Sepiring Pupusas di Amerika dan Makna Keberagaman

kumparan.com
14 jam lalu
Cover Berita

Pengalaman saya sekolah di Amerika Serikat adalah salah satu momen penting yang membentuk cara saya melihat dunia. Sebagai mahasiswa Universitas Airlangga, ketika kembali mengingat pengalaman itu, saya menyadari bahwa hidup di lingkungan yang beragam memberi kesempatan luar biasa untuk memahami keberagaman secara langsung, bukan hanya sebagai teori, tapi sebagai pengalaman yang membuat saya lebih bijak secara sosial.

Di sekolah, saya bersosialisasi dengan teman-teman dari berbagai belahan dunia, seperti Asia Timur, Timur Tengah, Eropa, dan Amerika Latin. Setiap kali bertemu, saya selalu mendapatkan cerita, perspektif, dan nilai budaya yang berbeda. Salah satu teman yang paling berkesan bagi saya adalah teman dari El Salvador.

Dari dia, saya belajar banyak tentang budaya Amerika Latin, seperti tradisi keluarga, problem sosial di negaranya, hingga harapan para pemuda di sana. Percakapan kami sering berujung pada diskusi yang mendalam tentang identitas, sejarah, dan bagaimana kita memandang masa depan.

Suatu hari, dia mengajak saya mencoba makanan khas El Salvador yang terkenal, yaitu pupusas.

Karena saya seorang muslim, dia memberi saya versi yang lebih aman, yaitu pupusas isi keju atau kacang. Pupusas adalah roti pipih yang terbuat dari adonan jagung atau tepung beras, diisi sesuatu lalu dipanggang di atas komal, alat masak tradisional. Makanan ini biasanya disajikan dengan curtido, yaitu acar kol yang difermentasi ringan, membuat rasanya segar dan sedikit asam, serta saus tomat halus yang menyeimbangkan rasa.

Saat pertama kali mencicipi pupusas, saya merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar kenikmatan rasa. Saya merasa seolah-olah masuk ke dalam budaya El Salvador melalui aroma, tekstur, dan cerita yang disertakan bersama makanan itu. Dari situ, saya menyadari bahwa makanan tradisional tidak hanya soal rasa, tapi juga jembatan yang menghubungkan dua perbedaan.

Pengalaman sederhana namun berharga ini membuat saya semakin memahami bahwa proses belajar tentang budaya tidak selalu terjadi di dalam kelas. Sebaliknya, proses itu tumbuh dari interaksi sehari-hari, dari keberanian untuk saling berbagi cerita, serta dari sikap terbuka untuk mencoba hal-hal baru sekaligus tetap menjaga nilai-nilai pribadi. Keberadaan teman-teman dari berbagai belahan dunia mengajarkan saya tentang empati, toleransi, dan kemampuan untuk melihat isu-isu global dari berbagai perspektif.

Sebagai mahasiswa di Universitas Airlangga, saya merasa pengalaman ini sangat relevan dengan tantangan yang akan dihadapi di masa depan. Dunia kini semakin terhubung, namun juga semakin rumit. Untuk menghubungkan masa kini dengan masa depan, kita membutuhkan generasi yang mampu berkomunikasi lintas budaya generasi yang menganggap keragaman sebagai kekuatan bersama. Pengalaman saya di Amerika Serikat telah membantu saya menjadi seseorang yang lebih terbuka, lebih reflektif, dan lebih siap menghadapi dinamika dunia global dengan pemahaman yang lebih manusiawi.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
SBY Lelang Lukisan Laku Rp311 Juta, Didonasikan untuk Bencana Sumatra
• 22 jam laluidntimes.com
thumb
SMKM Siap Ambil Alih Panasia Aquaculture, Nilai Transaksi Capai USD100 Juta
• 20 jam laluidxchannel.com
thumb
Libur Natal, Lalu Lintas Menuju Kebun Binatang Ragunan Padat Merayap
• 4 jam lalukompas.com
thumb
Puan Maharani Harap Natal 2025 Perkuat Solidaritas, Ajak Sambut Tahun Baru dengan Empati
• 22 jam laluliputan6.com
thumb
7 Tanaman Hias Pengganti Pohon Natal yang Mirip Cemara untuk Dekorasi Rumah
• 6 jam lalumetrotvnews.com
Berhasil disimpan.