Jadi murid sekarang itu rasanya benar-benar berbeda, dibandingkan dengan cerita zaman orang tua kita. Jika dulu belajar identik dengan buku paket tebal, catatan panjang, dan hafalan, sekarang semuanya terasa lebih digital. Teknologi—terutama kecerdasan buatan atau AI—sudah jadi bagian dari keseharian kita. Dari bangun tidur sampai malam mengerjakan tugas, layar dan teknologi selalu ikut menemani.
Buat banyak pelajar, AI terasa seperti “teman belajar” yang selalu siap. Lagi bingung mengerjakan soal? Tinggal tanya. Materi terasa ribet? Minta penjelasan versi lebih sederhana. Bahkan, bacaan panjang bisa diringkas dalam waktu singkat. Semua jadi terasa praktis dan cepat. Tidak heran kalau banyak pelajar merasa belajar sekarang jauh lebih mudah dibandingkan dengan dulu.
Selain praktis, cara belajar juga jadi lebih personal. Sekarang, tidak semua pelajar dipaksa belajar dengan metode yang sama. Ada aplikasi yang bisa menyesuaikan latihan dengan kemampuan masing-masing pribadi. Kalau sering salah di satu topik, soal-soalnya akan fokus untuk mengulas materi tersebut. Kalau sudah paham, tantangannya ditambah. Jadi, belajar terasa lebih pas dan tidak membuat seseorang cepat bosan.
Namun di balik semua kemudahan itu, ada satu tantangan besar yang sering tidak disadari. Karena semuanya serba instan, banyak pelajar jadi tergoda untuk mencari jalan pintas. Tinggal salin jawaban, sedikit edit, lalu tugas dianggap selesai. Proses berpikir yang seharusnya jadi inti belajar justru dilewati. Lama kelamaan, belajar seolah-olah hanya menjadi sebuah rutinitas, bukan sebuah kebutuhan.
Sekarang ini, sekolah juga mulai menyadari hal tersebut. Banyak guru tidak lagi fokus menuju hasil akhir. Proses berpikir, cara menjelaskan, dan keaslian ide jadi lebih diperhatikan. Pelajar dituntut untuk lebih jujur dengan diri sendiri. AI boleh digunakan sebagai bantuan, tapi bukan sebagai pengganti usaha. Kalau semua diserahkan pada mesin, kemampuan diri sendiri dapat ikut tumpul.
Selain tugas, pelajar juga dituntut makin melek digital. Internet memang penuh informasi, tapi tidak semuanya bisa dipercaya. Banyak konten yang kelihatannya meyakinkan, padahal isinya belum tentu benar. Ada juga informasi yang dimanipulasi dengan teknologi canggih, sampai sulit dibedakan mana fakta dan mana rekayasa. Kalau tidak hati-hati, kita dapat dengan mudah termakan informasi palsu.
Karena itu, kemampuan berpikir kritis jadi penting sekali. Pelajar yang keren bukanlah pelajar yang langsung percaya semua yang dibaca, melainkan pelajar yang mau bertanya dan memeriksa ulang. Tidak asal share, tidak asal ikut tren. Kebiasaan berpikir kritis ini bakal berguna bukan hanya di sekolah, melainkan juga di kehidupan sehari-hari sebagai pengguna media digital.
Di tengah AI yang makin pintar, kreativitas justru jadi nilai tambah. Mesin dapat membuat teks, gambar, atau video, tapi ide tetap datang dari manusia. Sekarang, pelajar punya kesempatan besar untuk bereksperimen. Tugas presentasi dapat dibuat menjadi lebih unik, proyek kelompok dapat dikemas lebih kreatif, dan ide-ide liar dapat diwujudkan dengan bantuan teknologi.
AI seharusnya dipakai sebagai alat bantu eksplorasi, bukan alat meniru. Digunakan untuk mengembangkan ide, bukan menyalin mentah-mentah. Pelajar yang kreatif biasanya berani beda dan tidak takut mencoba hal baru. Di situlah keunggulan manusia yang tidak bisa sepenuhnya digantikan teknologi.
Meskipun teknologi semakin canggih, kerja sama tetap menjadi hal yang penting. Diskusi kelompok, kerja tim, dan berbicara langsung dengan teman tetap punya peran yang besar. AI dapat memberikan jawaban secara cepat, tapi tidak bisa menggantikan proses saling bertukar pikiran dan belajar dalam memahami sudut pandang orang lain. Dari diskusi dan kerja bersama itulah banyak pelajaran berharga muncul.
Namun, hidup di dunia digital juga memiliki sisi yang melelahkan. Terlalu lama menatap layar dapat membuat mata lelah dan kepala terasa penuh. Tugas terus berdatangan, notifikasi tidak ada habisnya, dan tekanan yang dibuat untuk selalu produktif kadang membuat jenuh. Perasaan lelah wajar dan manusiawi, apalagi buat pelajar yang masih dalam proses tumbuh.
Karena itu, penting sekali untuk menjaga keseimbangan. Jangan sampai, hidup kita hanya berkutat di depan layar. Kita dapat sesekali bergerak, olahraga, berbicara langsung dengan teman, atau melakukan hobi yang dapat membantu pikiran menjadi lebih segar. Dunia nyata tetap penting dan tidak boleh dilupakan.
Etika juga tidak kalah penting. Menggunakan AI untuk berbuat curang mungkin terlihat mudah dan aman, tapi dampaknya jangka panjang. Kebiasaan tidak jujur dapat terbawa menuju tahap berikutnya dalam hidup. Sebaliknya, jika teknologi dipakai dengan tanggung jawab, hasilnya dapat sangat membantu perkembangan diri, baik secara akademik maupun karakter.
Oleh karena itu, menjadi pelajar di era AI itu sebenarnya soal pilihan. Mau pakai teknologi hanya untuk jalan pintas, atau untuk membantu diri berkembang. Mau sekadar cepat selesai, atau benar-benar paham. AI hanyalah alat. Yang menentukan arah tetap manusianya.
Pelajar yang keren bukan yang paling jago teknologi, melainkan pelajar yang paling sadar diri: tahu kapan perlu bantuan, kapan harus berpikir sendiri, dan kapan perlu untuk istirahat. Di dunia yang makin canggih, kemampuan berpikir, bersikap, dan menjaga keseimbangan justru jadi kunci utama untuk bertahan dan berkembang.




