Album Lama, Amarah Baru: The Soeratmans feat Indrasabil Rilis Manifesto Sosial yang Masih Relevan

tabloidbintang.com
10 jam lalu
Cover Berita

TABLOIDBINTANG.COM - Setelah tersimpan lebih dari satu dekade, unit rock The Soeratmans akhirnya memuntahkan seluruh materi musik mereka ke jagat digital. 

Perilisan ini bukan sekadar debut album, melainkan arsip kemarahan sosial, catatan personal lintas waktu, sekaligus penghormatan terakhir untuk vokalis utama mereka, Said Heri Wahyudi (Ayie Alhabsyi), yang wafat pada Februari 2025 di Aceh.

Nama The Soeratmans diambil dari nama keluarga besar Farre (gitar/bass) dan Fahri (drum) yang merupakan kakak beradik. Nama tersebut berasal dari ayah dan mendiang kakek mereka, Soeratman, dan menjadi fondasi emosional bagi band yang lahir di tengah masa sulit industri kreatif Indonesia.

Mayoritas materi album direkam pada 2013 di Farm House Production, studio audio-post milik Farre dan Matto (gitar, sound recordist) di Lenteng Agung, Jakarta. 

Saat itu, bisnis mereka terpuruk akibat perubahan lanskap industri musik dan maraknya distribusi gratis di internet. 

Alih-alih menyerah, ruang kosong dan tekanan finansial justru menjadi bahan bakar lahirnya lagu-lagu dengan kritik sosial tajam dan kemarahan yang tak disaring.

Di periode tersebut, Murry (Buronan Mertua) terlibat sebagai pemain bass, sementara Mpung mengisi keyboard dan synthesizer, menambah dimensi industrial dalam eksplorasi sonik The Soeratmans.

Namun perjalanan album ini tidak mulus. Arsip rekaman yang sebagian rusak, ditambah kepulangan Ayie ke Aceh untuk membantu keluarga, membuat proyek ini terhenti cukup lama.

Baru pada 2023, The Soeratmans merekam tiga lagu tambahan dengan menghadirkan Indrasabil sebagai vokalis tamu, melengkapi album menjadi sembilan lagu.

Kapsul Waktu

Secara musikal, The Soeratmans berakar pada rock era 60–80-an seperti Led Zeppelin, The Beatles, dan The Doors, dengan sentuhan industrial ala Nine Inch Nails. 

Eksperimen teknis menjadi ciri khas rekaman awal mereka, termasuk penggunaan gitar akustik yang dipaksa berdistorsi demi mendapatkan energi mentah dan nuansa “kotor” yang jujur.

Lirik-lirik The Soeratmans hadir lugas, sarkastik, dan politis—tanpa basa-basi. Beberapa di antaranya "Mantan Pacar", “Manifesto”, “Anjing Penjaga”, dan “Doa yang Ditolak”. 

Kehadiran Indrasabil bukan untuk menggantikan Ayie, melainkan sebagai jembatan agar materi The Soeratmans bisa sampai ke publik. 

Justru absennya Ayie kini memberi bobot emosional yang lebih berat: setiap lagu terdengar seperti pesan yang terlambat, namun tetap relevan, bahkan terasa makin aktual.

Album ini menjadi semacam kapsul waktu: direkam di era yang berbeda, dirilis di Indonesia yang masih bergulat dengan masalah serupa. Ketimpangan, korupsi, dan pengkhianatan terhadap rakyat kecil tetap menjadi luka terbuka.

Dengan perilisan ini, The Soeratmans tidak sekadar memperkenalkan diri ke generasi baru pendengar rock. Mereka meninggalkan sebuah manifesto, bahwa rock & roll bukan hanya soal gaya hidup, tapi alat perlawanan, catatan sejarah, dan teriakan jujur dari mereka yang pernah tersingkir.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Peringatan Hari Ibu, Menteri PPPA Ajak Seluruh Stakeholder Wujudkan Nol Kekerasan Seksual dan Diskriminasi
• 23 jam lalusuarasurabaya.net
thumb
Mendag pastikan Indonesia–EAEU FTA berpihak kepada UMKM
• 16 jam laluantaranews.com
thumb
KPK Geledah Kantor Bupati Bekasi, 2 Koper Barang Bukti Dibawa dari Ruang Kerja
• 13 jam lalukompas.tv
thumb
Gen Z Memilih untuk Menunda Nikah: Sudut Pandang Generasi Z Terhadap Pernikahan
• 5 jam lalukumparan.com
thumb
Gubernur Aceh Mualem Temui Mentan Amran di Kediamannya, Bahas Pemulihan Pertanian Pascabencana
• 8 jam laludisway.id
Berhasil disimpan.