Rendahnya Hasil TKA Bukan Kemerosotan Mendadak

kompas.id
5 jam lalu
Cover Berita

JAKARTA, KOMPAS - Rendahnya nilai rata-rata tes kemampuan akademik jenjang sekolah menengah atas dan sederajat di Indonesia dinilai bukan gejala kemerosotan mendadak kemampuan akademik siswa. Hal ini dinilai merupakan cerminan dari persoalan struktural yang lama mengendap sejak pendidikan dasar. 

Hasil rerata tes kemampuan akademik jenjang Sekolah Menengah Atas/Sekolah Menengah Kejuruan dan sederajat dibuka bagi publik dan dapat diakses mulai Jumat (26/12/2025), melalui laman tka.kemendikdasmen.go.id/hasiltka. Hal ini merupakan bentuk transparansi dan akuntabilitas kepada publik.

Dari data tersebut terlihat, rerata mata pelajaran wajib dan sebagian besar mata pelajaran pilihan tidak sampai mencapai 60, terutama untuk mata pelajaran tekait bidang sains, teknologi, engineering/teknik, dan matematika (STEM) dan bahasa asing.

Rerata nilai mata pelajaran tes kemampuan akademik (TKA) wajib seperti sudah diumumkan, amat rendah. Rerata Bahasa Indonesia (54,21), Bahasa Inggris (23,19), dan Matematika (35,35). Adapun mata pelajaran pililihan terkait bidang STEM juga rendah, terlihat untuk rerata Matematika Lanjut (39.35), Fisika (36.57), Kimia (35,42), dan Biologi (53,90).

Untuk bidang sosial humaniora, capaian rerata mata pelajaran pilihannya lebih baik dibandingkan bidang STEM. Itu terlihat dari rerata mata pelajaran Antropologi (70,05), Bahasa Indonesia Lanjut (67,20), Proyek Kreatif dan Kewirausahaan (53,59), Sosiologi (58.71), Geografi (69.22), PPKn (59,85), dan Sejarah (61,46). Namun, rerata nilai Ekonomi rendah (31,20).

Sementara untuk bahasa asing, rerata tertinggi yakni Bahasa Arab (64,34) dan Bahasa Jepang (55,73). Bahasa Inggris Lanjut tetap rendah (44,90). Adapun nilai TKA untuk bahasa asing lainnya amat rendah seperti Bahasa Korea (24,74), Bahasa Mandarin (30,95), Bahasa Prancis (36,13), dan Bahasa Jerman (39,18).

Baca JugaMengapa Nilai TKA Matematika dan Bahasa Inggris Siswa Indonesia Sangat Rendah?

Peneliti di Pusat Riset Penggerak Indonesia Cerdas (PRPIC) Arkhadi Pustaka mengutarakan, ada keterbatasan pengukuran TKA. Namun, keterbatasan TKA seharusnya tidak otomatis berarti mengabaikan apa yang ditampakkannya.

Meski secara psikometrik patut dipertanyakan, pola skor TKA Matematika SMA justru selaras dengan gambaran yang telah lama kita kenal dari berbagai sumber lain. Dalam hal ini, TKA menjadi indikator kasar yang kebetulan sejalan dengan bukti historis.

KOMPAS/ ESTER LINCE NAPITUPULU
Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah Toni Toharudin di Jakarta, Senin (3/11/2025) menjelaskan pemanfaatan hasil tes kemampuan akademik (TKA) untuk seleksi masuk jalur prestasi di perguruan tinggi negeri.

“Nilai rendah TKA tidak seharusnya dibaca sebagai gejala kemerosotan mendadak, melainkan sebagai cerminan dari masalah struktural yang telah lama mengendap. Jika ada yang ’baru’ dari TKA, itu bukan kondisi siswanya, melainkan visibilitas masalahnya,” ujarnya.

” Angka-angka tersebut terasa mengejutkan bukan karena realitasnya berubah, tetapi karena ia jarang dipaparkan secara telanjang di tingkat nasional,” ungkap Arkha.

Selama lebih dari dua dekade terakhir, asesmen internasional seperti PISA (Programme for International Student Assessment) atau program penilaian siswa internasional, secara konsisten menunjukkan kelemahan Indonesia pada literasi matematika. Kelemahan itu terutama pada aspek penalaran, pemahaman konteks, dan pemecahan masalah non-rutin.

Pola yang sama muncul dalam laporan-laporan lapangan para guru, komunitas pendidik, dan gerakan literasi numerasi seperti Gerakan Nasional Pemberantasan Buta Matematika atau Gernas Tastaka.

Arkha menambahkan, akar persoalan tersebut tidak berada di jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) dan sederajat, apalagi pada angkatan siswa tertentu. Pesoalan tersebut tertanam jauh lebih awal, terutama dalam pembelajaran matematika di sekolah dasar.

Selama bertahun-tahun, mata pelajaran Matematika di kelas awal lebih sering diperlakukan sebagai keterampilan prosedural seperti menghafal algoritma, meniru contoh, dan mengejar jawaban benar.

Pemahaman konseptual, diskursus matematis, dan refleksi atas kesalahan pemahaman yang dimiliki anak jarang menjadi highlight atau perhatian dalam proses pembelajaran Matematika di dalam kelas.

Masalah yang terpotret TKA tidak terjadi pada satu generasi siswa. Masalahnya adalah utang pedagogis menumpuk lama. TKA, dengan segala keterbatasannya, membuka sedikit tirai yang memungkinkan kita, masyarakat awam, mengintip kenyataan itu.

Fondasi numerasi yang rapuh itu bersifat kumulatif dan diwariskan dari SD ke SMP, lalu ke SMA. Pada titik tertentu, saat soal menuntut integrasi konsep dan pemaknaan konteks, struktur itu runtuh. Hasil TKA, seberapa pun problematis instrumennya, berhasil menangkap keruntuhan tersebut.

Menurut Arkha, respons kebijakan rasional seharusnya bukan panik atau reaktif, bukan pula defensif. Fokus pada perbaikan di SMA tanpa menyentuh pembelajaran Matematika di sekolah dasar (SD) hanya akan mengulang siklus yang sama.

KOMPAS/SONYA HELLEN SINOMBOR
Suasana saat tiga anak jago Matematika, Jose Augusto Nerotou (13) siswa kelas VII SMP Kalam Kudus Jayapura), dan Fanita Tenouye (9) siswa kelas IV SD Inpres Karang Mulia Nabire), dan Cresya Wiaopa(12) SMPN 1 Kuala Kurun, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, hadir di acara Sidang MPL PGI 2025, di Batu Malang, pada Jumat (7/1/2025).

“ Masalah yang terpotret TKA bukan terjadi pada satu generasi siswa. Masalahnya adalah utang pedagogis menumpuk lama. TKA, dengan segala keterbatasannya, membuka sedikit tirai yang memungkinkan kita, masyarakat awam, mengintip kenyataan itu,” ungkapnya.

Secara terpisah, Wakil Ketua Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Lalu Hadrian Irfani menuturkan, hasil TKA SMA yang secara umum rendah harus ditindaklanjuti dengan evaluasi secara obyektif dan menyeluruh, dari sisi tenaga pendidik maupun peserta didik.

”Hasil TKA seharusnya dijadikan sebagai dasar perumusan kebijakan pendidikan ke depan, termasuk peningkatan kualitas kurikulum, metode pembelajaran, serta sistem pelatihan guru,” ungkapnya.

Jika kesalahan atau kelemahan ada pada guru, maka kualitas guru harus benar-benar ditingkatkan. Sebaliknya, jika kekurangan ada pada siswa, maka peningkatan mutu dan pendampingan terhadap siswa juga harus digalakkan.

” Intinya, hasil TKA ini jangan berhenti sebagai laporan, tetapi harus ditindaklanjuti dengan langkah konkret agar kualitas pendidikan nasional benar-benar meningkat di masa mendatang,” kata Lalu.

Perbaikan mutu pembelajaran

Menurut Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah Toni Toharudin, TKA merupakan bagian dari sistem asesmen nasional yang berorientasi pada perbaikan mutu pembelajaran.

“ Hasil TKA tidak dimaksudkan untuk memberi label atau peringkat pada murid, melainkan sebagai gambaran capaian kemampuan akademik yang bisa dimanfaatkan satuan pendidikan dan pemerintah daerah dalam merancang tindak lanjut pembelajaran lebih tepat sasaran,” ucap Toni.

Dalam rangka penguatan tata kelola asesmen, BSKAP memastikan pemanfaatan hasil TKA selaras dengan prinsip keadilan dan pemerataan layanan pendidikan. Data hasil TKA jadi salah satu rujukan pemerintah memetakan capaian pendidikan antarwilayah serta menyusun kebijakan peningkatan mutu pembelajaran secara berkelanjutan.

Baca JugaTes Kemampuan Akademik, Cermin Baru Mutu Pendidikan

Sementara pelaksanaan TKA jenjang Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah/sederajat dan Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah/sederajat dimulai pada 2026. Pendaftaran TKA bagi murid kelas VI SD dan kelas IX SMP dibuka pada 19 Januari -28 Februari 2026.

Adapun pelaksanaan TKA SMP dan sederajat dijadwalkan pada 6 April - 16 April 2026, sedangkan TKA untuk SD dan sederajat dilaksanakan pada 20 April- 30 April 2026.  Pelaksanaan TKA dirancang terintegrasi dengan Asesmen Nasional (AN) sebagai instrumen pemetaan capaian akademik murid secara nasional dan bukan penentu kelulusan murid.

Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti, menegaskan, pengembangan TKA untuk jenjang SD/MI/sederajat dan SMP/MTs/sederajat merupakan kelanjutan kebijakan pemetaan akademik yang telah diterapkan pada jenjang pendidikan menengah.

Adapun TKA bertujuan untuk menyediakan data obyektif dan komprehensif mengenai capaian belajar murid sebagai dasar perbaikan pembelajaran dan pengambilan kebijakan pendidikan berbasis data.

“Jadi TKA bukan ujian kelulusan dan tidak bersifat wajib. Kehadiran TKA untuk membantu satuan pendidikan, pemerintah daerah, dan pemangku kepentingan memahami kondisi riil capaian akademik murid, agar perbaikan pembelajaran lebih terarah,” ungkapnya, saat menyampaikan taklimat media akhir tahun 2025 soal TKA.

Mu’ti menegaskan, Kemendikdasmen berkomitmen menyempurnakan pelaksanaan TKA melalui evaluasi berkelanjutan dan dialog dengan berbagai pemangku kepentingan.” Melalui TKA SD dan SMP 2026, pemerintah berharap memperkuat fondasi pembelajaran sejak dini dan mendorong mutu pendidikan secara sistemik dan berkelanjutan,” ujarnya.

 


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Libur Nataru, DAMRI Temani Perjalanan 55 Ribu Pelanggan ke Berbagai Daerah
• 11 jam laluokezone.com
thumb
Dosen Gugat UU ke MK Agar Gaji Setara UMR
• 9 jam laludetik.com
thumb
GPIB Maranata Banjarmasin Rayakan Natal dalam Kesederhanaan dan Solidaritas
• 23 jam lalutvrinews.com
thumb
Prabowo Minta Aparatur Pemerintah Tak Libur Tangani Bencana Sumatera
• 13 jam lalurctiplus.com
thumb
Tak Perlu Ada Rumor Masa Depan, Luis Díaz Sudah Bahagia di Munich
• 12 jam laluharianfajar
Berhasil disimpan.