Penulis: Fityan
TVRINews - Jakarta
Penolakan pembayaran tunai di gerai ritel memicu desakan penegakan hukum bagi pelestarian kedaulatan Rupiah.
Fenomena digitalisasi sistem pembayaran di Indonesia kini tengah menuai sorotan tajam menyusul insiden viral seorang lansia yang kesulitan bertransaksi menggunakan uang tunai di sebuah gerai makanan.
Kasus ini memicu perdebatan mengenai batasan aturan internal perusahaan yang dinilai berbenturan dengan kedaulatan mata uang nasional.
Ketua Komisi VII DPR RI, Saleh Partaonan Daulay, menegaskan bahwa kebijakan gerai yang hanya menerima pembayaran nontunai (cashless) merupakan pelanggaran nyata terhadap konstitusi.
Menurutnya, hak warga negara untuk menggunakan uang fisik tidak boleh dianulir oleh regulasi sepihak dari pemilik usaha.
"Fakta di lapangan menunjukkan bahwa teknologi digital tidak selalu inklusif bagi semua kalangan. Kita melihat preseden buruk di mana seorang warga senior terpinggirkan hanya karena ia tidak memiliki akses pada sistem digital," ujar Saleh dalam keterangan resminya, Kamis 25 Desember 2025.
Payung Hukum dan Sanksi Pidana
Secara yuridis, penggunaan Rupiah sebagai alat pembayaran yang sah diatur secara ketat dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang.
Dalam beleid tersebut, khususnya Pasal 33, ditegaskan bahwa setiap orang dilarang menolak Rupiah untuk transaksi pembayaran di wilayah NKRI.
Pelanggaran terhadap ketentuan ini bukan sekadar masalah administrasi, melainkan ranah pidana. Berdasarkan UU tersebut, penolakan terhadap uang Rupiah dapat diancam dengan hukuman kurungan maksimal satu tahun serta denda paling banyak Rp200 juta.
Satu-satunya pengecualian yang diizinkan hanyalah jika terdapat keraguan atas keaslian fisik uang tersebut.
Saleh mengkhawatirkan tren eksklusivitas digital ini akan melemahkan wibawa negara sebagai negara hukum jika terus dibiarkan tanpa tindakan tegas.
"Atasan di sebuah gerai ritel adalah warga negara biasa yang tidak memiliki wewenang membuat aturan yang mengikat warga negara lain di atas undang-undang. Jika fenomena ini menjamur, akan terjadi disrupsi sosial yang merugikan masyarakat luas," tambahnya.
Desakan kepada Otoritas Moneter
Menanggapi situasi yang kian meluas, DPR mendesak Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia (BI) untuk segera melakukan langkah intervensi.
Otoritas terkait diminta tidak bersikap pasif terhadap gerai-gerai yang secara terang-terangan menolak transaksi tunai.
"Menteri Keuangan dan Gubernur BI harus turun tangan. Penegakan aturan tidak boleh lemah, terutama karena perintahnya sudah tertulis secara eksplisit dalam undang-undang," tegas politisi Fraksi PAN tersebut.
Hingga saat ini, dorongan agar pemerintah melakukan audit terhadap sistem pembayaran di berbagai gerai internasional maupun lokal semakin menguat.
Langkah ini dianggap krusial demi menjaga keadilan akses ekonomi bagi seluruh lapisan masyarakat, baik yang sudah melek digital maupun yang masih bergantung pada sistem konvensional.
Editor: Redaksi TVRINews




