FAJAR.CO.ID, MAKASSAR — Pengamat Hukum Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar, Andika Aulia, menyebut, polemik penempatan anggota Polri aktif di jabatan sipil sejatinya tidak bisa dilepaskan dari agenda besar Reformasi Polri.
Dikatakan Andika, perdebatan soal Peraturan Pemerintah (PP) dan ukuran sangkut paut dengan fungsi kepolisian hanyalah aspek teknis.
Substansi utamanya justru menyentuh soal profesionalisme, akuntabilitas, serta pembatasan peran Polri agar tidak kembali melebar ke ranah sipil dan politik.
“Di luar perdebatan teknis mengenai PP dan ukuran sangkut paut dengan fungsi kepolisian, isu ini sesungguhnya menyentuh agenda Reformasi Polri yang selama dua dekade lebih menjadi tuntutan publik,” ujar Andika kepada fajar.co.id, Kamis (25/12/2025).
Ia menekankan, legitimasi kelembagaan Polri tidak semata-mata bersumber dari kewenangan hukum.
Lebih dari itu, legitimasi lahir dari kepercayaan publik yang dibangun melalui kepatuhan pada prinsip negara hukum, transparansi, serta kemampuan institusi untuk membatasi diri.
“Dalam perspektif legitimasi kelembagaan, Reformasi Polri seharusnya menjadi senjata utama untuk membangun simpati publik karena legitimasi tidak hanya lahir dari kewenangan hukum, melainkan dari kepercayaan,” jelasnya.
Andika mengingatkan, ketika kebijakan turunan pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) justru dipersepsikan membuka celah baru, maka dampaknya bukan hanya pada kepastian hukum.
Kredibilitas Polri sebagai institusi yang tengah membangun wajah baru dan demokratis juga ikut tergerus.
“Ketika kebijakan turunan pasca putusan MK justru dipersepsi publik membuka celah baru, maka yang tergerus bukan hanya kepastian hukum, tetapi juga kredibilitas Polri,” tegasnya.
Dari sudut pandang politik hukum, Andika mengatakan bahwa putusan MK sejatinya menyediakan momentum penting bagi Polri untuk menunjukkan komitmen nyata terhadap reformasi.
Kebijakan yang lahir semestinya menutup ruang multitafsir, bukan sebaliknya memperluas elastisitas penempatan anggota Polri aktif di jabatan sipil.
“Prinsipnya sederhana, jika Putusan MK hadir untuk mengembalikan kepastian norma dan mencegah elastisitas penempatan Polri aktif di jabatan sipil, maka respons kebijakan semestinya memperkuat batas,” katanya.
Ia merinci, penguatan batas itu dapat dilakukan melalui indikator sangkut paut yang ketat, pembatasan jabatan berbasis fungsi, larangan konflik kepentingan, hingga mekanisme audit remunerasi dan akuntabilitas yang jelas.
Dengan langkah-langkah tersebut, lanjut Andika, Reformasi Polri tidak berhenti sebagai jargon, melainkan tampil sebagai disiplin kelembagaan yang konkret.
Polri, kata dia, perlu menunjukkan kemampuan menahan diri dari area-area yang berpotensi memunculkan persepsi dwifungsi atau keistimewaan struktural.
“Oleh karena itu, bila PP benar-benar diterbitkan, ia semestinya dibingkai sebagai instrumen reformasi, memperjelas batas peran, mempertegas standar etika, dan memperkuat akuntabilitas, bukan sekadar instrumen administratif untuk melanggengkan pola lama dalam format baru,” tandasnya.
Kata Andika, di ruang publik, kebijakan yang mampu meminimalkan polemik justru lebih efektif dalam mengembalikan simpati masyarakat.
Publik cenderung percaya pada institusi yang menegakkan kepastian hukum dan menunjukkan komitmen pembaruan, dibanding institusi yang memilih jalur regulasi yang mudah dipersoalkan karena terkesan mengakali rambu konstitusional.
“Dengan kata lain, Reformasi Polri yang konsisten pada batas dan transparansi bukan hanya kebutuhan hukum, melainkan strategi legitimasi yang paling rasional dalam demokrasi,” kuncinya.
(Muhsin/fajar)





