Negara dan Politik Ingatan

mediaindonesia.com
16 jam lalu
Cover Berita

DALAM The Book of Laughter and Forgetting, Milan Kundera menulis bahwa perjuangan manusia melawan kekuasaan ialah perjuangan ingatan melawan lupa. Kalimat yang kerap dikutip akademisi dan organisasi nonpemerintah itu terdengar lirih, nyaris puitis, tetapi justru di situlah daya rusak dan bahayanya: lupa, dalam pengertian itu, bukan sekadar kecerobohan kolektif, melainkan kerja politik yang tekun, sabar, dan dilembagakan.

Lupa bukan sekadar kelalaian, melainkan proyek politik yang dikelola dengan rapi. Ia tidak datang dengan suara gaduh, tetapi dengan bahasa yang tertib, jilid-jilid tebal, dan klaim akademik tentang 'merawat memori kolektif'. Ia mungkin hadir bukan melalui sensor kasar, melainkan lewat seleksi, penyusunan buku, dan bahasa resmi yang terdengar akademik.

Peluncuran buku Sejarah Indonesia: Dinamika Kebangsaan dalam Arus Global pada Minggu, 14 Desember 2025, harus dibaca dalam kerangka itu: sebagai peristiwa kebudayaan yang sarat makna politik ingatan.

 

NEGARA DAN KLAIM MERAWAT MEMORI

Menteri Kebudayaan Fadli Zon, dalam peluncuran buku tersebut, menegaskan proyek 10 jilid itu ialah upaya negara 'merawat memori kolektif dan memperkuat jati diri bangsa', melalui penulisan sejarah yang komprehensif dengan perspektif Nusantara. Ia juga menekankan bahwa buku itu bukan satu-satunya rujukan, melainkan highlight perjalanan bangsa, disusun 123 sejarawan dari 34 perguruan tinggi, dan terbuka terhadap kritik.

Pernyataan-pernyataan itu terdengar menenangkan, bahkan demokratis, tetapi menjadi momen yang patut dibaca dengan kecurigaan yang sehat. Bukan karena sejarah tak boleh ditulis ulang, melainkan karena setiap penulisan ulang selalu mengandung pertanyaan paling mendasar: ingatan siapa yang dirawat, dan luka siapa yang diredam, apa yang dipilih untuk diingat, dan apa yang secara halus disingkirkan dari ingatan bersama?

 

PROBLEM HIGHLIGHT PERJALANAN BANGSA

Kita paham bahwa kekuasaan tidak selalu membakar arsip, melakukan sensor yang brutal, atau melarang buku. Cara yang lebih elegan ialah menata ingatan: mengubah urutan, melembutkan diksi, memadatkan tragedi menjadi catatan kaki, apa yang diletakkan di depan sebagai kisah kebesaran, dan apa yang dipinggirkan sebagai catatan yang terlalu rumit untuk dirayakan, lalu menyebutnya sebagai highlight perjalanan bangsa.

Dalam konteks itu, frasa highlight perjalanan bangsa menjadi isyarat yang jujur sekaligus problematik. Di titik itulah ironi bekerja. Setiap highlight selalu mengandaikan shadow: sejarah kelam, kekerasan negara, pembungkaman, penghilangan paksa, tragedi kemanusiaan, jarang dihapus secara terang-terangan. Ia cukup dipadatkan, diringkas, atau diletakkan dalam kerangka besar 'konsolidasi', 'stabilitas', atau 'dinamika global' atas nama harmoni kebangsaan.

 

SIAPA MENULIS, SIAPA MENGATUR INGATAN

Penegasan Fadli Zon bahwa buku itu 'bukan ditulis pemerintah', melainkan oleh para sejarawan, patut dicermati dengan kehati-hatian akademik. Dalam politik pengetahuan, persoalan kunci bukan hanya siapa yang menulis, melainkan juga siapa yang memberikan mandat, menentukan kerangka, dan menetapkan batas. Direktorat Sejarah, yang dihidupkan kembali bersamaan dengan berdirinya Kementerian Kebudayaan pada era Presiden Prabowo Subianto, menjadi institusi penting dalam mengatur arsitektur ingatan nasional. Di titik itu, otonomi akademik diuji bukan melalui sensor terbuka, melainkan melalui desain besar narasi: tema, periodisasi, dan apa yang dianggap relevan bagi identitas nasional hari ini.

 

DISKURSUS YANG DIUNDANG, DISKURSUS YANG DIBATASI

Klaim bahwa sejarah bersifat dinamis dan terbuka terhadap diskursus publik juga menyimpan ironi. Diskursus macam apa yang sungguh diundang? Apakah diskursus yang berani menyingkap kekerasan negara, pelanggaran HAM, penghilangan paksa, dan trauma kolektif, atau diskursus yang tetap berada dalam batas aman kebangsaan, rapi secara metodologis, tetapi jinak secara politik? Sejarah yang dihadirkan terlalu sopan berisiko berubah menjadi arsip yang tidak lagi melukai, padahal justru luka itulah yang seharusnya membuat sejarah bermakna.

 

PERSPEKTIF NUSANTARA DAN AMBIVALENSI ETIK

Perspektif Nusantara, yang dikedepankan sebagai sudut pandang Indonesia dalam arus global, membawa ambivalensi yang tajam. Di satu sisi, ia menjanjikan pembebasan dari historiografi kolonial. Di sisi lain, ia dapat menjadi selimut ideologis yang menutup kegagalan negara terhadap warganya sendiri. Tragedi kemanusiaan, ketika dibingkai sebagai sekadar episode dalam perjalanan panjang bangsa, kehilangan daya etiknya.

Ia tidak lagi menuntut pertanggungjawaban, tetapi sekadar pemahaman kontekstual. Di situlah pertaruhan sejarah nasional hari ini. Sejarah yang jujur bukan sejarah yang lengkap, karena kelengkapan ialah ilusi, melainkan sejarah yang bersedia menanggung ketidaknyamanan. Sejarah yang tidak takut pada kegelapan yang ikut membentuk terang.

 

MERAWAT INGATAN UNTUK KEJUJURAN SEJARAH

Ingatan tentang kekerasan, kesalahan, dan kegagalan negara bukan ancaman bagi identitas bangsa, melainkan syarat kedewasaan politiknya. Tanpa keberanian itu, buku sejarah, betapa pun tebal dan akademik, berisiko menjadi monumen yang indah bagi lupa. Melawan lupa bukan berarti menumpuk jilid atau menambah daftar pahlawan, melainkan berani menanggung ketidaknyamanan ingatan: ingatan yang tidak selalu heroik, tidak selalu membanggakan, dan kerap memalukan.

Intinya, persoalan mendasarnya bukan terletak pada legitimasi formal, landasan konstitusional, atau prosedur akademik dari buku sejarah itu, melainkan pada kapasitas epistemiknya untuk mengakomodasi ingatan yang bersifat disiden, ingatan para korban yang tidak pernah memperoleh pengakuan negara; ingatan tentang praktik kekerasan, pembiaran, dan kegagalan struktural negara dalam memenuhi kewajiban perlindungan terhadap warganya; serta ingatan yang secara politis tidak selaras dengan narasi kebangsaan dominan.

Tanpa keberanian untuk memasukkan ingatan-ingatan tersebut sebagai bagian integral dari sejarah nasional, bukan sebagai catatan marginal atau anomali, penulisan sejarah berpotensi direduksi menjadi instrumen legitimasi kekuasaan.

Dalam kondisi demikian, sejarah tidak lagi berfungsi sebagai medan refleksi kritis atas relasi negara dan warga, tetapi sebagai mekanisme produksi konsensus yang menormalkan penghapusan, merasionalisasi kekerasan masa lalu, dan membiasakan publik pada amnesia kolektif yang dilembagakan.

Di titik itulah tugas publik, akademisi, warga, dan terutama generasi muda menjadi krusial: bukan sekadar membaca atau mengkritik satu buku, melainkan juga terus mengganggu ketenangan ingatan yang telah dilembagakan. Ketika negara dengan yakin menyatakan dirinya sedang 'merawat memori kolektif', justru saat itulah kewaspadaan paling dibutuhkan. Melawan lupa, pada akhirnya, ialah tindakan etis, menolak sejarah yang terlalu nyaman untuk menjadi benar.

Karena itu, peluncuran buku itu seharusnya tidak ditutup dengan tepuk tangan seremonial, tetapi dibuka dengan kegelisahan publik yang terus hidup. Memastikan bahwa yang dirawat bukan hanya kebanggaan, melainkan juga kebenaran yang getir, ialah kerja intelektual dan etis yang tidak pernah selesai, dan tidak boleh diserahkan sepenuhnya kepada negara.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Pascaruntuhnya Rezim Assad, Umat Kristen Kembali ke Pedesaan Idlib
• 11 jam laludetik.com
thumb
Bulog Pantau Pasar Rawamangun, Harga MinyaKita Masih di Atas HET
• 4 jam lalurepublika.co.id
thumb
Prabowo: Mati Membela Rakyat Adalah Kehormatan, Saya Siap Mati Demi Rakyat Indonesia
• 4 jam laludisway.id
thumb
Gus Yahya Buka Suara Soal Polemik Tambang dan Gejolak Internal PBNU: Kami Tidak Pernah Minta
• 4 jam lalusuara.com
thumb
Lewat Inovasi Accessible EV, VinFast Indonesia Raih kumparan Awards
• 4 jam lalukumparan.com
Berhasil disimpan.