FAJAR, LOMBOK — Di saat nama-nama besar Timnas kerap mendominasi linimasa, satu sosok justru mencuri perhatian lewat jalur yang berbeda. Bukan dari stadion megah, bukan pula dari sorotan liga elite. Ia lahir dari lapangan kampung, dari turnamen tarkam yang berdebu dan riuh. Namanya Polo Barembe, yang lebih dikenal publik sebagai King Polo.
Gelandang asal Lombok Timur itu kembali menjadi perbincangan hangat setelah kabar ketertarikan klub luar negeri mencuat. DIT FC, klub asal Timor Leste, disebut berminat memboyong King Polo untuk berlaga di Liga Futebol Timor Leste musim depan.
Bagi penikmat sepak bola akar rumput, nama King Polo bukan cerita baru. Ia adalah ikon tarkam—pemain yang kehadirannya kerap mengubah jalannya pertandingan. Gaya bermainnya tenang, sederhana, namun sarat kecerdasan. Bola jarang lepas dari kakinya, keputusan selalu cepat, dan ritme permainan seolah mengikuti pikirannya.
Di kompetisi tarkam yang terkenal keras dan tanpa kompromi, King Polo justru tampil dingin. Ia bukan tipe pemain yang mengandalkan fisik semata, melainkan visi dan ketepatan membaca ruang.
King Polo memiliki nama asli Supriandi, lahir di Apitaik, Lombok Timur, 17 Februari 1999. Sejak kecil, sepak bola menjadi bagian dari kesehariannya. Lapangan desa menjadi sekolah pertamanya, turnamen antar kampung menjadi ruang ujian mental dan teknik.
Perlahan, namanya menjelajah dari satu turnamen ke turnamen lain, dari Nusa Tenggara hingga Pulau Jawa. Media sosial kemudian menjadi panggung kedua—tempat skill-nya viral, dipuja, sekaligus diperdebatkan.
Namun King Polo bukan sekadar sensasi internet. Ia sempat mencicipi jalur profesional saat memperkuat Persic Cilegon di Liga 4 Banten musim 2024/2025. Di sana, ia menjawab keraguan.
Bersama Persic, King Polo tampil konsisten sepanjang musim. Tak hanya mengantar tim menjadi juara Liga 4 Banten, ia juga dinobatkan sebagai Pemain Terbaik Kompetisi. Sebuah pengakuan bahwa pemain tarkam pun bisa bersinar di sistem kompetisi resmi.
Performa tersebut rupanya tak luput dari pantauan luar negeri. Akun Instagram @bola.lokal mengunggah tangkapan layar percakapan antara King Polo dan seseorang bernama Nelinho, yang mengaku berasal dari Timor Leste.
“Karena bulan Januari 2026 kita ada Liga Timor Leste, makanya kita sangat mau datangkan King Polo,” demikian isi pesan tersebut.
Klub yang dimaksud adalah DIT FC (Dili Institute of Technology Futebol Clube), tim yang berbasis di Dili dan berkompetisi di kasta tertinggi sepak bola Timor Leste. Berdiri sejak 2002, DIT FC dikenal sebagai klub yang cukup konsisten membangun tim.
Pada musim 2025, DIT FC finis di peringkat kelima liga. Meski belum meraih gelar, rekam jejak mereka tak bisa diremehkan. Klub ini pernah menjuarai Segunda Divisio pada 2017, 2019, dan 2023—menunjukkan ambisi dan keseriusan dalam proyek jangka panjang.
Bagi King Polo, tawaran ini lebih dari sekadar kontrak. Ini adalah peluang menembus batas, membuktikan bahwa jalur tarkam bukan jalan buntu. Bahwa sepak bola kampung juga bisa melahirkan pemain dengan kualitas internasional.
Jika negosiasi berjalan mulus, kisah King Polo akan menjadi narasi inspiratif baru: dari lapangan desa menuju kompetisi luar negeri. Sebuah pengingat bahwa bakat bisa tumbuh di mana saja—selama ada ruang, keberanian, dan kesempatan.
Dan di tengah hiruk pikuk sepak bola modern, King Polo hadir sebagai simbol romantisme yang tak lekang: sepak bola yang lahir dari rakyat, untuk rakyat



