Oleh: Andi Muhammad Jufri, Praktisi Pembangunan Sosial
FAJAR.CO.ID — Seperti ombak yang tak pernah berhenti menghempas pantai, ada kalanya bila tak terkelola, ombak tersebut mengerus pantai dan membawa sampah. Bangunan yang tak teratur, tumbuh menyebar, merusak mangrove, dan menambah kekumuhan dan kotornya pesisir pantai. Pabrik yang ada di hulu dan sepanjang aliran sungai, memompa air keruh bercampur bau kimia mengalir memusingkan biota indah yang berenang di sepanjang kolom air sungai, muara dan perairan pesisir. Gemericik ombak yang indah itu, tak terlihat karena ruang pandang ke arah pantai telah terpagari beton yang bukan lagi milik publik.
Seperti air sungai yang jernih, mengalir rapi dan indah, transparan tembus sinar matahari, berdasar tanah, lumpur, kerikil, batu dan lainnya. Ikan gabus, ikan air tawar lainnya, berenang penuh ketenangan, burung-burung bersiul memecah kesunyian padang sungai, tumbuhan berbagai jenis bertumbuh hijau dan lebat, berakar kuat, menyimpan air cadangan di musim kemarau dan anak cucu negeri. Hanya karena pemanfaatan tak terkelola, air sungai teracuni kenakalan pencari biota dengan menggunakan “cyanida” (bius) yang berdampak pada matinya biota seluruhnya. Pohon yang berakar kuat, berbatang besar, roboh tanpa aturan penebangan yang bergilir dan berkelanjutan karena tarikan kertas merah (duit) dari sang pengusaha dan para kaki kaki dan tangan kanannya.
Kelebatan hutan yang beranekaragam dengan biodiversity tinggi tergantikan dengan jenis tanaman yang diseragamkan sesuai permintaan pasar kekinian seperti jagung, sawit dan lain-lain. Penyeragaman tanaman yang hanya mengejar “cuan” (ekonomi), tanpa memperhatikan aspek fungsi hutan, telah membuat air jernih yang mengalir pemberi kehidupan semua makhluk selama ini, berubah menjadi malapetaka. Air merontokkan akar tanaman sejenis itu, membongkar dasar tanah yang dulu kuat, melembetkannya menjadi lumpur dan kemudian bersatulah tanah dan air serta sisa kayu menjadi bahan baku “banjir bandang” dan longsor menerjang tanpa arah di seluruh pemukiman rakyat.
Bencana banjir dan longsor di berbagai pelosok negeri, dapat menjadi “jalan perubahan negeri” bila individu dan masyarakat dapat belajar beradaptasi, bersahabat dan berprilaku baru dengan tatanan sosial yang memperhatikan aspek keberlanjutan lingkungan.
Dalam konteks membangun kembali masyarakat berperspektif keberlanjutan lingkungan pasca bencana, kita perlu “transmisi budaya” yang baru. Banyak negara memiliki pengalaman menangani bencana beraneka lokasi, kemudian memulihkan dan membangun kembali, dengan berbagai model yang ramah lingkungan. Negeri kita juga, memiliki banyak pengalaman menarik yang dapat menjadikan “bencana” sebagai jalan perubahan.
Kerjasama antara masyarakat sipil Internasional dapat menjadi salah satu jalan terjadinya pembelajaran (sharing knowledge) melalui interaksi ekspertis berbagai negara dengan relawan dalam negeri. Bila ini dilakukan, akan terjadi proses saling menukar informasi, pengalaman, keahlian, atau ide antara individu atau kelompok, yang merupakan kunci lahirnya inovasi, pemecahan masalah, dan meningkatnya kinerja kolektif.
Konsep “build back better” (membangun kembali dengan lebih baik) misalnya, pernah dilakukan Japan International Cooperation Agency (JICA) ketika memulihkan dan membangun infrastruktur dengan sistem yang lebih tangguh di pasca bencana Sulawesi Tengah (2018).
Inovasi dan digitalisasi pernah dikolaborasikan UNOCHA (lembaga Internasional) dengan relawan nasional untuk mendorong penggunaan sistem informasi berbasis digital untuk komunikasi dan koordinasi pemulihan pasca bencana yang lebih efisien.
Pendekatan yang melibatkan berbagai mitra, berfokus pada respons kemanusiaan inklusif untuk memastikan semua kelompok masyarakat terlibat dan tidak ada yang tertinggal dalam proses penanggulangan bencana, juga sudah pernah dilakukan dalam bentuk progran “PIONEER” (Partners for Inclusion Localising Inclusive Humanitarian Response) di Sigi dan Magelang,
Peningkatan kapasitas dan pengetahuan lokal masyarakat juga meningkat melalui pelatihan oleh relawan internasional yang sering kali membawa keahlian khusus, seperti dalam vertical rescue, basic life support, atau komunikasi radio darurat.
Di level nasional, kita berharap bencana menjadi “jalan perubahan sosial” memperkuat “nation building” memperkuat modal sosial, memperkuat kesetiakawanan sosial dan gotong royong seluruh anak negeri. Kita memiliki sekitar 2.937 hingga 4.416 institusi perguruan tinggi di Indonesia, 695 di antaranya berada di sekitar daratan Sumatera, Aceh dan Kepulauan Riau (Biro Statistik, 2024). Kita mengapresiasi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek) mengarahkan 13 PT di wilayah terdampak untuk menjadi posko koordinasi akademik di bencana Sumatera – Aceh (November 2025). Peran ini perlu terus ditingkatkan sehingga bencana menjadi “laboratorium” bagi perguruan tinggi melakukan perubahan sosial yang berbasis riset dan profesional (didukung tenaga terdidik), sehingga wujud pembangunan masyarakat berkarakteristik lokal, ramah lingkungan, dan berkelanjutan.
Di negeri kita, juga tumbuh semangat masyarakat sipil dengan berbagai latar belakang dan bidang kegiatan melakukan pembangunan masyarakat. Data terbaru dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) per awal 2024 menunjukkan lebih dari 550.000 Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau Organisasi Masyarakat (Ormas) dan Organisasi Profesional di Indonesia yang telah terdaftar. Keanekaragaman pengalaman, ketrampilan dan bidang kegiatan dari lembaga masyarakat ini, serta sebarannya secara nasional dan daerah yang begitu massif, merupakan potensi besar menjadi “agen perubahan” membangun “mindset baru” dalam pembangunan wilayah pasca bencana. Kesadaran kritis lembaga dan organisasi masyarakat akan pentingnya pembangunan yang ramah dan berkelanjutan, akan menjadi modal sosial untuk terus mensosialisasikan budaya “build back better” (membangun kembali dengan lebih baik).
Kemudian, salah satu pihak yang paling vital perannya adalah swasta. Sebagai entitas lembaga bisnis, selama ini telah menyediakan berbagai barang dan jasa secara profesional, pasti memiliki ketajaman rancangan produksi barang dan jasa yang berguna untuk memperkaya inovasi dan model pembangunan yang ramah lingkungan pasca bencana. Selain itu, bencana juga menjadi sarana bagi swasta untuk memperlihatkan komitmen dan kepedulian mereka membangun negeri melalui Corporate Social Responsibility (CSR), Kemitraan Publik Swasta (KPS) dan Voluntary Organizations Active in Disaster (VOAD).
Kemudian paling terdepan dan telah serta terus bekerja tanpa lelah, di tengah aliran kritikan dan nyinyiran nitizen, adalah organisasi birokrasi pemerintahan kita, TNI, Kepolisian dan Kementerian/Lembaga, Organisasi Perangkat Daerah (Dinas/Suku Dinas), Kepala Pemerintahan dari pusat sampai kepala desa/lurah. Dinamisasi, fasilitasi, koordinasi dan gerak cepat pemerintah di berbagai level dan wilayah bencana sangat penting. Pemerintah menjadi garda terdepan yang mengorganisir respons, memastikan keselamatan, menyediakan kebutuhan dasar, memulihkan kondisi, dan mencegah dampak lebih buruk di masa depan (UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana).
“Saudara-saudara kalau pejabat sudah kerja, saudara dimaki-maki, tenang saja. Pohon yang tinggi pasti kena terpaan angin, tidak apa-apa itu risiko,” kata Prabowo, saat memberikan pidato dalam Sidang Kabinet Paripurna yang dihadiri Menteri Kabinet Merah Putih di Istana Negara, Jakarta, Senin (15/12/2025).
Pidato Presiden Prabowo tersebut, menegaskan pentingnya seluruh pejabat negara bekerja sungguh-sungguh untuk rakyat dan tetap setia pada kepentingan publik.
Kita setuju dengan pernyataan Presiden tersebut. Kita mengapresiasi seluruh aparat pemerintah yang telah bekerja siang dan malam. Kita juga prihatin, bila ada oknum aparat yang lambat dan kurang respon. Tapi kita tetap percaya, lembaga pemerintahan juga telah memiliki pengalaman dan kapasitas membuat kebijakan dan menjalankannya. Jaringan birokrasi dan layanan pemerintah di seluruh bidang kebutuhan kehidupan rakyat, khususnya di daerah bencana semoga dapat teroskestrasi dengan baik.
Kita berharap, pemerintah kita dapat melahirkan pembangunan wilayah pasca bencana yang “build back better” (membangun kembali lebih baik), secara fisik bangunannya ramah, kuat, adaptif, berdesain dan berkearifan lokal, dan berada di tata ruang yang aman dan berkelanjutan. Secara non fisik, muncul rasa memiliki dalam individu dan kelompok rakyat atas setiap fasilitas terbangun, muncul rasa cinta dan peduli menjaga lingkungan secara berkelanjutan, tumbuh solidaritas, gotong royong dan kebanggaan sebagai anak negeri, tumbuh semangat produktif dan berkarya sesuai potensi sumber daya manusia dan alam sekitar, serta tercipta lingkungan yang harmoni, damai dan sejahtera.
Kita meyakini, bila semua potensi negeri dapat diorkestrasi, maka bencana yang membuat rakyat menderita, menangis dan kehilangan harapan, akan menjadi “jalan perubahan negeri” yang membangkitkan semangat baru, pandangan hidup yang maju, solidaritas antar anak bangsa yang tumbuh semakin tinggi, dan keadilan serta kesejahteraan terasakan. Semoga.





