PP Penempatan Polisi di Sipil Disetujui Prabowo, Bachrum Achmadi: Keputusan MK Cuma Dipakai Kalau Menguntungkan

fajar.co.id
3 jam lalu
Cover Berita

FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Isu kepatuhan pemerintah terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terus menjadi perbincangan publik dalam beberapa waktu terakhir.

Hal ini tidak lepas dari munculnya kabar bahwa Presiden Prabowo Subianto disebut telah menyetujui Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur penempatan anggota Polri di jabatan sipil.

PP ini dianggap sebagai upaya meredam polemik Peraturan Polri (Perpol) Nomor 10 tahun 2025.

Pegiat media sosial, Bachrum Achmadi menjadi salah satu yang angkat bicara. Ia bahkan secara terbuka menyampaikan kekecewaannya.

Ia menegaskan bahwa langkah pemerintah bertentangan dengan semangat konstitusi dan mengabaikan putusan MK.

“Bubarkan saja MK pak presiden Prabowo,” ujar Bachrum di X @bachrum_achmadi (25/12/2025).

Dikatakan Bachrum, keberadaan MK menjadi tidak bermakna apabila putusannya tidak dijalankan oleh pemerintah.

Ia menekankan bahwa ada standar ganda dalam menyikapi putusan lembaga penjaga konstitusi tersebut.

“Untuk apa MK dipertahankan jika keputusan MK tidak dipatuhi pemerintah,” lanjutnya.

Ia juga menuding pemerintah hanya mematuhi putusan MK yang menguntungkan kekuasaan, sementara mengabaikan putusan yang dianggap tidak sejalan dengan kepentingan politik.

“Keputusan MK bila menguntungkan dipatuhi, bila sebaliknya diabaikan,” tegas Bachrum.

Lebih jauh, Bachrum menyebut kondisi tersebut sebagai preseden buruk dalam praktik bernegara dan mencederai prinsip negara hukum. “Benar-benar memalukan!,” kuncinya.

Sebelumnya, Pengamat Hukum Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar, Andika Aulia, menyebut, polemik penempatan anggota Polri aktif di jabatan sipil sejatinya tidak bisa dilepaskan dari agenda besar Reformasi Polri.

Dikatakan Andika, perdebatan soal Peraturan Pemerintah (PP) dan ukuran sangkut paut dengan fungsi kepolisian hanyalah aspek teknis.

Substansi utamanya justru menyentuh soal profesionalisme, akuntabilitas, serta pembatasan peran Polri agar tidak kembali melebar ke ranah sipil dan politik.

“Di luar perdebatan teknis mengenai PP dan ukuran sangkut paut dengan fungsi kepolisian, isu ini sesungguhnya menyentuh agenda Reformasi Polri yang selama dua dekade lebih menjadi tuntutan publik,” ujar Andika kepada fajar.co.id, Kamis (25/12/2025).

Ia menekankan, legitimasi kelembagaan Polri tidak semata-mata bersumber dari kewenangan hukum.

Lebih dari itu, legitimasi lahir dari kepercayaan publik yang dibangun melalui kepatuhan pada prinsip negara hukum, transparansi, serta kemampuan institusi untuk membatasi diri.

“Dalam perspektif legitimasi kelembagaan, Reformasi Polri seharusnya menjadi senjata utama untuk membangun simpati publik karena legitimasi tidak hanya lahir dari kewenangan hukum, melainkan dari kepercayaan,” jelasnya.

Andika mengingatkan, ketika kebijakan turunan pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) justru dipersepsikan membuka celah baru, maka dampaknya bukan hanya pada kepastian hukum.

Kredibilitas Polri sebagai institusi yang tengah membangun wajah baru dan demokratis juga ikut tergerus.

“Ketika kebijakan turunan pasca putusan MK justru dipersepsi publik membuka celah baru, maka yang tergerus bukan hanya kepastian hukum, tetapi juga kredibilitas Polri,” tegasnya.

Dari sudut pandang politik hukum, Andika mengatakan bahwa putusan MK sejatinya menyediakan momentum penting bagi Polri untuk menunjukkan komitmen nyata terhadap reformasi.

Kebijakan yang lahir semestinya menutup ruang multitafsir, bukan sebaliknya memperluas elastisitas penempatan anggota Polri aktif di jabatan sipil.

“Prinsipnya sederhana, jika Putusan MK hadir untuk mengembalikan kepastian norma dan mencegah elastisitas penempatan Polri aktif di jabatan sipil, maka respons kebijakan semestinya memperkuat batas,” katanya.

Ia merinci, penguatan batas itu dapat dilakukan melalui indikator sangkut paut yang ketat, pembatasan jabatan berbasis fungsi, larangan konflik kepentingan, hingga mekanisme audit remunerasi dan akuntabilitas yang jelas.

Dengan langkah-langkah tersebut, lanjut Andika, Reformasi Polri tidak berhenti sebagai jargon, melainkan tampil sebagai disiplin kelembagaan yang konkret.

Polri, kata dia, perlu menunjukkan kemampuan menahan diri dari area-area yang berpotensi memunculkan persepsi dwifungsi atau keistimewaan struktural.

“Oleh karena itu, bila PP benar-benar diterbitkan, ia semestinya dibingkai sebagai instrumen reformasi, memperjelas batas peran, mempertegas standar etika, dan memperkuat akuntabilitas, bukan sekadar instrumen administratif untuk melanggengkan pola lama dalam format baru,” tandasnya. (Muhsin/fajar)


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Ada Waktu Khusus saat Misa di Katedral, Jemaat Lansia Ngaku Lebih Khidmat
• 1 jam laludetik.com
thumb
PT IIM Gandeng 4 Lembaga Kemanusiaan untuk Bantu Korban Bencana Sumatra
• 21 jam lalujpnn.com
thumb
Presiden Prabowo Sampaikan Pesan Natal di Tengah Bencana Sumatera
• 13 jam lalukatadata.co.id
thumb
Rekonsiliasi di Lirboyo, PBNU Sepakati Muktamar Bersama
• 3 jam lalubisnis.com
thumb
Pertamina Hulu Energi Tanamkan Kesadaran Lingkungan Lewat Program Eco-Vation Day di SMP Cirebon
• 21 jam lalupantau.com
Berhasil disimpan.