Desember ini, sebuah angin segar (atau malah mungkin badai baru) berhembus kencang dari Senayan. Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) baru saja meluncurkan sebuah pasukan elite: 1.450 Guru Pejuang Digital.
Namanya terdengar begitu gagah, mendesak, dan heroik layaknya para superheroes di Avengers. Ada kata "Pejuang", menyiratkan pertempuran melawan ketertinggalan. Ada kata "Digital", mantra sakti yang dipercaya sebagai obat panasea bagi segala penyakit pendidikan kita. Mereka, para guru yang terpilih ini, dibekali mandat yang tidak main-main: menjadi pelopor transformasi, mentor bagi rekan sejawat, dan pilot bagi perangkat-perangkat canggih seperti Interactive Flat Panel (IFP) yang kini mulai dikirimkan ke sekolah-sekolah terpilih.
Namun, di balik gemerlap peluncuran yang penuh lampu sorot dan narasi optimis tentang masa depan, seolah ada bisik-bisik gelisah yang menyelinap di ruang-ruang guru kita. Ada rasa "tertinggal" yang pahit di hati jutaan pendidik yang namanya tidak masuk dalam daftar undangan eksklusif tersebut.
Sebagai akademisi yang berkecimpung di dunia teknologi pendidikan, saya menyambut inisiatif ini dengan tepuk tangan sebelah tangan. Tangan kanan saya bertepuk apresiasi karena pemerintah akhirnya serius menggarap SDM digital. Namun, tangan kiri saya tertahan oleh skeptisisme yang mendalam: Apakah kita sedang membangun pemerataan kualitas, atau justru sedang menyusun batu bata pertama untuk sebuah kasta baru dalam stratifikasi sosial guru kita?
Aristokrasi Digital: Kritik atas Jalur "Orang Dalam"
Mari kita bedah kritik pertamanya: mekanisme rekrutmen.
Dalam sebuah negara demokrasi yang menjunjung tinggi meritokrasi, seleksi untuk posisi strategis yang didanai uang rakyat seharusnya bersifat terbuka, transparan, dan akuntabel. Namun, untuk program seprestisius Guru Pejuang Digital, pemerintah memilih jalan pintas: mekanisme undangan (invitation only).
Siapa yang diundang? Mereka yang aktif di jejaring tertentu: Komunitas Duta Teknologi, Sahabat Rumah Belajar, Komunitas Belajar.id, dan Komunitas Bergema.
Secara pragmatis, ini langkah cerdas nan efisien. Pemerintah memetik "buah yang sudah matang di pohon". Mereka memilih orang-orang yang memang sudah "berisik", terlihat, dan aktif di ekosistem digital kementerian. Tapi secara etis? Ini sangat problematis.
Sistem rekrutmen berbasis komunitas ini berisiko menciptakan apa yang saya sebut sebagai "Aristokrasi Digital". Sebuah lingkaran elit yang terbentuk bukan semata-mata karena kompetensi pedagogis, melainkan karena visibilitas sosial.
Bagaimana nasib guru-guru jenius di pedalaman Flores atau pegunungan Papua yang mungkin jago coding dan inovatif, tapi sinyal internetnya terlalu lemah untuk ikut webinar komunitas? Bagaimana dengan guru yang introvert, yang tidak pandai mematut diri di media sosial, tetapi setiap hari menciptakan alat peraga digital dari barang bekas demi muridnya?
Dengan menutup pintu pendaftaran umum, negara seolah berkata: "Kami tidak butuh pejuang yang sunyi. Kami butuh pejuang yang terlihat." Kita sedang terjebak memilih aset negara dengan cara memilih pengurus geng sekolah; siapa kenal siapa, siapa terlihat di mana. Ini (jelas) melukai rasa keadilan.
Antara "Penggerak" dan "Pejuang": Inflasi Label yang Membingungkan
Belum kering ingatan kita tentang jargon "Guru Penggerak" sebagai pemimpin pembelajaran, kini muncul "Guru Pejuang Digital". Di lapangan, kebingungan mulai terjadi. Sekolah seolah menjadi pasar swalayan program.
Jika Guru Penggerak difokuskan pada "budaya dan pedagogi" (hati dan nalar), dan Guru Pejuang Digital difokuskan pada "teknis dan alat" (jari dan layar), apakah kita sedang melakukan dikotomi berbahaya terhadap peran guru?
Bahaya latennya adalah ketika sekolah terjebak pada gimmick alat. Sekolah berlomba-lomba memasang layar sentuh raksasa seharga puluhan juta, tapi cara mengajarnya masih gaya abad pertengahan, hanya saja kapur tulisnya diganti stylus. Ini yang saya sebut sebagai Digitalisasi Semu.
Kita tidak butuh operator alat canggih. Kita tidak butuh guru yang hanya jago memencet tombol ON pada papan interaktif. Kita butuh pedagogue (ahli didik) yang tahu persis kapan harus memakai teknologi dan kapan harus mematikannya untuk menatap mata murid secara langsung.
1.450 guru terpilih ini memikul beban moral yang berat. Mereka harus membuktikan bahwa mereka bukan sekadar salesman aplikasi atau admin proyektor kebijakan-kebijakan kementrian semata. Mereka harus membuktikan bahwa teknologi di tangan mereka adalah alat untuk memanusiakan hubungan, bukan menggantikannya. Jika layar sentuh itu justru menjadi tembok penghalang antara guru dan murid, maka program ini gagal total, betapapun canggih alatnya.
Luka Hati "Guru Pejuang Kelas"
Poin paling humanis yang harus kita sentuh (dan sering luput dari kacamata birokrat Jakarta) adalah dampak psikologisnya.
Istilah "Guru Pejuang Digital" secara tidak sadar menyiratkan sebuah antitesis: bahwa mereka yang tidak digital adalah "bukan pejuang". Ini adalah kekerasan simbolik yang menyakitkan.
Padahal, di luar sana, ada ribuan "Guru Pejuang Kelas" yang setiap pagi menerjang lumpur sungai deras karena jembatan putus. Ada guru honorer yang menyisihkan gaji 300 ribunya untuk membelikan kuota internet bagi murid miskin agar bisa ikut ujian. Ada guru yang mengajar dengan penuh cinta menggunakan alat peraga dari kardus bekas karena listrik belum masuk desa mereka.
Mereka (juga) pejuang. Mereka (sesungguhnya) bertarung di garis depan kebodohan dengan senjata seadanya. Ketika negara memberikan panggung megah, pelatihan eksklusif dengan narasumber alumni LPDP, dan (mungkin) privilese karier kepada kelompok digital ini, rasa tersisih itu nyata.
Pemerintah harus sangat hati-hati. Transformasi digital tidak boleh melukai harga diri guru-guru konvensional yang justru menjadi tulang punggung pendidikan karakter. Teknologi bisa direplikasi dan dibeli, tapi keteladanan, pelukan hangat, dan sentuhan personal guru kelas tidak ada coding-nya di Silicon Valley manapun.
Menatap ke Depan: Jangan Jadi Menara Gading
Lalu, apakah saya kemudian pesimis dan menyarankan program ini dibubarkan? Sama sekali tidak. Tujuan akhirnya adalah siswa, dan siswa kita hidup di masa depan yang (kian) digital. Kita (jelas) butuh percepatan. Kita butuh lokomotif. 1.450 guru ini adalah aset berharga yang harus kita dukung.
Namun, arah kompasnya harus dikoreksi segera sebelum kapal ini melaju terlalu jauh. Para Guru Pejuang Digital ini tidak boleh menjadi kasta elit yang asyik sendiri di menara gading teknologi.
Pertama, Redefinisi Keberhasilan. Indikator sukses Guru Pejuang Digital bukanlah seberapa canggih kelas mereka sendiri. Bukan seberapa viral konten TikTok mereka. Indikator sukses mereka adalah seberapa banyak rekan guru "gaptek" di sekolah imbas yang berhasil mereka bantu. Keberhasilan mereka diukur dari hilangnya rasa takut rekan sejawat menyentuh teknologi. Misi mereka adalah melayani, bukan pamer.
Kedua, Demokratisasi Akses. Untuk angkatan kedua dan seterusnya, Kemendikdasmen wajib menggunakan sistem seleksi terbuka berbasis uji kompetensi objektif. Runtuhkan tembok eksklusivitas komunitas. Beri kesempatan yang sama pada guru di pelosok yang mungkin tidak punya sinyal untuk eksis di medsos, tapi punya potensi emas untuk memimpin perubahan.
Ketiga, Keadilan Infrastruktur. Mengirim Guru Pejuang Digital atau perangkat canggih ke daerah tanpa internet stabil dan listrik memadai sama saja menyuruh tentara perang tanpa peluru. Konyol dan sia-sia. Digitalisasi SDM harus berjalan seiring dengan digitalisasi infrastruktur.
Kepada 1.450 guru terpilih, saya ucapkan selamat bertugas. Anda memikul harapan jutaan anak Indonesia. Jangan sombong. Jangan merasa lebih mulia dari guru sebelah kelas yang masih memegang kapur. Ingatlah, secanggih apa pun AI dan layar sentuh di depan kelas Anda, ia tidak akan pernah bisa menghapus air mata murid yang sedang sedih karena masalah di rumah, atau menepuk bahu mereka yang sedang putus asa karena gagal ujian.
Dan kepada jutaan guru yang tidak mendapat undangan emas itu: Tegakkan kepala kalian. Kalian tetap pejuang. Tanpa embel-embel digital pun, kalian adalah garda terdepan yang menjaga kewarasan bangsa ini. Papan tulis kapur kalian, jika digunakan dengan cinta yang tulus untuk memerdekakan nalar murid, sama mulianya, bahkan mungkin lebih berdampak, daripada layar sentuh manapun.
Karena pada akhirnya, siswa tidak akan mengingat seberapa canggih alat yang gurunya pakai. Mereka akan mengingat seberapa besar hati gurunya saat mengajar.
Salam Cerdas dan Humanis.




