ANGGOTA Komisi X DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan Bonnie Triyana menegaskan komitmennya dalam memperkuat literasi masyarakat di Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Komitmen tersebut diwujudkan melalui pembagian buku jalur aspirasi kepada sejumlah Taman Bacaan Masyarakat (TBM) dalam agenda resesnya.
Secara simbolis, Bonnie menyerahkan buku kepada TBM Al-Latif Mandalawangi, TBM Jendela Dunia Kelapa Cagak, TBM Riyadhul Falah, TBM Sahabat As-Shodiq, dan TBM Sahabat Madani. Penyerahan dilakukan di Pucuk Pare Cafe dan Resto, Rabu (24/12).
“Saya berupaya membantu komunitas baca agar bisa mendapatkan buku. Saya mencoba memperjuangkan dan menghubungkan berbagai pihak agar bantuan buku tetap bisa sampai ke masyarakat,” kata Bonnie dalam keterangan yang diterima, Rabu (24/12).
Dalam kesempatan tersebut, Bonnie juga menyinggung perannya dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas). Ia menegaskan sedang mengawal agar pelajaran sejarah dan sastra masuk sebagai mata pelajaran wajib di sekolah.
“Saya inisiatornya, insya allah akan menjadi mata pelajaran wajib. Alhamdulillah, sudah terkawal masuk. Saya kawal betul,” kata Bonnie.
Menurut Bonnie, dorongan menjadikan sejarah dan sastra sebagai mata pelajaran wajib berangkat dari kondisi tingkat literasi Indonesia yang masih rendah, terutama di kalangan generasi muda.
Bonnie menilai penggunaan gawai saat ini lebih banyak diarahkan untuk hiburan ketimbang memperkaya pengetahuan.
“Anak-anak kita hari ini mengalami penurunan minat baca yang serius. Gadget memang menjadi medium informasi, buku pun bisa dibaca lewat gadget. Tetapi persoalannya, penggunaan gadget lebih banyak dihabiskan untuk screen time dan media sosial, bukan untuk membaca. Fenomena media sosial, seperti TikTok, lebih banyak menyajikan konten hiburan yang memuaskan emosi sesaat, bukan aspek kognitif atau pengetahuan,” kata dia.
Usai penyerahan buku, Bonnie didapuk menjadi pembicara dalam bedah buku novel “Andra, Bulan Sabit dan Rosario” karya Qizink La Aziva, yang diikuti perwakilan dari lima TBM penerima bantuan buku.
Bonnie yang telah membaca novel tersebut memaparkan gambaran umum latar historis dan isu-isu yang diangkat penulis, mulai dari kekerasan seksual, rasialisme, hingga sejarah politik Indonesia.
“Ketika saya membaca novel Andra, sejak judulnya saja sebenarnya sudah memancing polemik. Saya sempat bertanya-tanya, jangan-jangan ini ada hubungannya dengan figur tertentu. Di situ saya melihat bahwa penulis memang menginginkan novelnya hadir di ruang publik dan diramaikan dalam diskursus. Dengan cerita yang mengalir, isu toleransi, politik, dan SARA dihadirkan secara sadar sebagai bagian dari realitas sosial,” ungkap Bonnie.
Sementara itu, penulis novel Qizink La Aziva menegaskan bahwa karyanya tidak merujuk pada tokoh politik tertentu. Ia menyebut proses penulisan novel tersebut memakan waktu sekitar enam bulan, mulai dari riset hingga penulisan rampung.
“Temanya tentang apa, di situ ada toleransi, ada tentang korupsi, isu-isu dinasti ada. Termasuk isu 98 dan kasus Penistaan agama. Banyak peristiwa yang saya rangkai dalam novel ini,” ujar Qizink.
Selain Bonnie, bedah buku tersebut juga menghadirkan Ahmad Supena, Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta), sebagai pembedah. Adapun wartawan senior Pandeglang, Muhaemin, bertindak sebagai moderator. (P-4)



