Ekonom: Di Era Jokowi, Hampir Semua Menteri Penting itu Pemilik Tambang, Makanya Lahir Omnibus Law

fajar.co.id
9 jam lalu
Cover Berita

FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Ketimpangan pengelolaan sektor pertambangan kembali disorot setelah ekonom Gede Sandra memaparkan rendahnya kontribusi tambang terhadap penerimaan negara di tengah melimpahnya kekayaan mineral Indonesia.

Dalam pandangannya, persoalan utama bukan terletak pada keterbatasan sumber daya, melainkan pada desain regulasi yang selama ini lebih menguntungkan pengusaha tambang dibanding negara dan rakyat.

Gede Sandra menjelaskan bahwa meski Indonesia memiliki cadangan mineral besar seperti nikel, tembaga, timah, bauksit, hingga batu bara, kontribusi sektor tersebut terhadap pendapatan negara masih tergolong minim.

Ia menyebut bahwa total penerimaan negara dari sektor tambang, baik dari pajak maupun penerimaan negara bukan pajak (PNBP), hanya berada di kisaran Rp370 triliun per tahun. Padahal, menurut perhitungannya, angka itu masih jauh dari potensi yang seharusnya bisa diraih negara.

Ia menguraikan bahwa cadangan mineral Indonesia tidak bersifat abadi. “Nikel itu umur cadangannya tinggal 11 tahun, tembaga 18 tahun, timah 21 tahun, bauksit 38 tahun, dan batu bara sekitar 60 tahun,” jelasnya, dalam podcast MADILOG dilansir pada Jumat (26/12).

Kondisi ini, menurut Gede, seharusnya mendorong negara untuk lebih serius memaksimalkan manfaat ekonomi sebelum sumber daya tersebut habis.

Dalam simulasi yang ia lakukan, Gede menyebut bahwa apabila negara berani menerapkan skema bagi hasil 50:50 dari keuntungan bersih tambang di luar royalti dan pajak, maka penerimaan negara bisa melonjak signifikan.

“Kalau profitnya kita bagi dua, negara bisa dapat sekitar Rp570 triliun per tahun,” ujarnya.

Artinya, terdapat potensi tambahan hampir Rp200 triliun dibanding skema yang berlaku saat ini.

Tambahan penerimaan tersebut, lanjut Gede, bukan semata untuk menambah kas negara, tetapi memiliki fungsi strategis. Ia menegaskan bahwa dana itu seharusnya digunakan untuk dua hal utama: pemulihan lingkungan pascatambang dan pembangunan industri hilir.

“Yang pertama tentu untuk perbaikan lingkungan, reklamasi tambang, pengolahan limbah. Karena faktanya banyak pengusaha lalai menjalankan kewajibannya,” ungkapnya.

Selain itu, ia menilai hilirisasi merupakan kunci agar Indonesia tidak terus mengekspor bahan mentah. Menurut proyeksi Kementerian ESDM yang ia kutip, pembangunan industri hilir mineral berpotensi memberikan tambahan penerimaan hingga Rp365 triliun.

“Kalau digabung, kita bisa dapat tambahan sekitar Rp500 triliun per tahun,” jelas Gede.

Gede juga menyoroti akar masalah rendahnya penerimaan negara yang menurutnya berkaitan erat dengan keberpihakan kebijakan. Ia menilai pada era sebelumnya, banyak pengusaha tambang yang justru berada di pusat kekuasaan.

“Di era Jokowi, hampir semua menteri penting itu pemilik tambang. Akibatnya lahir regulasi seperti Omnibus Law yang justru menyulitkan negara memungut pajak tambang,” jelas Sandra.

Ia mencontohkan kondisi ketika harga batu bara tinggi, namun negara tidak memiliki instrumen windfall tax, sementara saat harga turun, perusahaan justru ramai meminta restitusi pajak. Kondisi itu, menurutnya, berkontribusi pada penurunan rasio pajak nasional dari sekitar 12 persen pada 2014 menjadi 9–10 persen di akhir masa pemerintahan Jokowi.

Dalam konteks perubahan politik saat ini, Gede menilai peluang revisi Undang-Undang Minerba jauh lebih terbuka. Ia menyebut bahwa dominasi pengusaha tambang di kabinet sudah jauh berkurang.

“Kalau di era Pak Prabowo, hampir tidak ada menteri yang pemilik tambang. Jadi revisi UU Minerba lebih mungkin dilakukan sekarang,” tegasnya.

Ia menekankan bahwa revisi UU Minerba menjadi kunci untuk mengubah sistem bagi hasil agar lebih adil. “Kalau mau 50:50, itu harus dicantumkan di undang-undang dan diputuskan bersama DPR,” katanya.

Ia juga menambahkan bahwa langkah-langkah fiskal jangka pendek seperti kenaikan bea ekspor bisa dilakukan, namun perubahan struktural tetap memerlukan revisi regulasi.

Menurut Gede, ketegasan negara sangat dibutuhkan agar kekayaan alam benar-benar kembali kepada rakyat. Ia mengingatkan bahwa para pengusaha tambang memperoleh kekayaan dari tanah yang secara konstitusi dikuasai negara.

“Pasal 33 jelas bilang, bumi dan kekayaan alam dikuasai negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Faktanya, rakyat di sekitar tambang justru masih miskin,” ujarnya.

Ia menutup pandangannya dengan menegaskan bahwa tanpa keberanian politik dan reformasi regulasi, Indonesia hanya akan mewariskan kerusakan lingkungan dan ketimpangan ekonomi.

“Kekayaan ini akan habis. Pertanyaannya, apakah negara dan rakyat sempat merasakan manfaatnya, atau hanya segelintir orang saja,” pungkasnya. (*)


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Arkeolog Klaim Temukan Makam Sinterklas
• 20 jam lalurealita.co
thumb
Junta Myanmar Siap Gelar Pemilu, Rakyat Terjebak di Tengah Perang Saudara
• 2 jam lalugenpi.co
thumb
BMKG: Waspada Potensi Hujan Lebat Hingga Sangat Lebat di Sejumlah Wilayah Indonesia
• 8 jam lalusuarasurabaya.net
thumb
Kebiasaan yang Sering Kebanyakan Orang Lakukan tapi Dihindari Orang dengan IQ Tinggi
• 5 jam lalubeautynesia.id
thumb
Dishub DKI Tes Kesehatan 368 Sopir-Ramp Check 1.126 Bus Natal, Ini Hasilnya
• 8 jam laludetik.com
Berhasil disimpan.