BELAKANGAN ini, publik disuguhi pemandangan yang tidak biasa dari aparat penegak hukum. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Polri, hingga Kejaksaan Agung (Kejagung) tampak berlomba memamerkan tumpukan uang tunai hasil sitaan dalam berbagai konferensi pers. Alih-alih menumbuhkan kepercayaan, praktik ini justru berpotensi memunculkan kesan pencitraan yang berlebihan.
Teranyar, Kejagung memamerkan uang sitaan senilai Rp6,6 triliun dalam konferensi pers pada Rabu (24/12). Uang pecahan Rp100.000 itu ditata sedemikian rupa hingga memenuhi lobi Gedung JAM-Pidsus. Fulus tersebut berasal dari hasil penindakan Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) serta perkara ekspor CPO dan gula, yang terdiri atas penagihan denda administrasi Rp2,3 triliun, penyelamatan kerugian negara kasus CPO Rp3,7 triliun, dan perkara gula Rp565 miliar.
Kejagung memang menjadi institusi yang paling menonjol dalam praktik memamerkan uang sitaan berskala besar. Sebelumnya, lembaga ini juga menampilkan uang titipan Rp2 triliun dalam perkara korupsi ekspor CPO, yang disebut sebagai bagian dari total aset lebih dari Rp11,8 triliun yang diamankan.
Baca Juga :
Presiden Prabowo Dapat Sorotan Besar Usai Negara Terima Rp6,6 T Hasil Penegakan HukumKPK, yang sebelumnya hanya menampilkan barang sitaan nontunai, mulai mengikuti pola serupa dengan memamerkan uang rampasan Rp300 miliar pada November lalu.
Kita tentu dapat berbaik sangka. Pemameran uang sitaan itu bisa dimaknai sebagai bentuk transparansi kepada publik. Menunjukkan barang bukti merupakan bagian dari proses hukum dan menjadi cara aparat penegak hukum memperlihatkan hasil konkret penindakan terhadap kejahatan yang merugikan negara. Dalam batas tertentu, langkah tersebut dapat dipahami.
Presiden Prabowo Subianto bersama Jaksa Agung ST Burhanuddin, Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa, dan Menhan Sjafrie Sjamsoeddin saat penyerahan pemulihan kerugian negara pada korupsi CPO dan penertiban hutan. Foto: BMPI Setpres.
Namun, ketika yang dipertontonkan ialah uang tunai dalam jumlah fantastis, persoalannya menjadi berbeda. ‘Pertunjukan’ semacam itu rawan bergeser menjadi ajang pamer dan pencitraan. Apalagi, jika dibandingkan dengan besarnya dana yang digarong koruptor, jumlah yang dipamerkan sebenarnya masih jauh dari memadai. Kerugian negara akibat korupsi diperkirakan mencapai sekitar Rp300 triliun. Angka triliunan rupiah yang ditampilkan di depan kamera dengan mudah kehilangan maknanya jika diletakkan dalam konteks tersebut.
Lebih jauh, pemameran uang sitaan berpotensi menutupi persoalan mendasar dalam kinerja penegakan hukum, yakni rendahnya tingkat pemulihan aset. Laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan bahwa keberhasilan aparat dalam merampas kembali aset hasil korupsi, baru sekitar 4,8%. Artinya, masih terdapat jurang yang sangat lebar antara uang negara yang hilang dan yang bisa dikembalikan.
Baca Juga :
Dukungan Presiden Prabowo untuk Jaksa Agung: Rakyat Bersama Penegakan HukumPenegak hukum seharusnya menghentikan praktik yang berkesan pamer. Mereka mesti lebih mengedepankan substansi. Transparansi tidak harus diwujudkan dengan menumpuk uang tunai di depan publik. Laporan kinerja yang jelas, data pemulihan aset yang akurat, serta konsistensi dalam menjerat pelaku korupsi hingga tuntas jauh lebih bermakna bagi masyarakat.
Transparansi memang penting, tetapi pencitraan berlebihan justru dapat menggerus kepercayaan.



