FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Kasus hukum yang menjerat aktivis sosial, Laras Faizati Khairunnisa menyita perhatian publik secara luas. Dia ditangkap polisi karena unggahan Instagram Story yang berisi kesedihan, kemarahan, dan kekecewaan atas tewasnya Affan Kurniawan, korban pembunuhan oleh aparat kepolisian pada akhir Agustus lalu.
Oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU), mantan pegawai ASEAN Inter-Parliamentary Assembly atau AIPA dituntut 1 tahun penjara di PN Jakarta Selatan.
Laras dianggap melakukan tindak pidana yang berkaitan dengan penghasutan dalam demonstrasi berujung kerusuhan di akhir Agustus lalu sebagaimana Pasal 161 ayat 1 KUHP.
Merespons hal itu, Guru Besar Universitas Airlangga (Unair), Prof. Henri Subiakto angkat suara. Dia mengaku terus mengamati dan mengikuti bagaimana para aktivis demokrasi dikriminalisasi.
Salah satunya Laras Faizati Khairunnisa ditangkap pada 1 September 2025 dan mulai ditahan sejak 2 September 2025 di Rutan Bareskrim Polri (kemudian dipindah ke tahanan jaksa dan rutan lain selama proses persidangan).
Penahanan berlangsung lama (sekitar 4 bulan hingga akhir Desember 2025). Ia ditahan dengan dakwaan pasal pasal yang sanksi pidananya rata-rata di atas 5 tahun. “Inilah kedzoliman dan ketidaktepatan pasal yang dipakai menjerat terdakwa. Pasal-pasal yang dituduhkan (dakwaan berlapis dari jaksa),” katanya.
Dia lantas merinci pasal dimaksud yakni; Pasal 45A ayat (2) juncto Pasal 28 ayat (2) UU ITE (penyebaran informasi elektronik yang menimbulkan kebencian atau permusuhan berdasarkan SARA atau kelompok tertentu). Penggunaan pasal ini salah besar krn kerusuhan Agustus itu gak ada hubungannya dengan provokasi dan peristiwa SARA. “Pakai pasal 28 ayat (2) ini sudah ngawur,” tegasnya.
Kemudian penggunaan Pasal 48 ayat (1) juncto Pasal 32 ayat (1) atau (2) UU ITE, perubahan, perusakan, atau penyembunyian informasi/dokumen elektronik secara melawan hukum) ini juga salah. Pasal ini ditujukan larangan pada para hacker, bukan aktivis demokrasi. Tidak ada perbuatan mengubah informasi elektronik yg dilindungi UU ITE oleh aktivis demokrasi. “Logis kalau akhirnya UU ITE tdk bisa dipakai dalam dakwaan dan tuntutan jaksa. Kasihan sekali mereka dikriminalisasi dengan pemggunaan pasal yg sakah seperti ini,” tambahnya.
Lalu ada lagi yang dipajai yaitu Pasal 160 KUHP (penghasutan secara lisan atau tulisan untuk melakukan perbuatan pidana atau melawan penguasa umum). Dan Pasal 161 ayat (1) KUHP (penyebaran tulisan/foto yang menghasut melakukan kekerasan atau perlawanan terhadap penguasa).
Tuduhan utama berasal dari unggahan Instagram Story Laras pada akhir Agustus 2025, saat demonstrasi berujung kerusuhan (termasuk kematian seorang ojol dilindas kendaraan polisi). Unggahan itu dianggap menghasut massa untuk membakar gedung Mabes Polri dan menyebarkan kebencian terhadap institusi Polri.
“Ingat kerusuhan terjadi adalah setelah ada kematian Driver Ojol, Affan Kurniawan yg secara dramatis terlindas mobil rantis polisi. Jadi yg membuat marah demonstran itu ya kematian Affan ini. Artinya kerusuhan penyerangan kantor polisi itu dikarenakan adanya kematian driver ojol. Bukan karena provokasi konten dari aktivis,” tandas Henri Subiakti.
Sementara pasal 161 KUHP itu adalah Delik Materiel, Jaksa harus membuktikan kebenaran bahwa munculnya kerusuhan itu benar2 dikarenakan tulisan atau ujaran terdakwa. Ini yang tidak masuk pasal yang didakwakan tersebut.
Cuma aparat sering asal pakai pasal pidana yang mendekati, walau sebenarnya norma larangannya tidak memenuhi unsur. Karena itu sudah sepantasnya hakim membebaskan Laras Faizati dan terdakwa lain yang kasusnya juga adanya kriminalisasi yang hampir sama, dengan penggunaan pasal pasal yg tidak tepat. (fajar)




:strip_icc()/kly-media-production/medias/5454905/original/065556900_1766581747-19124.jpg)