perusahaan batubara di Indonesia. Ke depan, ”emas hitam” menghadapi ujian jangka panjang: apakah tetap mendapat dorongan dari kebutuhan energi global, atau justru kian tertekan oleh berbagai faktor yang membayangi, termasuk pergeseran dan dinamika pasar energi.
Salah satunya perusahaan yang terdampak tekanan harga batubara adalah PT Adaro Andalan Indonesia Tbk (AADI). Pada sesi public expose tahunan Adaro yang digelar di Jakarta, Senin (22/12/2025), disampaikan bahwa pasar batubara termal 2025 menghadapi tekanan harga di tengah melimpahnya pasokan. Hal itu disebabkan peningkatan produksi oleh negara pengimpor utama dan penurunan permintaan musiman.
Hingga triwulan III-2025, volume penjualan batubara Adaro mencapai 52,69 juta ton dengan nisbah kupas (stripping ratio) 4,2 kali. Hasil itu sejalan dengan panduan penjualan perusahaan pada 2025 yang sebesar 65-67 juta ton dengan nisbah kupas 4,3 kali. Adapun pasar penjualan terbesar pada periode ini adalah Indonesia, Malaysia, India, dan China, dengan mayoritas pelanggan terdiri dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dan pengguna akhir (end user) lain.
Dari sisi kinerja keuangan, Adaro membukukan pendapatan sebesar 3.609 juta dollar AS pada triwulan III-2025 atau turun 11 persen secara tahunan. Sementara itu, laba bersih pada periode tersebut sebesar 655 juta dollar AS atau menurun 44 persen secara tahunan. Penurunan harga batubara menjadi faktor utama penurunan pendapatan dan laba bersih tersebut.
Di tengah kondisi itu, Adaro optimistis akan peran batubara sebagai energi. ”Batubara diperkirakan tetap memiliki peran dalam bauran energi global seiring meningkatnya kebutuhan energi dalam jangka panjang,” ujar Direktur PT Adaro Andalan Indonesia Lie Luckman, melalui siaran pers, Senin.
Hingga September 2025, belanja modal Adaro mencapai 243 juta dollar AS, yang terutama digunakan untuk investasi pada pembangkit listrik guna menunjang kegiatan industri di Kalimantan Utara. Selain itu, belanja modal juga digunakan untuk pembelian tongkang dan sarana pendukung di rantai pasokan perusahaan. Belanja modal tersebut sejalan dengan panduan perusahaan di awal 2025 yang sebesar 250 juta-300 juta dollar AS.
Lie Luckman menambahkan, pihaknya akan terus berupaya menerapkan tata kelola yang baik serta disiplin keuangan. Selain itu, diupayakan agar ada peningkatan produktivitas dan pengendalian biaya di tengah volatilitas pasar.
Sebelumnya, seperti disampaikan dalam rapat umum pemegang saham luar biasa (RUPSLB) Tahun 2025 di Jakarta, pada Selasa (16/12/2025), PT Bukit Asam Tbk (PTBA), BUMN pertambangan batubara Indonesia, membukukan pendapatan sebesar Rp 31,3 triliun hingga triwulan III-2025 atau meningkat 2 persen secara tahunan. Adapun laba bersih sebesar Rp 1,4 triliun. Catatan Kompas, nilai tersebut lebih rendah dibandingkan periode sama 2024 yang sebesar Rp 3,23 triliun.
Di tengah kondisi itu, manajemen memproyeksikan kinerja operasional PTBA hingga di pengujung tahun 2025 akan terus meningkat. Produksi batubara PTBA diprognosiskan tumbuh 9 persen dari tahun sebelumnya. Angka tersebut ditunjang oleh prognosis pertumbuhan volume angkutan sebesar 6 persen dan volume penjualan sebesar 6 persen dari tahun sebelumnya.
Melalui siaran pers pada Selasa (16/12/2025), Direktur Utama PTBA Arsal Ismail menuturkan, di tengah tekanan harga batubara global sepanjang 2025, PTBA mampu mempertahankan kinerja operasional yang solid. Selain itu, mampu menjaga profitabilitas melalui peningkatan efisiensi biaya dan optimalisasi portofolio pasar domestik. Itu antara lain tecermin dari pertumbuhan volume produksi dan penjualan yang positif, serta realisasi belanja modal yang mendukung keberlanjutan operasi dan proyek logistik strategis.
Dinukil dari Trading Economics, harga batubara Newcastle, yang menjadi acuan internasional, merosot ke 100 dollar AS per ton pada 12 September 2025 atau terendah sejak memasuki semester II-2025. Sempat rendah stagnan, harga baru kembali naik pada akhir Oktober 2025, mencapai 108 dollar AS per ton. Sempat naik ke 110 dollar AS per ton pada awal Desember, tetapi turun lagi menjadi 108 dollar AS per ton pada 19 Desember 2025.
Harga batubara sulit beranjak dari 110 dollar AS per ton sejak Badan Energi Internasional (International Energy Agency/IEA) memproyeksikan permintaan batubara global akan cenderung melemah hingga 2030. China, yang merupakan konsumen, produsen, dan importir batubara terbesar di dunia, sebelumnya meningkatkan produksi domestik. Di sisi lain, China juga menegaskan targetnya untuk mencapai puncak konsumsi sebelum 2030.
Menurut laporan IEA, kondisi tersebut didorong adanya pergeseran di sektor ketenagalistrikan seiring adanya lonjakan kapasitas energi terbarukan, ekspansi pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) yang stabil, dan masuknya gelombang besar gas alam cair (LNG) ke pasar. Penggunaan pembangkit listrik berbasis batubara diperkirakan mulai menurun pada 2026, sedangkan permintaan batubara dari sektor industri diproyeksikan tetap lebih kuat.
Direktur Pasar dan Keamanan Energi IEA Keisuke Sadamori menuturkan, dalam beberapa tahun ke depan, tingkat permintaan batubara relatif tak berubah dibanding tahun-tahun sebelumnya, sebelum kemudian mulai menurun menjelang 2030. Namun, banyak unsur ketidakpastian yang akan memengaruhi prospek batubara, terutama di China.
”Mulai dari pertumbuhan ekonomi, pilihan kebijakan, dinamika pasar energi, dan faktor cuaca. (Ini) akan terus memberi pengaruh besar terhadap gambaran global. Secara lebih luas, tren pertumbuhan permintaan listrik dan integrasi energi terbarukan di seluruh dunia juga dapat memengaruhi arah perjalanan batubara,” kata Sadamori dikutip dari laman IEA, Rabu (17/12/2025).
Menilik ke belakang, harga batubara sempat mencapai lebih dari 400 dollar AS per ton pada pertengahan 2022, yang didorong commodity supercycle serta konflik bersenjata Rusia dan Ukraina. Setelah itu, harga menurun, tetapi mampu dijaga di kisaran 120 dollar-140 dollar AS per ton pada periode 2023-2024, sebelum kemudian harga anjlok pada awal 2025.
Sebelumnya, Pelaksana Tugas Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Gita Mahyarani mengemukakan, setiap perusahaan batubara memiliki cara yang berbeda merespons tantangan. Namun, secara umum, paling tidak perusahaan harus terus meningkatkan efisiensi. Di sisi lain, perusahaan membutuhkan kepastian regulasi agar daya saing terjaga dan mampu adaptif terhadap perubahan-perubahan tersebut.
Ia berpandangan, industri batubara Indonesia akan tetap menunjukkan ketahanan yang baik. ”Sebab, batubara menjadi tulang punggung ketahanan energi dan salah satu kontributor penting penerimaan negara. Dalam jangka pendek dan menengah, kami melihat permintaan domestik dan global masih memberi ruang bagi industri untuk tetap berkontribusi,” kata Gita.
Di tengah tantangan yang beragam, imbuh Gita, regulasi di tingkat domestik perlu konsisten guna menciptakan iklim investasi yang kondusif. Selain itu, di tengah era transisi energi serta di bawah tekanan global, perusahaan tidak lagi bisa menutup mata untuk terus beradaptasi dan berinovasi.


:strip_icc()/kly-media-production/medias/3796292/original/025330800_1640576184-WhatsApp_Image_2021-12-27_at_09.52.05.jpeg)


