Bisnis.com, JAKARTA — Saluran pelaporan baru pemerintah, Satgas Percepatan Program Strategis Pemerintah (P2SP), menampung pengaduan bahwa masih ada pengusaha yang kesulitan pembiayaan dari bank milik negara (Himbara).
Salah satu pelapor, PT Mayer Indah Indonesia menyampaikan pihaknya kesulitan mendapatkan pembiayaan termasuk dari himbara. Padahal perusahaan bordir dan penghasil kebaya itu telah berdiri sejak 1973 dan mengaku mengalami kesulitan sejak pandemi Covid-19.
General Manager (GM) Mayer Indah Indonesia Melisa Suria mengatakan perusahaan mengalami penurunan omzet lebih dari 50% ketika pagebluk. Kinerja perusahaan juga semakin memburuk seiring banjir impor pakaian bekas (thrifting) yang menjamur di pasaran.
"Konveksi-konveksi yang menjadi langganan kami semuanya pada pulangin [PHK] orang-orangnya ke kampung untuk tidak jahit baju lagi. Kemudian kami mau jualan tidak bisa jualan karena harganya tidak masuk," terang kepada Purbaya di kantor Kemenkeu, Jakarta, Selasa (23/12/2025).
Mayer Indah Indonesia merupakan satu dari 10 pengadu kepada pemerintah melalui saluran P2SP dan diterima langsung oleh Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa hari ini.
Melisa mengaku sempat berharap bisa mendapatkan terobosan dengan memperoleh pembiayaan dari Himbara, terutama setelah kementerian keuangan mengguyur likuiditas dengan total Rp276 triliun. Namun, para bank BUMN itu masih enggan memberikan pembiayaan akibat situasi dan kondisi yang dihadapi oleh industri tekstil.
Baca Juga
- Ada Kanal Aduan Baru Usai Lapor Pak Purbaya, Pengusaha: Jangan Cuma jadi Tempat Curhat Digital
- Usai Hotline Lapor Pak Purbaya, Pemerintah Kini Punya Saluran Resmi Atasi Masalh Lintas Kementerian
- Pabrik Obat Danantara (INAF) Janjikan Untung pada 2026 dengan Syarat
"Nah, bahkan sama bank rekanan kami yang sudah berhubungan lebih dari 15 tahun, mereka bilang kebijakan [internal] bank swasta tersebut bahwa industri tekstil tidak bisa diberikan, karena sudah terlalu bleeding [berdarah-darah/kritis]. Bahasanya seperti itu," terangnya.
Padahal, lanjut Melisa, pihaknya sudah datang ke bank dengan membawa kontrak penjualan sehingga mereka butuh kredit modal kerja (KMK). Di sisi lain, perusahaan itu turut mengekspor 20% dari produksi.
Adapun untuk beroperasi dengan kapasitas penuh, Melisa menyebut perusahaannya membutuhkan modal Rp30 miliar. Hanya saja, untuk mengajukan kredit di bawah Rp5 miliar saja sudah sulit.
Purbaya pun menawarkan agar Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI), yang berada di bawah Kemenkeu, untuk memberikan pembiayaan ke PT Mayer Indah Indonesia. Syaratnya, potensi ekspor perusahaan tersebut bisa ditingkatkan.
Dalam kesempatan yang sama, Plt. Direktur Eksekutif LPEI Sukatmo Padmosukarso menyebut pihaknya tidak bisa memberikan pembiayaan atas potensi ekspor dari perusahaan itu. Ini sesuai dengan hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) serta Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
"Masalahnya memang di masa yang lalu export judgement ini ada beberapa yang tidak bisa dipenuhi" terang Sukatmo.
Terobosan Satgas
Menghadapi realitas akses pembiayaan dari perbankan ini, Purbaya mengakui bahwa pihaknya tidak memiliki kewenangan untuk memberikan rekomendasi kredit kepada Himbara dalam menyalurkan kredit kepada badan usaha tertentu.
Meski demikian, Purbaya menyebut nantinya melalui Pokja Satgas P2SP, pemerintah menyiapkan KUR khusus industri padat karya agar sektor tekstil bisa lebih mudah mendapatkan pembiayaan. Syaratnya, perusahaan harus menyelesaikan tunggakan kewajiban BPJS Ketenagakerjaan.
"Jadi akan diberikan KUR khusus setelah [denda tunggakan] BPJS-nya diselesaikan," ungkap Purbaya.
Selain itu, denda tunggakan turut berpeluang dihapus dengan syarat pengajuan sesuai mekanisme perundang-undangan. Nantinya, penghapusan denda tunggakan bakal dibahas lebih lanjut oleh Kemenko Perekonomian dan Kementerian Ketenagakerjaan.
Selain itu, Kementerian ESDM nantinya akan menindaklanjuti permohonan perusahaan agar deposit gas tiga bulan dikurangi menjadi dua bulan. Hal itu guna mengurangi beban working capital perusahaan.



