FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Anas Urbaningrum, turut menanggapi penetapan Wakil Gubernur Bangka Belitung, Hellyana, sebagai tersangka dalam kasus dugaan penggunaan ijazah palsu.
Anas menyinggung pentingnya verifikasi yang menyeluruh dalam setiap proses politik dan pemilu.
Dikatakan Anas, polemik yang muncul belakangan ini seharusnya menjadi pengingat akan urgensi verifikasi paripurna sejak awal.
“Penelitian Paripurna. Mengapa dulu KPU memutuskan untuk menggunakan metode berlapis, verifikasi administratif dan verifikasi faktual?,” ujar Anas di X @anasurbaningrum (23/12/2025).
Ia menjelaskan, tujuan utama dari sistem verifikasi berlapis tersebut adalah memastikan seluruh peserta pemilu benar-benar memenuhi persyaratan, tidak hanya secara administratif, tetapi juga secara nyata di lapangan.
“Jelas untuk memastikan bahwa seluruh peserta yang bertanding dalam pemilu adalah nyata-nyata telah memenuhi syarat,” sebutnya.
“Bukan sekadar di atas kertas, tetapi juga sebenarnya, senyatanya, secara faktual,” tambahnya.
Anas kemudian mengulas sejarah lahirnya konsep verifikasi administratif dan faktual dalam sistem kepemiluan Indonesia.
Ia menyebut terminologi tersebut pertama kali dirumuskan oleh sebuah tim khusus.
“Terminologi verifikasi administratif dan faktual ini pertama kali dirumuskan dan diputuskan oleh Tim 11 yang dipimpin oleh Nurcholish Madjid,” imbuhnya.
Tim tersebut, lanjut Anas, memiliki peran strategis dalam proses awal reformasi demokrasi Indonesia.
“Terdiri dari 11 orang yang bertugas menyeleksi parpol dan parpol peserta pemilu 1999,” Anas menuturkan.
“Nama resminya adalah Panitia Persiapan Pembentukan Komisi Pemilihan Umum (P3KPU),” tambahnya.
Dari proses verifikasi yang ketat itulah, jumlah partai politik peserta Pemilu 1999 akhirnya ditetapkan.
“Tim 11 inilah yang akhirnya mengetok jumlah parpol peserta pemilu 1999 sebanyak 48 partai, setelah melewati proses verifikasi administratif dan faktual,” terangnya.
Anas menegaskan, prinsip verifikasi paripurna tersebut semestinya terus dijaga dan dijalankan secara konsisten hingga saat ini.
Ia bilang, kelalaian dalam proses verifikasi berpotensi memunculkan persoalan hukum dan politik di kemudian hari.
“Sebaiknya verifikasi paripurna, administratif dan faktual benar-benar dijalankan dengan baik, lurus dan profesional, agar di belakang hari tidak terjadi masalah yang terkait dengan persyaratan parpol, perseorangan, caleg, cakada dan capres-cawapres,” kuncinya.
(Muhsin/fajar)





