CELEBESMEDIA.ID, Makassar – Di salah satu sudut Benteng Rotterdam, bangunan bersejarah peninggalan kolonial yang menghadap laut Makassar, seorang pria duduk tekun di hadapan kanvas. Tidak ada bau cat minyak atau akrilik. Yang tersaji justru botol-botol kecil berisi sari tanah dari berbagai wilayah Sulawesi Selatan. Dari tempat inilah Zainal Beta menua bersama karyanya.
Sejak 1977, Benteng Rotterdam bukan sekadar ruang kerja, melainkan rumah kedua bagi Zainal. Lahir di Makassar, 19 April 1960, ia tumbuh di lingkungan keluarga seniman musik dan tari.
Namun jalannya berbeda. Zainal memilih melukis, bahkan dengan cara yang nyaris tak terpikirkan oleh kebanyakan pelukis: menggunakan tanah liat sebagai medium utama.
Pilihan itu bukan keputusan instan. Hingga 1980, Zainal masih melukis menggunakan cat konvensional. Titik balik justru datang dari kejenuhan dan sebuah peristiwa sederhana.
"Saya pembina lima tahun melukis pakai cat, di situ ada titik jenuh. Tiap hari kita ketemu cat, kita coba-coba saja apakah ini hanya persoalan kertas jatuh di lumpur, tanah merah, saya bersihkan ada objek di dalam. Di situ muncul itu tahun 1980, akhirnya beralih ke clay-painting," kenangnya saat ditemui Jumat (26/12) sore.
Keputusan tersebut membuatnya dianggap “aneh”, bahkan “gila” oleh sebagian rekan seprofesi. Selama lima tahun, gagasan melukis dengan tanah ditolak karena dianggap tidak sesuai pakem seni rupa.
Pengakuan baru datang pada 1986, saat pameran di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta. Maestro lukis Indonesia, Affandi, secara langsung mengesahkan Zainal sebagai pelukis tanah liat.
Bagi Zainal, tanah bukan sekadar bahan, melainkan ruh kehidupan. Ia menjelajahi Luwu, Toraja, hingga Enrekang untuk memetakan karakter warna tanah. Dari semua wilayah, Luwu menjadi favoritnya.
Menurut Zainal, tanah Luwu memiliki kualitas terbaik dengan tiga varian warna alami, dipengaruhi kondisi geologis dan kawasan tambang di sekitarnya.
Proses pengolahan tanah pun tidak sederhana. Ia harus menyaring tanah berulang kali selama tiga hingga empat bulan demi mendapatkan sari terbaik.
"Penyaringan berulang kali, tidak semua tanah kita olah bagus, pasti ada yang gagal karena berubah warnanya, dan kualitas daya rekatnya berkurang. Tiap minggu kita saring berulang terus, karena kita mau ambil sarinya," jelasnya.
Dari sekitar 20 warna tanah yang berhasil ia temukan, hanya lima warna utama yang paling sering digunakan. Keunggulan tanah sebagai media, menurutnya, justru terletak pada daya tahannya.
"Menurut peneliti dari Australia dan Amerika, justru tanah itu warnanya tidak akan berubah, berbeda dengan cat," tambah Zainal.
Dalam karyanya, kapal Pinisi menjadi objek yang paling sering muncul. Bagi Zainal, Pinisi adalah metafora kehidupan: menghadapi gelombang besar dengan ketenangan dan arah yang jelas.
Ia melukis menggunakan bilah bambu, bahkan jari-jarinya sendiri. Satu lukisan bisa rampung dalam satu menit, namun potret wajah yang detail bisa memakan waktu hingga berminggu-minggu.
Sejumlah tokoh Sulawesi Selatan pernah ia abadikan dalam media tanah, di antaranya Syahrul Yasin Limpo, Ilham Arief Sirajuddin, hingga Moh. Ramdhan Pomanto.
Meski mengaku tidak fasih berbahasa Inggris, karya Zainal telah menembus pasar internasional. Amerika Serikat, Jerman, dan Belanda menjadi beberapa negara tujuan lukisannya.
Ia memanfaatkan jaringan pemandu wisata dan internet untuk memasarkan karya dengan harga mulai Rp150 ribu hingga Rp10 juta.
Baru-baru ini, Zainal memamerkan karya raksasa berukuran hingga 70 x 6 meter di Melbourne, Australia. Karya tersebut mengangkat sejarah jalur pelaut Makassar, Padewakan.
Ketertarikan terhadap karyanya juga datang dari wisatawan mancanegara. Max, relawan asal Amerika Serikat, bahkan memborong enam lukisan sekaligus saat berkunjung ke Benteng Rotterdam.
"Saya belum pernah melihat lukisan tanah liat sebelumnya. Saya memilih potret budaya Sulawesi dan Toraja, ini sangat menarik dengan gaya lukis yang unik," ujar Max.
Setelah lebih dari empat dekade berkarya, Zainal kini telah mengantongi hak cipta (HAKI). Dua anaknya pun mengikuti jejaknya sebagai pelukis tanah liat. Studio kecilnya di Benteng Rotterdam terbuka setiap hari pukul 08.00–17.00 Wita, menjadi saksi bahwa ketekunan mampu melahirkan warisan seni yang tak lekang oleh waktu.
"Ke depan tidak ada keinginan berubah aliran, karena sudah jadi ikon di Indonesia sebagai pelukis tanah liat," pungkasnya.
Riwayat Pameran Zainal Beta
- Pameran Nusantara – Galeri Nasional (dua kali, 1990-an)
- Bentara Budaya Jakarta – Pameran Bersama (2003)
- Taman Ismail Marzuki – Pameran Tunggal (1986, 2017)
- Jalu Teripang – Jalur Pelaut Sulsel ke Australia (2025)
Laporan: Rifki




