DARI salah satu sudut jendela hotel di Yerusalem, kota yang secara paradoks disebut sebagai "Kota Suci tiga agama samawi", tapi hari ini dibalut oleh kawat berduri dan dihinggapi kecemasan yang tak berkesudahan, saya merasa perlu untuk menulis refleksi penting di hari Natal kali ini.
Udara dingin yang menusuk tulang di tanah para nabi ini seolah membawa pesan penting yang harus saya sampaikan kepada Tanah Air yang saya cintai.
Di sini, sepanjang pengamatan saya, Natal sudah bukan lagi sekadar ornamen lampu warna-warni atau diskon-diskon di berbagai pusat perbelanjaan.
Di sini, Natal sudah bertransformasi menjadi penantian yang sangat panjang atas ujung waktu kapan berakhirnya deru mesin perang.
Sebagai seorang pengamat sosial-politik aktif tanah air, yang kebetulan kali ini mengamati dari jarak jauh, berada di episentrum konflik Palestina dan Israel memberikan perspektif yang berbeda tentang apa arti "damai" yang sesungguhnya.
Kita tentu sepakat bahwa dunia hari ini sedang tidak baik-baik saja. Dunia sedang “gelagapan dan grogi” karena demam geopolitik yang kian tak pasti kapan akan sembuhnya.
var endpoint = 'https://api-x.kompas.id/article/v1/kompas.com/recommender-inbody?position=rekomendasi_inbody&post-tags=Natal, konflik&post-url=aHR0cHM6Ly9uYXNpb25hbC5rb21wYXMuY29tL3JlYWQvMjAyNS8xMi8yNS8xNDM2Mjk4MS9yZWZsZWtzaS1uYXRhbC1kYW1haS1kaS1oYXRpLWRhbi1kYW1haS10YW5haC1haXJrdQ==&q=Refleksi Natal: Damai di Hati dan Damai Tanah Airku§ion=Nasional' var xhr = new XMLHttpRequest(); xhr.addEventListener("readystatechange", function() { if (this.readyState == 4 && this.status == 200) { if (this.responseText != '') { const response = JSON.parse(this.responseText); if (response.url && response.judul && response.thumbnail) { const htmlString = `Jika kita melayangkan pandangan lebih jauh dari tembok-tembok Yerusalem, kita akan melihat Sudan yang terkoyak oleh ambisi dua kubu militer yang berseteru sejak beberapa tahun lalu, menyisakan jutaan orang dalam kelaparan dan ketidakpastian.
Di hamparan Eropa Timur, perang antara Rusia dan Ukraina juga tak menunjukkan tanda-tanda akan segera berakhir dengan cara yang baik.
Baca juga: Natal di Tengah Dunia yang Rapuh
Perang Rusia-Ukraina telah mengubah ladang gandum menjadi ladang ranjau, lalu ikut mengguncang ketahanan pangan serta energi global.
Bahkan di kawasan yang lebih dekat dengan tanah air kita, ketegangan historis antara Thailand dan Kamboja, hingga rivalitas raksasa antara Amerika Serikat dan China di Indo-Pasifik yang terus mendorong terciptanya bipolaritas baru, semuanya menggambarkan betapa rapuhnya tatanan dunia yang kita tinggali.
Geopolitik pelan-pelan berubah menjadi permainan catur yang penuh dengan pengorbanan, di mana manusia seringkali hanya dianggap sebagai angka-angka dalam data statistik.
Namun, di tengah hiruk-pikuk api yang menyala di berbagai belahan dunia tersebut, pikiran saya terbang kembali ke tanah air, Indonesia.
Harus diakui, Indonesia saat ini sedang bergulat dengan beban yang tidak sedikit di satu sisi dan tak mudah di sisi lain.
Masalah ekonomi yang menghimpit masyarakat kebanyakan, fluktuasi harga kebutuhan pokok yang terus membebani dapur keluarga, hingga rentetan bencana alam yang silih berganti menghantam dari satu pulau ke pulau lain, menjadi realitas yang pahit untuk dicerna.
Dengan kata lain, kita merayakan Natal tahun ini di bawah bayang-bayang kesulitan yang secara pelan-pelan berubah menjadi beban nyata.





