Jakarta, VIVA – Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto menyampaikan, Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara telah melakukan pembicaraan dengan pihak Amerika Serikat (AS) terkait akses terhadap mineral kritis (critical mineral).
Dia menjelaskan, pembahasan tersebut menjadi bagian dari negosiasi tarif nol persen untuk sejumlah komoditas sumber daya alam (SDA) Indonesia.
"Tentu yang critical mineral sudah ada pembicaraan Danantara dengan badan ekspornya di Amerika, dan juga ada beberapa perusahaan Amerika yang sudah berbicara dengan perusahaan critical mineral di Indonesia. Jadi itu akses terhadap critical mineral yang disediakan oleh pemerintah," ujar Airlangga dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat, 26 Desember 2025.
- Dok. Danantara
Peran Danantara dalam hal ini bersifat business to business (B2B). Artinya, Danantara memfasilitasi dan menjembatani kerja sama langsung antara perusahaan Indonesia dan perusahaan AS yang memiliki minat berinvestasi di sektor mineral kritis.
Airlangga menjelaskan, sebenarnya keterlibatan AS dalam sektor mineral kritis Indonesia bukanlah hal baru. Ia mencontohkan komoditas tembaga (copper) yang telah lama digarap perusahaan asal AS, Freeport-McMoRan, sejak tahun 1967.
Selain tembaga, Airlangga menyebut sejumlah mineral kritis lain yang menjadi perhatian AS, antara lain nikel, bauksit, hingga logam tanah jarang (rare earth).
Untuk nikel, ia menyinggung keberadaan perusahaan multinasional seperti PT Vale Indonesia Tbk yang telah beroperasi di Indonesia sejak dekade 1970-an. Adapun mineral rare earth, menurutnya, masih dalam tahap pengembangan.
"Rare earth kita juga masih dalam proses. Itu by product dari Timah," ujar Airlangga.
Lebih lanjut, Airlangga mengakui bahwa AS memang membutuhkan akses terhadap mineral kritis untuk berbagai sektor strategis, mulai dari otomotif, industri pesawat terbang, hingga peralatan pertahanan dan militer.
Diketahui, sebelumnya Pemerintah Indonesia menargetkan kesepakatan tarif resiprokal dengan AS dapat dituntaskan dan ditandatangani pada akhir Januari 2026 oleh Presiden RI Prabowo Subianto dan Presiden AS Donald Trump.
Seluruh isu substansi dalam dokumen Perjanjian Tarif Resiprokal atau Agreement on Reciprocal Trade (ART) pada prinsipnya telah disepakati oleh kedua negara. Saat ini, proses perundingan memasuki tahap legal drafting dan penyelarasan bahasa.




