Pelarian jaksa Tri Taruna Fariadi akhirnya berakhir. Setelah meloloskan diri dari operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi, Kepala Seksi Perdata dan Tata Usaha Negara Kejaksaan Negeri Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan itu akhirnya diserahkan oleh Kejaksaan Agung ke KPK pada Senin (22/12/2025).
Tri Taruna Fariadi merupakan satu dari tiga orang jaksa yang telah ditetapkan sebagai tersangka pemerasan terhadap sejumlah perangkat daerah di Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan. Dua jaksa lainnya adalah Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Hulu Sungai Utara Albertinus Parlinggoman Napitupulu dan Kepala Seksi Intelijen (Kasi Intel) Kejari Hulu Sungai Utara Asis Budianto.
Sebenarnya, Tri Taruna terjaring operasi tangkap tangan (OTT) KPK bersama Albertinus Parlinggoman dan Asis Budianto pada Kamis (18/12/2025). Namun, Tri Taruna sempat melawan penyidik KPK dan melarikan diri saat akan ditangkap. Sementara dua jaksa lainnya dibawa ke Jakarta.
Lima hari setelah melarikan diri, Tri Taruna Fariadi akhirnya muncul di gedung KPK, Jakarta. Kejaksaan menyerahkan Tri Taruna kepada penyidik KPK.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung (Kejagung) Anang Supriatna, Senin, menegaskan, kejaksaan berkomitmen mendukung KPK dalam pemberantasan korupsi. Sebagai wujud dari komitmen itu, Kejagung menyerahkan jaksa Tri Taruna kepada KPK.
Kejagung, lanjut Anang, juga menyerahkan sepenuhnya proses hukum kepada KPK. Kejagung tidak akan menghalangi, mengintervensi, maupun melindungi jaksa yang disangka korupsi.
"Penyerahan tersebut merupakan bentuk sikap kooperatif dan transparan kita, sekaligus wujud nyata komitmen institusi dalam mendukung langkah-langkah penegakan hukum dan upaya bersih-bersih internal guna menjaga marwah dan integritas Korps Adhyaksa" kata Anang.
Meski demikian, Anang mengklarifikasi bahwa Tri Taruna tidak melarikan diri dari penangkapan penyidik KPK, melainkan menghindar. Sebab, Tri Taruna ketakutan ketika mau ditangkap.
KPK menetapkan Tri Taruna sebagai tersangka karena menjadi perantara yang menyerahkan uang hasil pemerasan kepada Albertinus P Napitupulu. Asis Budianto juga ditetapkan sebagai tersangka karena punya peran yang sama dengan Tri Taruna. Adapun Albertinus P Napitupulu disebut menerima hasil pemerasan hingga Rp 804 juta.
KPK mengungkap, Albertinus P Napitupulu merekayasa atau membuat seolah ada laporan dari lembaga swadaya masyarakat tentang adanya perkara pengadaan di Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Hulu Sungai Utara untuk mendapatkan uang. Padahal, dari keterangan para saksi, perkara itu tidak ada.
Anang memastikan bahwa para jaksa yang diduga terlibat dalam kasus itu sudah secara otomatis dinonaktifkan dari jabatannya. Selain itu, mereka juga diberhentikan sementara dari status kepegawaiannya. Hal ini berarti gaji dan tunjangannya diberhentikan sementara sampai yang bersangkutan mendapatkan putusan yang berkekuatan hukum tetap.
Jaksa yang terjaring OTT KPK dalam satu pekan terakhir bukan hanya Tri Taruna, Albertinus P Napitupulu, dan Asis Budianto. Pada hari yang sama, 18 Desember 2025, KPK juga menangkap Kepala Subbagian Daskrimti dan Perpustakaan di Kejaksaan Tinggi (Kejati) Banten Redy Zulkarnain bersama dengan sejumlah orang lainnya. Kasusnya pun sama, pemerasan.
Bedanya, KPK lantas menyerahkan penanganan kasus Redy ke Kejagung. Sebab, pihak Kejagung menyatakan bahwa Redy Zulkarnain telah diincar dan ditetapkan sebagai tersangka bersama dua jaksa lainnya. Kejagung juga menegaskan bahwa pihaknya telah lebih dulu menerbitkan surat perintah penyidikan (sprindik) pada 17 Desember 2025.
Adapun dua jaksa lain dalam perkara dugaan korupsi berupa pemerasan tersebut adalah Herdian Malda Ksastria selaku Kepala Seksi Pidana Umum Kejaksaan Negeri Kabupaten Tangerang, dan Rivaldo Valini selaku jaksa penuntut umum Kejati Banten.
Kejagung juga tengah menangani kasus dugaan pemerasan dalam penanganan perkara Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) Enrekang. Dalam kasus ini, Kejagung telah menetapkan bekas Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Enrekang yang saat ini menjabat Kepala Kejaksaan Negeri Bangka Tengah, Padeli, sebagai tersangka. Tidak tanggung-tanggung, uang hasil pemerasan yang diterima Padeli mencapai Rp 840 juta.
Dengan demikian, jika dihitung, jumlah jaksa yang terjerat kasus pemerasan yang kini ditangani KPK dan Kejagung berjumlah tujuh orang.
Melihat kasus-kasus itu, Anang meminta kepada masyarakat agar melaporkan ke kejaksaan jika mengetahui tindak pidana yang dilakukan jaksa. "Jaksa Agung meminta, kalau ada masyarakat terkait dengan tindakan tercela dari aparat kejaksaan, mohon dilaporkan," tuturnya.
Anang menuturkan, proses hukum terhadap Padeli juga berawal dari laporan masyarakat. "Berdasarkan laporan pengaduan dari masyarakat, ada dugaan transaksi dalam penanganan perkara ini berupa perbuatan tercela oleh kejaksaan. Kemudian tim intelijen menelusuri laporan pengaduan. Setelah cukup ada indikasi (pidana), kemudian didalami oleh bidang pengawasan. Setelah cukup bukti, segera dilimpahkan ke Jampidsus," ungkapnya.
Secara terpisah, anggota Komisi Kejaksaan Nurokhman mengatakan, penangkapan jaksa oleh KPK harus dijadikan pelajaran dan peringatan serius bagi kejaksaan. Komisi Kejaksaan menilai, operasi tangkap tangan terhadap jaksa tersebut tidak dapat dipandang sebagai kesalahan individu semata.
Menurut Nurokhman, kasus tersebut mencerminkan adanya persoalan dalam institusi kejaksaan dalam menjalankan fungsi pengawasan dan pembinaan serta menjadi indikator kegagalan pengawasan melekat (waskat). Oleh karena itu, seharusnya pimpinan satuan kerja bertanggung jawab secara administratif untuk memastikan integritas dan disiplin jajarannya berjalan secara konsisten.
"Tidak semua persoalan di internal kejaksaan bisa dibebankan kepada Jaksa Agung karena sebagian kewenangan telah didelegasikan kepada kepala kejaksaan negeri maupun kepala kejaksaan tinggi," kata Nurokhman.
Terkait dengan kasus tersebut, Komisi Kejaksaan meminta agar para jaksa yang diduga terlibat dalam tindak pidana korupsi itu ditindak tegas secara menyeluruh. Mereka mesti diproses secara pidana dan diberhentikan sebagai jaksa.
Menanggapi hal itu, kata Anang, kejaksaan akan melakukan evaluasi dalam bentuk meminta pertanggungjawaban kepada atasan khususnya mengenai ada tidaknya pengawasan melekat (waskat) terhadap para jaksa yang diduga terlibat.
"Apakah waskat itu sudah dilakukan atau tidak. Kalau waskat itu tidak dilakukan dan ada kendalanya. Itu nanti ada tindakan berikutnya dari pembinaan. Bentuknya seperti apa, tergantung," tutur Anang.
Kendati Kejagung menyatakan ingin bersih-bersih internal dengan mendukung proses hukum terhadap jaksa di KPK dan menyidik jaksa yang terjerat korupsi, langkah Kejagung mengambil alih penanganan perkara rasuah jaksa tetap dipertanyakan. Direktur Eksekutif Democratic Judicial Reform Bhatara Ibnu Reza bahkan menilai janggal keputusan KPK menyerahkan jaksa tersangka pemerasan kepada Kejagung dengan alasan Kejagung telah menerbitkan surat perintah penyidikan terlebih dahulu. Sebab, jaksa tersebut ditangkap dalam OTT yang berarti kejahatan sedang berlangsung.
Terlebih, sambung Bhatara, Putusan MK Nomor 15/PUU-XXIII/2025 menegaskan, apabila anggota kejaksaan tertangkap tangan melakukan tindak pidana, proses hukum terhadap yang bersangkutan dapat dilanjutkan tanpa memerlukan izin terlebih dahulu dari Jaksa Agung. Putusan tersebut memberikan kejelasan dan ketegasan untuk menutup peluang campur tangan Jaksa Agung.
"Dengan demikian, tidak ada alasan hukum bagi KPK menyerahkan tersangka untuk diperiksa oleh kejaksaan," kata Bhatara.
Bhatara pun meragukan transparansi dan akuntabilitas kejaksaan dalam menangani perkara yang melibatan anggotanya. Sebab, dari pengalaman perkara penggelapan dana kasus investasi robot trading Fahrenheit, kejaksaan dinilai melakukan tebang pilih. Pada kasus itu, Kejagung mencopot Hendri Antoro dari jabatan Kajari Jakarta Barat meskipun di persidangan disebutkan bahwa uang juga mengalir ke Hendri Antoro sebesar Rp 500 juta. Sementara, anak buahnya, yakni jaksa Azam Akhmad Ahsya, divonis 9 tahun penjara.
Dengan adanya kasus-kasus tersebut, menurut Bhatara, tampak bahwa fungsi pengawasan yang dilakukan oleh Komisi Kejaksaan dan pengawas internal kejaksaan sangat lemah dan tidak efektif mencegah praktik korupsi. "Sikap Komisi Kejaksaan yang afirmatif terhadap kejaksaan selama ini tidak menjadikan kejaksaan sebagai lembaga penegak hukum yang terpercaya, tetapi menjadikannya institusi yang secara sewenang-wenang menggunakan hukum," ujarnya.



