SAYA agak terkejut membaca pemberitaan sejumlah media pada 22 Desember 2025 sore. Diberitakan, diskusi dan bedah buku berjudul #Reset Indonesia yang digelar di Kabupaten Madiun, Jawa Timur, dibubarkan aparat negara.
Camat, lurah, sekdes, babinsa, dan polisi datang meminta acara dihentikan. Dalihnya, tidak ada izin. Dalih klasik.
Bahkan, dilaporkan Kompas.id (22/12/2025), beberapa jam setelah pembubaran acara, mobil tim penulis yang masih berada di Madiun menjadi sasaran pelemparan telur. Beberapa orang dengan naik motor mendekati mobil tim penulis lalu melempar telur.
Tindakan pelemparan telur dengan sendirinya menyangkal dalih tanpa izin. Tindakan tersebut bisa dibaca sebagai teror.
Saya agak terkejut, mengingat buku yang ditulis secara kolaboratif oleh empat jurnalis (Farid Gaban, Dandhy Laksoso, Yusuf Priambodo, Benaya Harobu) itu tergolong populer. Sudah didiskusikan di banyak tempat tanpa keributan.
Sejak terbit pertama pada September 2025, buku setebal 448 halaman itu juga sudah cetak ulang dua kali pada Oktober 2025. Berarti peminatnya banyak.
var endpoint = 'https://api-x.kompas.id/article/v1/kompas.com/recommender-inbody?position=rekomendasi_inbody&post-tags=oposisi, reset indonesia&post-url=aHR0cHM6Ly9uYXNpb25hbC5rb21wYXMuY29tL3JlYWQvMjAyNS8xMi8yNi8wODAwNTQ4MS9vcG9zaXNpLWRpbGVueWFwa2FuLXNlamFrLWRpLWRhbGFtLXBpa2lyYW4=&q=Oposisi Dilenyapkan Sejak di Dalam Pikiran§ion=Nasional' var xhr = new XMLHttpRequest(); xhr.addEventListener("readystatechange", function() { if (this.readyState == 4 && this.status == 200) { if (this.responseText != '') { const response = JSON.parse(this.responseText); if (response.url && response.judul && response.thumbnail) { const htmlString = `Namun, saya tidak terlalu terkejut, mengingat sebagai negara pascakolonial, kita mewarisi pandangan rezim kolonial bahwa oposisi harus lenyap sejak di dalam pikiran.
Berpikir kritis dipandang benih oposisi, sehingga harus dilenyapkan. Kehendak penguasa tidak boleh dihalang-halangi, meski di dalam pikiran, apalagi di dalam tindakan.
Penguasa kolonial punya teori bahwa membiarkan warga berpikir kritis sama halnya dengan menyerahkan kekuasaan. Sejarah Indonesia memang mengamini teori tersebut.
Nasionalisme yang berujung pada kemerdekaan Indonesia tumbuh dari tradisi berpikir kritis di kelompok kecil rakyat jajahan terpelajar yang gagal dilenyapkan. Tradisi literasi yang diajarkan kolonial bagaikan senjata makan tuan.
Pikiran kritis mereka menyerang balik penguasa kolonial. Tradisi berpikir kritis di kalangan rakyat jajahan bukan sekadar membentuk oposisi.
Lebih dari itu, ia membidani pergerakan kebangsaan. Kata-kata baru, baik dalam bentuk tulisan maupun pidato, menjadi senjata baru rakyat jajahan.
Gubernur Jenderal Idenburg, yang mulai berkuasa di Hindia-Belanda pada 1909, dipaksa berpikir keras. Ia tidak seperti pendahulunya berhadapan dengan perlawanan lokal bersenjata keris, tombak, golok, parang, yang mudah dikalahkan dengan pistol, bedil, meriam.
Idenburg tahu persis bahwa kata-kata, seperti “boikot”, “mogok”, “kemajuan”, “partai”, “rapat umum”, “ideologi”, “bangsa”, “merdeka”, makin fasih diucapkan oleh rakyat jajahan.
Ia juga tahu bahwa kata-kata itu menjadi asupan otak rakyat jajahan, di antaranya melalui surat kabar, buku-buku, dan pidato kaum terpelajar.



