Yayasan Kesejahteraan Berkelanjutan Indonesia (SUSTAIN) menyatakan pemberlakuan bea keluar batu bara yang akan dimulai Januari 2026 harus menjadi katalisator transisi energi berkeadilan, dengan penerapan pungutan yang memadai terhadap sektor tambang batu bara yang selama ini memperoleh super normal profit.
Direktur Eksekutif SUSTAIN Tata Mustasya menilai, bea keluar batu bara dengan tarif progresif yang tepat dapat menjadi game changer transisi energi Indonesia yang selama ini berjalan lambat.
Pendekatan ini dinilai memungkinkan pemerintah memperoleh sumber pendanaan transisi energi yang memadai, mendorong perusahaan tambang batu bara beralih ke bisnis energi terbarukan, dan memenuhi aspek keadilan.
“Bea keluar batu bara harus menjadi mekanisme penggunaan keuntungan ekonomi dari batu bara untuk pengembangan energi bersih. dan menggeser pembiayaan dan investasi sektor swasta dari sektor tambang batu bara ke energi bersih dan terbarukan sebagai bagian dari mitigasi krisis iklim dan masa depan ekonomi Indonesia," kata Tata, dalam siaran pers, Selasa (23/12). Dengan disinsentif yang tepat, sektor swasta akan memiliki waktu memadai untuk beralih ke sektor hijau.
Analisis SUSTAIN dalam publikasi terbaru, perhitungan dengan menggunakan beberapa skenario, penambahan pungutan produksi batu bara bisa menghasilkan total pendanaan hingga Rp 675 triliun untuk sepuluh tahun sesuai Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik atau RUPTL (2025-2034).
Pada tahap awal, pemerintah menargetkan bea keluar batu bara bisa menghasilkan Rp 20 triliun selama satu tahun, dengan persentase tarif 1-5%. Untuk itu, Tata menilai peningkatan tarif progresif secara bertahap harus dilakukan dalam beberapa tahun ke depan.
SUSTAIN juga merekomendasikan dua opsi pengelolaan penerimaan dari bea keluar batu bara.Pertama, dana yang dihimpun dari bea keluar batu bara dikelola oleh Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) untuk pembiayaan transisi energi, khususnya inisiatif 100 Gigawatt energi surya dari Presiden Prabowo Subianto.
Kedua, dana tersebut dapat digunakan dalam bentuk Dana Alokasi Khusus (DAK) yang secara khusus ditujukan untuk pengembangan energi surya 100 Gigawatt yang akan membangun pembangkit listrik tenaga surya di desa-desa di seluruh Indonesia.
Tata menekankan penerapan insentif bagi sektor energi terbarukan di Indonesia, khususnya energi surya, perlu dilakukan oleh pemerintah secara bersamaan untuk memberikan kepastian dan kemudahan bagi sektor swasta untuk melakukan transisi.
Selain itu, transisi energi perlu dilakukan secara bertahap dan berkeadilan, dengan memastikan stabilitas ekonomi dan fiskal tetap terjaga.
“Pemanfaatan penerimaan dari pungutan batu bara untuk membangun energi bersih dipandang sebagai pendekatan kebijakan yang tepat, baik dalam jangka pendek untuk tambahan penerimaan negara maupun orientasi jangka panjang untuk transformasi ke energi bersih dan industri hijau,” ujarnya.


