Filantropi memegang peran penting dalam membantu masyarakat dan negara mencapai kesejahteraan. Tidak hanya sekadar memberikan bantuan dana, lembaga filantropi berfungsi sebagai mitra strategis dalam mendorong perubahan sosial, memperkuat kapasitas komunitas, serta membantu pemerintah mengatasi berbagai persoalan pembangunan yang kompleks.
Ford Foundation merupakan salah satu lembaga filantropi global yang memiliki kontribusi panjang bagi Indonesia. Didirikan pada tahun 1936 oleh Edsel dan Henry Ford, yayasan ini berevolusi menjadi aktor internasional setelah mendapat suntikan dana warisan pada era 1940-an. Pada 1953, Ford Foundation membuka kantor di Indonesia dan mulai mengarahkan dukungannya pada agenda nation building di masa awal kemerdekaan.
Kolaborasi Ford Foundation di Indonesia terus berkembang dari era Soekarno hingga reformasi. Mulai dari dukungan terhadap pembangunan ekonomi, program keluarga berencana, hingga penguatan masyarakat sipil seperti media, perempuan, seni-budaya dan tata kelola lingkungan. Lembaga ini juga menjadi mitra pemerintah dalam berbagai inisiatif, termasuk program yang kini dikenal sebagai perhutanan sosial.
Hingga saat ini, Ford Foundation tetap bekerja dengan pola kemitraan ganda dengan mendukung pemerintah dan organisasi masyarakat sipil secara beriringan. Kehadirannya menunjukkan bagaimana filantropi dapat menjadi jembatan penting dalam menciptakan pembangunan yang lebih adil, inklusif, dan berpihak pada manusia.
Katadata berkesempatan mewawancarai Direktur Regional Ford Foundation Indonesia, Alexander Irwan bersama Program Officer Ford Foundation Indonesia Farah Sofa membahas berbagai macam hal mulai dari isu mitigasi iklim, evaluasi COP30 Brasil, hingga komitmen pemerintah pada pemenuhan hutan masyarakat adat. Berikut petikan wawancaranya.
Jenis pendanaan seperti apa yang didukung oleh Ford Foundation?
Sebelum krisis keuangan 2008, kita punya empat program. Tapi kemudian endowment fund-nya merosot drastis jadi dilakukan perampingan. Sekarang programnya tinggal satu tetapi diampu oleh dua program officer. Nama programnya natural resources and climate justice.
Satu program officer menangani forest and land use. Kemudian yang satu lagi itu menangani just energy transition dan critical minerals termasuk nikel dan bauksit. Kita bermitra dengan kementerian dan civil society organization.
Seperti apa tren pendanaan dari lembaga filantropi dari tahun ke tahun?
Pendanaan filantropi itu merefleksikan kondisi ekonomi suatu negara. Perekonomian Indonesia semakin membaik dan diproyeksikan akan menjadi negara maju. World Bank juga sudah memasukkan Indonesia dalam kategori Upper Middle Income Country.
Karena perekonomiannya semakin membaik, alokasi pendanaan baik dari multilateral, bilateral maupun dari filantropi itu memang menurun. Jadi bukan hanya Ford Foundation sendiri, tetapi ini merupakan bagian dari kecenderungan yang lebih umum sebetulnya.
Bagaimana Anda melihat perkembangan di Amerika Serikat? Apakah akan mempengaruhi aktivitas dan pendanaan Ford Foundation?
Ford Foundation tidak bergantung pada pendanaan dari pemerintah federal. Ford Foundation dibiayai dari hasil investasi. Investment fund-nya itu sekarang kalau enggak salah itu sekitar US$15 billion. Operasional dan dana program itu dari hasil investasi. Alokasinya sekitar 60% untuk domestik dan 40% untuk internasional. Jadi sebetulnya Ford Foundation tidak terpengaruh kebijakan Donald Trump yang seperti itu.
Namun, akan berpengaruh kalau Trump mengubah kebijakan pajak charity foundation. Kalau misalnya nanti dia menaikkan pajak untuk lembaga amal, itu akan sangat berpengaruh. Bukan cuma ke Ford Foundation, tetapi juga ke lembaga lainnya.
Bagaimana Anda melihat perhelatan COP30 di Brasil?
COP digelar di Belem, di tepi Sungai Amazon yang merupakan salah satu dari hutan tropis terbesar di dunia yang mengalami tingkat deforestasi tinggi. Sehingga COP30 diharapkan bisa menghasilkan keputusan-keputusan yang signifikan.
Jadi yang diharapkan misalnya ada kesepakatan untuk membuat roadmap penghapusan fossil fuel. Tapi ternyata tidak terjadi. Jadi yang berhasil disepakati bukan kesepakatan penuh, tetapi seperti meeting halfway.
Ada perwakilan-perwakilan dari masyarakat adat yang mengatakan COP selama ini masih belum bisa mewakili kepentingan dari masyarakat-masyarakat adat. Bahwa sudah terbukti sebetulnya yang bisa melindungi hutan dari deforestasi itu adalah masyarakat adat. Jadi mereka adalah guardian of the forest. Itu mereka menganggap juga hasil dari COP30-nya masih kurang tegas.
Jadi dari sisi masyarakat adat cukup banyak kekecewaan. Kemudian dari sisi penurunan emisinya tidak ada kesepakatan. Biasanya kan kalau ada kesepakatan misalnya roadmapnya, baik 2030 itu sudah menurun sekian untuk fossil fuelnya. Nanti 2040 menurun lagi sekian. Itu kan tidak terjadi kesepakatannya. Sehingga itu dianggap merupakan kemunduran.
Tapi khusus untuk Indonesia sebetulnya kita menganggap cukup berhasil. Indonesia mengumumkan percepatan rekognisi hutan adat 1,4 juta hektare. Sehingga dampaknya cukup bagus kalau menurut saya. Ini menunjukkan leadership Indonesia untuk concernnya mencegah deforestasi dengan cara merekognisi hutan-hutan adat yang akan dilindungi dari kegiatan-kegiatan perindustrian, perkebunan, pertambangan dan sebagainya oleh masyarakat adat.
Kesuksesan kedua, saya pikir itu tentang pledge pendanaan iklim. Jadi ketika COP di Glasgow pada 2020, ada enam negara dan sekian puluh filantropi itu pledging pendanaan sebesar US$ 1,8 billion untuk masyarakat adat. Itu Ford juga menjadi salah satu lembaga filantropi yang melakukan pledging itu. Nah kemarin di COP30 itu pledge 2.0-nya berhasil di-announce lagi.
Amerika keluar karena pemerintahan Trump enggak percaya pada climate change apalagi masyarakat adat. Tapi jumlah lembaga filantropi yang ikut dalam pledging itu meningkat cukup banyak. Jadi dulu itu kalau enggak salah 15 lembaga. Sekarang jumlahnya hampir 30 lembaga.
Ford terlibat aktif mendorong pengakuan hutan adat. Bagaimana prosesnya?
Ford Foundation sudah beraudiensi dengan Kementerian Kehutanan. Saat ini hutan adat yang sudah diakui hanya 300.000 hektare atau maksimal 400.000 ha. Nah bagaimana agar komitmen pengakuan terhadap 1,4 juta ha hutan adat ini bisa dicapai dalam lima tahun ke depan. Ini kan baru sebatas komitmen politik, perlu diterjemahkan ke kebijakan.
Peraturan-peraturan yang selama ini menghambat, mungkin perlu direvisi. Kemudian juga lebih memberdayakan pemerintah daerah. Karena kalau pakai model yang sekarang, itu kan semua timnya dari Kementerian Kehutanan saja.
Nah ke depan, kita berharap aturan yang menghambat ini diubah. Kemudian proses verifikasinya juga dipermudah. Selama ini dimulai dari level daerah itu diteliti dulu, kemudian ada rekomendasi bupati, baru naik Kementerian Kehutanan. Kalau ternyata bersinggungan dengan konsesi atau daerah konservasi, itu prosesnya bisa lebih lama lagi.
Sementara teman-teman BRWA itu bilang, bisa enggak sih kalau misal perdanya itu wilayah adat. Nanti di dalamnya ada hutan adat dan lain-lain.
Jadi 1,4 juta ha itu sebenarnya adalah indigenous territory atau wilayah bukan hutan adat. Jadi kita sedang mengupayakan agar jangan dikecilkan menjadi hutan adat saja. Ide yang lain misalnya, bisa enggak kita bikin itu menjadi kesatuan pemangku hutan adat. Jadi selama ini sudah ada KPH-KPH, yang merupakan unit wilayah pengelola terkecil di tingkat tapak. Tetapi yang berdasarkan adat belum ada. Perlu ada terobosan agar target 1,4 juta hektare hutan adat itu bisa terlaksana. Kami berharap 1,4 juta ha itu sebagai pilot project. Harapannya nanti bisa bergulir lagi hingga 2 atau 3 kali lipatnya.
Bagaimana Anda melihat beberapa target iklim Indonesia yang sepertinya sulit tercapai? Soal bauran energi terbarukan misalnya?
Kita bermitra dengan pemerintah dan dengan civil society organization. Jadi target penurunan emisi dan sebagainya itu, itu mitra-mitra kami bekerja sama dengan pemerintah untuk membantu pencapaian target itu itu ya. Bahkan sejumlah mitra-mitra kami itu ikut mendorong supaya pemerintah menaikkan target-target tersebut gitu ya.
Jadi sebenarnya kalau dari sisi kami tetap optimistis. Memang masalahnya adalah untuk bisa mencapai itu harus ada resource allocation yang memadai. Misalnya untuk bertransisi dari batu bara ke energi terbarukan.
Kemudian harus ada perubahan-perubahan kebijakan. Di sektor renewable energy misalnya, bisa terkait dengan kebijakan impor komponen. Memang ada tantangan, tetapi kami tetap optimistis.
Kalau pesimistis, pasti lebih baik diturunkan saja targetnya. Nah, kita enggak mau kalau pemerintah sampai menurunkan target-target penurunan emisi dan lainnya. Jadi menurut saya kalau resource allocation-nya itu bisa menjadi prioritas gitu.
Terkait pendanaan iklim, Apa yang harus dilakukan Indonesia untuk memastikan pembiayaan perubahan iklim?
Pendanaan iklim itu sumbernya macam-macam. Ada yang sumbernya dari level internasional dan dari resource mobilization di tingkat domestik. Cina misalnya, resource mobilization-nya dipakai untuk membiayai agenda iklim nasional dan memberikan bantuan ke negara-negara lain. Itu makanya proyek Belt and Road Initiative (BRI) itu ada yang namanya Green BRI. Jadi kalau Cina itu sudah berhasil melakukan resource mobilization untuk mendanai agenda domestik dan memberikan bantuan ke negara-negara di luar Cina.
Kalau Indonesia levelnya beda. Indonesia itu sudah mampu melakukan resource mobilization domestik. Ini misalnya melalui green bonds, green sukuk, dan sebagainya. Tetapi hasilnya baru bisa dipakai untuk membiayai agenda iklim nasional. Belum bisa dipakai untuk memberikan bantuan ke luar. Kecuali komitmen Prabowo untuk Tropical Forest Forever Facility (TFFF) sebesar US$1 miliar.
Kemudian ada Orange Bonds, untuk mengatasi isu-isu terkait gender dan perubahan iklim. Jadi memang sekarang ini yang sedang didorong itu adalah negara-negara dari Asia sudah harus mulai melihat potensi internal resource mobilization. Jadi tidak semata-mata menggantungkan pendanaan dari negara-negara maju.

:strip_icc()/kly-media-production/medias/5446448/original/052171700_1765887948-PHOTO-2025-12-16-19-21-56.jpg)


