Kehidupan sehari-hari tak lepas kaitannya dengan teknologi, salah satunya mesin beroda dua yaitu motor. Kendaraan ini mampu membawa kita dari satu tempat ke tempat lain dengan waktu lebih efisien dibandingkan berjalan kaki. Tidak sedikit masyarakat saat ini di Indonesia yang memiliki motor di rumah untuk menunjang produktivitas harian.
Ternyata, motor sudah eksis sejak masa pemerintahan kolonial Belanda yaitu pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Motor menjadi barang mewah bagi para masyarakat saat itu, hanya segelintir golongan yang memiliki akses untuk membeli dan menggunakannya. Motor pertama yang dijual di Indonesia merupakan motor buatan Eropa yang dibuat oleh Hildebrand & Wolfmuller.
Abdul Hakim dalam Jakarta Tempo Doeloe mencatat bahwa masyarakat saat itu tercengang dan terbengong-bengong, sampai-sampai mereka menjulukinya sebagai “kereta setan”. Akan tetapi, berkat motor pertama yang masuk ke Indonesia, beberapa orang Eropa dan orang Bumiputera dari kalangan kelas atas dan kalangan Eropa mulai mengimpor motor dari Eropa dan membentuk suatu komunitas mereka sendiri.
Munculnya Klub MotorPerkumpulan pecinta dan pemilik motor di Indonesia pada masa kolonial dibentuk sejak awal tahun 1900-an. Pada saat itu, jumlah pemilik kendaraan bermotor masih sangat sedikit, sehingga mereka sepakat untuk mendirikan sebuah perkumpulan. Komunitas motor pertama yang tercatat adalah Javasche Motor Club (JMC), berdiri pada tanggal 27 Maret 1906 dan berkantor di Jalan Bojong 153–156, Semarang. Tujuan awalnya sangat sederhana yaitu hanya untuk mempertemukan para pemilik kendaraan bermotor.
Seiring waktu, komunitas ini berkembang menjadi organisasi yang lebih besar dan diakui secara resmi oleh pemerintah Hindia-Belanda. Pada tahun 1908, namanya berubah menjadi Koninklijke Het Koninklijke Nederlands Indische Motor Club (KNIMC) dengan peran yang meluas hingga mencakup regulasi lalu lintas serta kegiatan pariwisata di Hindia-Belanda. Sepeda motor menjadi salah satu simbol status sosial dan modernitas pada zaman tersebut. Mayoritas anggota KNIMC adalah pengusaha-pengusaha pabrik yang sudah memiliki sepeda motor.
Tak hanya klub, media khusus yang membahas dunia motor juga mulai bermunculan. Pada akhir tahun 1913, majalah Magneet diterbitkan sebagai organ resmi dari Motor-Wielrijders Bond (“Serikat Pengendara Sepeda Motor”). Majalah ini kemungkinan merupakan jurnal pertama di Hindia Belanda yang membahas kehidupan di jalan-jalan modern secara eksklusif untuk kehidupan jalan-jalan yang modern dari aktivitas klub motor.
Aktivitas Klub MotorSetelah terbentuk, klub-klub motor di Hindia Belanda bukan cuma sekadar tempat orang pamer kendaraan mahal. Mereka punya beragam aktivitas yang membuat komunitas ini hidup dan menarik perhatian masyarakat. Salah satu kegiatan utama adalah touring antar kota. Para anggota kadang menempuh jarak puluhan hingga ratusan kilometer, melewati jalan-jalan kota besar seperti Semarang, Surabaya, dan Batavia. Mereka juga memanfaatkan alat transportasi baru tersebut untuk menjelajahi dan mengunjungi panorama alam yang ada di Indonesia.
Touring tidak sekadar menjadi ajang perjalanan, tetapi juga sarana mempererat hubungan antaranggota. Selain itu, aktivitas ini dimanfaatkan untuk menjelajahi panorama alam di Jawa dan wilayah sekitarnya. Peta Automobielkaart van de Java Motor Club van Java en Madoera menunjukkan rute-rute perjalanan yang biasa ditempuh oleh para pengendara motor kolonial.
Pada pertemuan klub, para anggota juga membahas mengenai iuran rutin dan juga perencanaan kedepannya terkait pengelolaan serta perkembangan hiburan balapan motor. Balapan motor di sering kali menjadi tontonan yang menarik bagi masyarakat sekitar, sekaligus memperlihatkan kecanggihan teknologi dan keterampilan berkendara para anggota klub.
aktivitas ini memperkuat ikatan sosial antaranggota dan menegaskan bahwa klub motor bukan hanya soal mesin, tetapi juga soal prestise, pergaulan, dan identitas sosial. Media masa kolonial, termasuk majalah Magneet, sering memuat laporan tentang touring, balapan, dan pertemuan klub. Karena seringnya mereka melakukan touring beberapa hotel dan tempat wisata di seluruh Hindia Belanda terhubung dengan organisasi klub motor seperti Javasche Motor Club.
Akan tetapi karena aksi touring dan memakai motor ini, dalam buku The Engeneering of Happy Land tercatat bahwa kecelakaan lalu lintas kerap terjadi, mulai dari tabrakan dengan gerobak dan dokar hingga insiden yang menelan korban jiwa. Kondisi ini mendorong perhatian terhadap pengelolaan jalan dan lalu lintas, termasuk penggunaan jalan-jalan utama seperti Jalan Daendels. Dalam konteks inilah, keberadaan klub motor turut berperan dalam diskusi dan penanganan masalah jalan raya pada masa kolonial.
Dari Jalan Kolonial ke Budaya Motor Masa KiniKeberadaan klub motor di Hindia Belanda menunjukkan bahwa sepeda motor sejak awal bukan hanya alat transportasi, melainkan juga bagian dari kehidupan sosial dan simbol modernitas. Melalui touring, balapan, hingga pertemuan sosial, klub motor membentuk budaya baru yang meninggalkan catatan dalam berbagai foto, arsip, dan pemberitaan surat kabar masa itu.
Budaya touring, komunitas motor, dan motor sebagai simbol identitas tidak lahir secara tiba-tiba, melainkan memiliki akar sejarah panjang sejak masa kolonial. Dengan melihat sejarah klub motor di Hindia Belanda, kita dapat memahami bahwa jalan raya bukan sekadar ruang mobilitas, tetapi juga ruang sosial tempat teknologi, budaya, dan manusia saling berinteraksi.



