Di dalam setiap motor Honda Beat Karburator yang bergetar di lampu merah Bandung, tersembunyi sebuah kisah pilu tentang kegagalan negara dan kualitas hidup kelas pekerja.
Motor ini, sang magnum opus pabrikan, tak pernah mati bukan hanya karena durability-nya, tapi karena ia adalah keseimbangan terpaksa antara upah yang menghina dan infrastruktur yang mematikan.
Beat Karbu adalah perwujudan fisik dari pertanyaan: Berapa harga termurah untuk bertahan hidup di Bandung? Jawabannya: Semurah harga Beat Karbu, dan semahal biaya mental yang harus dibayar pengendaranya.
Beat Karbu adalah penanda kelas yang paling jujur. Ia mewakili mereka yang harus menempuh jarak puluhan kilometer, dari pinggiran kota ke pusat kota yang gemerlap, untuk menukarkan waktu hidupnya dengan Upah Minimum Regional (UMR) yang hanya cukup untuk nombok biaya hidup.
Mengapa ia abadi? Karena ia adalah toleransi maksimum yang bisa dibeli oleh UMR.
Sebagaimana dibahas Pierre Bourdieu dalam Distinction, selera dan pilihan konsumsi adalah penanda habitus atau posisi kelas. Beat Karbu adalah habitus kelas pekerja yang secara finansial tidak mampu membeli kenyamanan, keamanan, atau kecepatan yang mahal. Membeli Beat Karbu bukan pilihan gaya hidup; itu adalah kalkulasi finansial nan brutal. Mereka membeli daya tahan, bukan kemewahan.
Ironisnya, meski murah, Beat Karbu adalah harga diri. Tanpa motor, mereka menjadi pelintas pasif (ngecer angkot yang kadang ngetem seenaknya) dan kehilangan agensi (kemampuan mengatur waktu dan rute). Beat Karbu memberi mereka ilusi kontrol atas waktu yang berharga bagi pekerja harian.
Mereka bisa "ngebut" mengejar shift pagi yang sebetulnya adalah kompensasi atas waktu yang terbuang karena harus tinggal jauh dari pusat kota akibat mahalnya harga sewa dari hunian yang layak.
Kedua, terletak pada relasi brutal antara motor ini dengan infrastruktur publik. Jalanan di Bandung sering kali adalah kombinasi mengerikan antara lubang, tambalan seadanya, dan macet yang kronis.
Beat Karbu, dengan desainnya yang ramping dan sparepart yang mudah didapat, adalah motor yang paling cocok untuk dirusak. Ia dirancang untuk menjadi korban dari jalanan yang buruk, yang pada gilirannya menciptakan ekonomi sirkular yang jahat: 1. beli motor murah; 2) motor rusak akibat jalanan yang jelek; 3) uang ekstra untuk bengkel pinggir jalan dan sparepart (KW); 4) uang kembali ke rantai distribusi (untung lagi bagi produsen suku cadang dan bengkel).
Kondisi yang mirip dalam novel Orang-Orang Proye" karya Ahmad Tohari, di mana kualitas infrastruktur yang buruk dan mangkrak bukan hanya soal teknis, melainkan cerminan dari kegagalan moral dan korupsi di tingkat elite yang selalu menanggungbebani rakyat kecil.
Ini adalah bukti nyata bahwa kegagalan negara menyediakan infrastruktur yang layak justru menciptakan peluang bisnis bagi industri motor dan aftermarket-nya. Beat Karbu Abadi, karena kualitas jalanan kita memang selevel itu.
Beat Karbu menjadi bantalan penderitaan yang paling efektif. Ketika kita melihatnya bergetar, berganti ban, atau diservis setiap bulan, kita bukan melihat perawatan rutin, melainkan monumen kegagalan kolektif: kegagalan negara mengatur tata ruang, kegagalan menyediakan transportasi massal, dan kegagalan memastikan upah yang layak agar warganya bisa memilih kendaraan yang lebih aman dan nyaman.
Ia tak pernah mati, karena selama kemiskinan dan jalanan yang bobrok ini abadi, maka alat kompromi seperti Beat Karbu akan terus menjadi abadi. Beat Karbu adalah epitaf atas janji-janji pembangunan. Sebuah kendaraan yang, ironisnya, hanya bisa bertahan hidup karena lingkungan yang buruklah yang membuatnya relevan—seperti rumput liar yang tumbuh subur di lahan yang tak terurus.



