Bagi Ardila Lestari, lahir di Kota Bandung tak serta merta membuatnya punya gaya hidup perkotaan. Sebagai anak dari seorang pemulung, siswa 13 tahun ini termasuk dalam kelompok masyarakat miskin ekstrem.
Tidak ada kata menyerah, begitulah sikap Dila ketika menjalani hidupnya. Ia menerima takdir sebagai masyarakat miskin dengan menjalani prosesnya agar bisa bangkit melalui jalur pendidikan di Sekolah Rakyat Menengah Pertama (SRMP) 9 Bandung.
“Terima kasih Pak Presiden dan (Mensos) Gus Ipul. Awalnya aku enggak bakal bisa lanjut sekolah karena ekonomi keluarga susah. Sekolah Rakyat ini bikin aku bisa lanjutin sekolah, aku senang banget,” ungkap Dila saat ditemui di SRMP 9 Bandung, beberapa waktu lalu.
Rona kesedihan tidak terlihat di raut wajahnya, meski terkadang ia mengaku rindu sang ayah. Sejak ibunya berpulang tiga tahun lalu, Dila tinggal berdua bersama sang ayah yang berusia senja, 87 tahun.
Demi tugas sebagai seorang ayah yang bertanggung jawab, ia rela memulung botol plastik bekas di area perkomplekan dekat rumah mereka di Cikadut, Kampung Mande, Kota Bandung. Hasil yang didapat tak seberapa, dengan harga botol plastik hanya Rp 2.000 per kilogram, sehingga penghasilan rata-rata Rp 40 ribu–Rp50 ribu per minggu. Jumlah ini tentulah jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari sang ayah maupun mencukupi kebutuhan gizi Dila yang beranjak dewasa.
Uluran tangan orang baik di jalan berupa sekotak nasi pun menjadi santapan mewah bagi mereka. "Kalau aku mah, yang penting cukup ada nasi untuk makan, lauknya bisa pakai apa saja yang ada,” ucap Dila, mengenang masa lalunya.
Saat hampir kehilangan kesempatan untuk melanjutkan sekolah karena ketiadaan biaya, harapan itu kembali hadir ketika Dila mengenal Sekolah Rakyat dari salah seorang Pendamping Program Keluarga Harapan (PKH).
“Aku dengar katanya bisa sampai dikuliahkan, jadi aku senang banget masuk sini,” kata Dila dengan mata berbinar.
Di balik senyumnya, Dila menyimpan mimpi besar untuk menjadi dokter. Cita-cita itu lahir bukan semata untuk meniti masa depan cemerlang, melainkan agar ia bisa merawat ayahnya sendiri tanpa terbebani biaya rumah sakit.
Sekolah Rakyat yang berbasis asrama, membuka sebuah harapan bagi Dila. Meski sempat dihantui rasa rindu dan khawatir akan kondisi kesehatan sang ayah, Dila memutuskan untuk fokus belajar setelah sang ayah dijamin untuk mendapatkan perawatan rutin ke rumah sakit.
Harapannya sederhana, agar tetap mandiri, berpijak di atas kaki sendiri, belajar rajin, dan kelak membanggakan ayah.
Sekolah Rakyat merupakan sekolah gratis berasrama untuk anak-anak keluarga miskin pada desil 1 dan 2 DTSEN. Saat ini, program tersebut telah hadir di 100 titik, dan segera bertambah 65 titik lagi hingga total mencapai 165 lokasi pada tahun ajaran 2025/2026.
Presiden RI Prabowo Subianto menargetkan setiap sekolah dapat menampung hingga 1.000 siswa. Jika 500 sekolah rakyat terbangun, maka 500 ribu anak dari keluarga miskin akan mendapat akses pendidikan yang layak dan keluarganya diberdayakan untuk memutus mata rantai kemiskinan.




