Jakarta: Perkembangan teknologi blockchain yang kian masif, disorot. Sebab, teknologi tersebut membawa perubahan besar dalam sistem keuangan digital, termasuk dalam bidang hukum.
“Blockchain bukan sekadar teknologi, melainkan ruang hukum baru yang menuntut kehadiran negara,” kata Kepala Bagian Tata Usaha Kejaksaan Tinggi Lampung, Juwita Patty Pasaribu, dalam keterangan tertulis yang dikutip Rabu, 24 Desember 2025.
Hal tersebut diungkap Juwita dalam disertasi doktoral ilmu hukum Juwita, di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Disertasi berjudul “Teknologi Blockchain di Indonesia: Regulasi, Mekanisme, dan Pertanggungjawaban Pidana” itu mengantar Juwita meraih gelar doktoral.
Juwita mengkaji mendalam bagaimana blockchain—sebagai fondasi aset kripto berpotensi disalahgunakan sebagai sarana tindak pidana, khususnya pencucian uang. Karakteristik teknologi yang anonim, lintas yurisdiksi, serta minim perantara dinilai menghadirkan tantangan baru bagi sistem hukum konvensional.
Menurutnya, hukum tidak boleh tertinggal dari laju inovasi digital. Tanpa regulasi yang adaptif dan komprehensif, teknologi blockchain berisiko menjadi medium kejahatan yang sulit dijangkau aparat penegak hukum.
Baca Juga :DRX Token Resmi Listing, Gebrak Inovasi Sport-Tech Indonesia
Dalam disertasinya, Juwita menyoroti kerangka hukum nasional Indonesia saat ini belum sepenuhnya mampu. Terutama, dalam mengantisipasi modus kejahatan berbasis teknologi blockchain.
Menurut Juwita, pengaturan aset kripto masih bersifat sektoral dan belum menyentuh mekanisme teknologi secara menyeluruh. Sehingga, berpotensi menimbulkan kekosongan hukum. Baik, dalam aspek pengawasan maupun pertanggungjawaban pidana para pelaku dalam ekosistem blockchain.
Juwita juga menekankan pentingnya revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Agar, selaras dengan perkembangan teknologi keuangan digital.
Ia menilai, pendekatan hukum pidana tradisional yang bertumpu pada pembuktian perbuatan fisik dan niat jahat menghadapi tantangan serius ketika berhadapan dengan transaksi digital yang berjalan otomatis melalui smart contract dan sistem terdesentralisasi.
Penganugerahan gelar doktoral terkait disertasi teknologi blockchain. Foto: Istimewa
Melalui analisis perbandingan terhadap berbagai regulasi internasional, termasuk rekomendasi Financial Action Task Force (FATF), disertasi ini menawarkan arah kebijakan yang lebih progresif. Menurutnya regulasi blockchain perlu dirancang berbasis risiko, mampu menjamin kepastian hukum, sekaligus tetap mendorong inovasi teknologi.
“Regulasi tidak boleh mematikan inovasi, tetapi harus mampu menutup celah penyalahgunaan yang merugikan masyarakat dan mengancam integritas sistem keuangan,” kata Juwita.
Karya akademik ini diharapkan dapat menjadi rujukan bagi pembuat kebijakan, aparat penegak hukum, dan kalangan akademisi dalam merumuskan masa depan pengaturan blockchain di Indonesia. Dengan regulasi yang tepat, teknologi blockchain dinilai tidak hanya mampu mendorong pertumbuhan ekonomi digital, tetapi juga memperkuat upaya pencegahan kejahatan keuangan berbasis teknologi.
Melalui disertasi tersebut, Juwita Patty Pasaribu menegaskan bahwa tantangan hukum di era digital tidak dapat dihindari. Yang dibutuhkan adalah keberanian dan kecermatan negara dalam menata “belantara blockchain” agar tetap berada dalam koridor hukum dan keadilan.




