Cara orang tua mengasuh anak terus bergerak mengikuti zaman. Menjelang tahun 2026, berbagai pendekatan baru dalam pengasuhan mulai muncul dan semakin terasa dalam keseharian keluarga. Perubahan ini tak lepas dari pergeseran generasi, kondisi sosial yang semakin kompleks, hingga tuntutan hidup yang terus berkembang.
Kini, semakin banyak ibu dan ayah —terutama dari generasi Z yang mulai memasuki fase berkeluarga— yang meninjau ulang pola asuh lama. Mereka mencari cara yang lebih realistis dan relevan: memadukan berbagai gaya pengasuhan, menetapkan batasan yang jelas tanpa kehilangan kehangatan, serta membagi peran domestik secara lebih setara.
Di sisi lain, teknologi juga memainkan peran penting dalam kehidupan orang tua masa kini. Berbagai kemudahan digital membantu menghemat waktu, mengurangi kelelahan akibat banyaknya keputusan yang harus diambil setiap hari, sekaligus memberi ruang agar orang tua bisa lebih hadir bersama anak.
Bersamaan dengan itu, muncul pula dorongan untuk memutus pola pengasuhan yang dirasa tidak lagi relevan, menurunkan ekspektasi akan kesempurnaan, serta meninjau ulang kebutuhan anak akan waktu layar dan stimulasi. Semua perubahan ini terjadi di tengah kondisi orang tua yang kian rentan terhadap stres dan perasaan terisolasi.
Yuk Moms, simak beberapa prediksi tren parenting di tahun 2026!
Prediksi Tren Parenting di Tahun 2026, Mana yang Kira-kira Bakal Diterapkan?1. Hybrid Parenting, Kombinasi Gaya Pengasuhan yang Sesuai Kebutuhan Keluarga
Dalam beberapa waktu terakhir, tren gentle parenting (gaya pengasuhan lembut) dikenal sebagai pendekatan yang menekankan empati dan validasi perasaan anak. Dan memang hal itu penting. Namun, ketika fokus pada perasaan anak dilakukan hampir sepanjang waktu tanpa keseimbangan, tak sedikit orang tua justru merasa kelelahan.
“Di satu titik, pengasuhan lembut kerap disalahartikan sebagai pengasuhan permisif, yang kemudian berdampak pada lemahnya batasan dalam lingkungan sosial anak,” ujar David Bruce, RP, psikoterapis individu dan pasangan yang berbasis di Toronto, Kanada, dikutip dari The Bump.
Fenomena ini turut diperhatikan oleh generasi orang tua yang lebih muda. Berdasarkan penelitian terbaru, kurang dari 40 persen Gen Z menyebut mereka sepenuhnya menerapkan pengasuhan lembut. Seorang pengguna di forum daring Gen Z menggambarkannya dengan lugas, “Pengasuhan seharusnya selalu penuh kasih, tetapi terkadang itu berarti membuat keputusan yang tidak disukai anak.”
Sejumlah studi juga menunjukkan bahwa mayoritas ibu dan ayah berusia 20-an kini memilih menggabungkan berbagai gaya pengasuhan, alih-alih berpegang kaku pada satu pendekatan. Pola ini kerap disebut sebagai hybrid parenting, yakni memilih dan mengombinasikan elemen dari berbagai gaya untuk membentuk pola asuh yang paling sesuai dengan kebutuhan keluarga.
Misalnya, dalam keseharian, kita bisa menerapkan prinsip pengasuhan yang lembut, tetapi menggunakan pendekatan yang lebih otoritatif dalam hal disiplin. Anda bisa menetapkan batasan yang jelas dan tegas, sambil tetap menjelaskan alasan di balik setiap aturan.
2. Memanfaatkan Kecerdasan Buatan (AI)
Bagi beberapa ibu, sangat beruntung bila mereka memiliki atau tergabung dengan komunitas-komunitas parenting, yang dapat menjadi wadah untuk berdiskusi dan mencari ilmu seputar pengasuhan anak. Tetapi, bagi beberapa ibu lainnya, dukungan seperti itu mungkin lebih sulit didapatkan.
Di tengah keterbatasan waktu, jarak, dan minimnya sistem pendukung, teknologi pun mulai mengambil peran untuk mengisi kekosongan tersebut.
Tak sedikit orang tua yang kini beralih ke aplikasi berbasis kecerdasan buatan (AI) untuk membantu menjalani keseharian. Beberapa aplikasi bahkan disebut dapat meringankan beban pengasuhan dan mengurangi kelelahan akibat banyaknya keputusan yang harus diambil setiap hari.
Mulai dari menyederhanakan jadwal dan pembagian tugas, menyusun rencana makan, hingga membantu menciptakan cerita pengantar tidur yang menyenangkan, teknologi ini dinilai memberi ruang bernapas bagi orang tua. Dengan beban administratif dan perencanaan yang terbantu, perhatian dapat dialihkan pada hal yang lebih esensial: kehadiran bersama anak.
Jika digunakan secara tepat, AI juga dinilai mampu membantu orang tua menjadi lebih hadir secara emosional. Menurut Cassidy Blair, PsyD, psikolog klinis yang berbasis di Beverly Hills, California, kondisi ini membuat orang tua tidak mudah lelah atau terdistraksi, sehingga interaksi dengan anak menjadi lebih bermakna dan terfokus.
3. Semakin Fokus Mengasuh Anak Bergiliran
Menjadi orang tua memang pekerjaan tanpa jeda. Namun, semakin banyak pasangan—terutama dari gen Z—yang mulai mencari cara agar tanggung jawab pengasuhan tidak sepenuhnya jatuh pada satu orang. Data menunjukkan, satu dari dua orang tua Gen Z kini membagi tanggung jawab karier dan urusan rumah tangga secara lebih merata.
Salah satu pendekatan yang kian banyak diterapkan adalah pola asuh bergilir. Dalam sistem ini, masing-masing orang tua secara bergantian mengambil peran utama dalam menjaga anak, sementara pasangannya mengerjakan tugas lain atau menggunakan waktu tersebut untuk beristirahat.
Pembagian peran seperti ini tidak hanya membantu orang tua merasa lebih refresh, tetapi juga berdampak positif pada hubungan pasangan dan kualitas pengasuhan. Ketika beban tidak menumpuk pada satu pihak —yang sering kali hanya pada ibu— maka risiko kelelahan dan emosi berlebih pun dapat berkurang.
“Dengan membagi jadwal, Anda terbebas dari stres terus-menerus karena harus melakukan segalanya sendiri. Ini memberi ruang bernapas,” ujar Blair, yang dalam praktiknya kerap mendorong pasangan untuk mencoba pembagian tugas dan waktu secara lebih seimbang.
4. Memutus Siklus Pengasuhan yang Sudah Tidak Relevan
Di media sosial, Anda mungkin akan menemukan sejumlah konten dari psikolog atau terapis yang membahas penyembuhan luka masa kecil. Pesan yang kerap disampaikan pun serupa: agar orang tua bisa lebih sadar dalam mengasuh, sehingga tidak mengulang dinamika yang sama kepada anak-anak mereka.
Alih-alih sekadar meniru pola asuh orang tua terdahulu, semakin banyak orang tua masa kini yang berhenti sejenak dan bertanya, “Apa yang bisa kita lakukan dengan cara yang lebih baik?” Upaya memutus siklus ini pun hadir dalam berbagai bentuk, dari perubahan kecil hingga langkah yang lebih mendalam.
Sementara bagi orang tua lain, memutus siklus berarti lebih terbuka membicarakan perasaan atau tidak lagi terikat pada peran gender yang kaku.
Profesor psikologi klinis di The Chicago School, Anaheim, California, Kim Vander Dussen, PsyD, pun mengamini kini semakin banyak keluarga berupaya menciptakan ruang emosional yang lebih sehat bagi anak.
5. Pola Asuh yang (Tidak Apa) Tidak Sempurna
Tidak ada ibu atau ayah yang selalu benar. Kini, semakin banyak orang tua yang lebih senang jujur tentang hal tersebut, tanpa terus-menerus menyalahkan diri sendiri.
“Merasa frustrasi dengan anak-anak tidak membuat Anda tidak mampu. Lupa membawa bekal makan siang tidak membuat Anda tidak mampu. Kurangnya kesabaran atau mudah teralihkan perhatiannya setiap hari tidak membuat Anda tidak mampu,” ujar terapis keluarga Eli Harwood, LPC, dalam sebuah unggahan di TikTok.
Pola pikir bahwa “tidak apa-apa jika tidak selalu baik-baik saja” perlahan mengikis anggapan lama bahwa rumah dan kehidupan keluarga harus selalu tampak sempurna. Gambaran tentang kamar bayi atau pesta ulang tahun ala Pinterest pun mulai dipertanyakan.
Tekanan untuk membuat semuanya terlihat rapi dan sempurna di mata orang lain kerap terasa melelahkan bagi banyak orang tua. Anda juga merasakannya, Moms?
6. Mengurangi Screen Time dan Main Media Sosial
Seiring meningkatnya perhatian terhadap dampak negatif penggunaan layar dan media sosial bagi anak-anak, semakin banyak orang tua yang berupaya menguranginya. Bagi orang tua bayi dan balita, langkah ini dilakukan dengan menawarkan lebih banyak pilihan bermain di dunia nyata, serta menghindari penggunaan ponsel sebisa mungkin selama waktu bersama keluarga.
Mengurangi waktu layar juga berarti menurunkan tekanan akan keharusan selalu menyediakan berbagai “aktivitas” bagi anak. Dalam beberapa situasi, tidak melakukan apa pun justru bisa membawa dampak positif.
Menurut Kim Vander Dussen, kesadaran untuk menghindari stimulasi berlebihan kini semakin berkembang.
“Orang tua milenial tidak selalu menyadari betapa pentingnya hal tersebut, sehingga sekarang terjadi semacam penyesuaian. Dan orang tua Gen Z mulai menyadari bahwa anak-anak mereka perlu merasakan bosan,” pungkasnya.



