jpnn.com - Pakar hukum tata negara Prof. Jimly Asshiddiqie mendorong dilakukannya pengkajian ulang konstitusi, yakni Undang-Undang Dasar (UUD) Tahun 1945 guna mengakomodasi aspirasi publik yang mencuat belakangan ini.
Prof Jimly menyebut kaji ulang konstitusi, termasuk evaluasi menyeluruh terhadap sistem ketatanegaraan Indonesia, merupakan salah satu agenda yang perlu mendapat perhatian serius.
BACA JUGA: Ini Kata Prof Jimly soal Perpol 10/2025 yang Jadi Polemik
"Bahkan, ada kalangan aktivis yang menulis buku tentang reset Indonesia. Sayangnya, diskusi buku itu justru dibubarkan. Padahal, yang dimaksud reset itu bukan destruktif, tetapi menata ulang sistem politik, sosial, dan ekonomi kita agar lebih sehat,” kata Jimly, sebagaimana keterangan diterima di Jakarta, Kamis (25/12/2025).
Dia menyampaikan hal itu dalam forum dialog bertema “Rekonstruksi Konstitusi Menyongsong Indonesia Emas 2045: Peran Strategis MPR dalam Menjaga Ideologi Bangsa” yang diselenggarakan Sekretariat Jenderal MPR RI di Tangerang, Banten, Rabu (24/12).
BACA JUGA: Polisi Buru Penyebar Hoaks Bom Bunuh Diri di Bandara Hang Nadim
Dia mengatakan berbagai peristiwa kerusuhan dan aksi kekerasan yang terjadi dalam rentang Agustus–September lalu mencerminkan akumulasi kemarahan dan kekecewaan publik terhadap sistem perwakilan formal dalam politik nasional.
"Yang dibakar bukan hanya kantor polisi, tetapi juga kantor DPRD, bahkan terjadi penjarahan rumah anggota DPR. Ini menunjukkan adanya sumbatan serius dalam saluran aspirasi rakyat. Sistem politik kita harus dikaji ulang," tutur mantan ketua Mahkamah Konstitusi itu.
BACA JUGA: Perpol 10/2025 Bentuk Pelanggaran terhadap Putusan MK, Presiden Harus Perintahkan Kapolri Mencabut
Selain sistem politik, ketua Komisi Percepatan Reformasi Polri ini juga menyoroti lemahnya penegakan hukum sebagai sumber utama kemarahan publik.
Menurut dia, kemarahan masyarakat terhadap aparat kepolisian sejatinya bukan soal keamanan, melainkan soal keadilan dalam penegakan hukum.
"Polisi itu bagian dari sistem penegakan hukum. Karena mereka berada di garis depan, merekalah yang pertama dimarahi. Padahal, persoalannya sampai ke hulu, termasuk dunia kehakiman. Semua ini butuh pembenahan dan penataan ulang," ujarnya.
Prof. Jimly menilai, pembenahan tersebut harus dimulai dari evaluasi sistem konstitusi. Untuk itu, dia mendorong agar Indonesia mulai serius membahas agenda perubahan kelima UUD 1945.
“Mulai tahun 2026 dan 2027 adalah momentum yang sangat menentukan. Tahun 2028 sudah terlalu dekat dengan tahun politik sehingga pembahasan perubahan konstitusi akan sulit dilakukan,” ucapnya.
Ditekankan Jimly, MPR RI dan partai-partai politik memiliki peran penting dalam mendorong agenda penataan ulang sistem politik nasional. Dia mengingatkan agar elite politik tidak menutup ruang diskusi publik, termasuk gagasan-gagasan kritis yang muncul dari kalangan akademisi dan aktivis.
“Kita harus menggerakkan pikiran pimpinan partai politik untuk sungguh-sungguh melakukan tata ulang sistem politik. Jangan sampai diskusi ilmiah justru dilarang," katanya mengingatkan.
Bagi Jimly, perubahan konstitusi nantinya akan berdampak luas pada regulasi di bawahnya, mulai dari undang-undang pemilu, undang-undang partai politik, hingga berbagai peraturan pelaksana lainnya.
"Jadi, harus dimulai dari undang-undang dasarnya terlebih dahulu. Setelah itu baru undang-undang dan peraturannya disesuaikan. Kalau kita ingin Indonesia Emas 2045, fondasi konstitusinya harus kita benahi dari sekarang," kata dia.(ant/jpnn)
Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam



