China kritik Jepang, tuding dorong remiliterisasi anggaran pertahanan

antaranews.com
18 jam lalu
Cover Berita
Beijing (ANTARA) - Pemerintah China mengkritik rencana Jepang untuk kembali meningkatkan anggaran pertahanan dan menyebutnya sebagai dorongan kekuatan kelompok sayap kanan yang ingin mewujudkan remiliterisasi.

"Jepang tidak menunjukkan kecenderungan untuk memperbaiki perilakunya, dan malah berencana untuk kembali menaikkan anggaran pertahanan, yang semakin mengungkapkan motif kekuatan sayap kanan Jepang untuk melakukan remiliterisasi Jepang dan menghidupkan kembali militerisme," kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Lin Jian dalam konferensi pers di Beijing, Jumat.

Jepang diberitakan sedang menyusun anggaran pertahanan senilai sekitar 9 triliun yen (sekitar 58,12 miliar dolar AS) dalam tahun fiskal selanjutnya yang dimulai pada April 2026, termasuk untuk melengkapi kapasitas militer dengan rudal jarak jauh dan "drone".

Angka tersebut akan melampaui rekor 8,7 triliun yen untuk anggaran pertahanan tahun fiskal saat ini yang dimulai April, karena Jepang menghadapi peningkatan tantangan keamanan dari China dan Korea Utara serta tuntutan Presiden AS Donald Trump untuk pengeluaran keamanan yang lebih tinggi.

"Mengingat kejahatan perang yang tak terhitung jumlahnya yang dilakukan oleh militer Jepang, langkah-langkah militer Jepang selalu diawasi dengan ketat oleh negara-negara tetangga di Asia dan komunitas internasional. Sejak pemerintahan Jepang yang baru berkuasa, mereka secara nyata mempercepat pembangunan kapasitas militer," ucap Lin Jian.

Lin Jian menyorot pernyataan PM Takaichi tentang Taiwan yang mengancam penggunaan kekuatan terhadap China, hingga pernyataan pejabat senior kantor PM Jepang yang menyerukan baik kepemilikan senjata nuklir oleh Jepang maupun usulan revisi tiga dokumen keamanan nasional serta gagasan untuk mengubah tiga prinsip non-nuklir yang saat ini dipegang Jepang.

"Dalam beberapa tahun terakhir, Jepang telah mencabut larangan untuk menggunakan hak pertahanan diri kolektif, mengembangkan apa yang disebut 'kemampuan untuk menyerang pangkalan musuh', memperkuat kerja sama dalam pencegahan yang diperluas, dan membangun pulau-pulau perbatasan menjadi garis depan pertahanan, yang jelas melampaui kebijakan 'berorientasi pertahanan terbatas' Jepang," papar Lin Jian.

Istilah seperti "pertahanan diri" dan "serangan balasan" pun, ungkap Lin Jian, digunakan oleh kelompok sayap kanan Jepang untuk menutupi upaya mereka untuk melanggar tatanan internasional pasca-perang dan ketentuan dalam Konstitusi Jepang, serta memanipulasi opini publik.

"Langkah-langkah ini telah membuat komunitas internasional waspada. China akan bekerja sama dengan semua negara pencinta perdamaian untuk menolak setiap langkah berbahaya yang dirancang untuk menghidupkan kembali militerisme atau menumbuhkan neo-militerisme, dan bersama-sama mempertahankan kemenangan Perang Dunia II," ujar Lin Jian.

Selain rencana untuk meningkatkan anggaran pertahanan, Kabinet Perdana Menteri Jepang Sanae Takaichi pada Selasa (23/12) mengadopsi strategi keamanan siber baru untuk lima tahun ke depan dengan fokus khusus pada langkah-langkah "pertahanan siber aktif" preventif untuk mengatasi peningkatan risiko serangan.

Strategi utama dari pendekatan keamanan siber Jepang yang baru adalah konsep "pertahanan dan pencegahan yang berpusat pada pemerintah". Arah kebijakan ini mengikuti pengesahan undang-undang pada awal tahun ini yang memperkenalkan pertahanan siber aktif, yang memungkinkan pihak berwenang untuk memantau komunikasi di dunia maya selama masa damai untuk mencegah serangan siber sebelum menyebabkan kerusakan.

Pada Mei 2025, pemerintah Jepang juga mengesahkan undang-undang yang memperkenalkan konsep pertahanan siber aktif, yang memungkinkan polisi dan Pasukan Bela Diri Jepang mengakses dan menetralkan server sumber serangan untuk melawan ancaman.

Pertama kali diadopsi pada 2013, strategi keamanan siber telah diperbarui setiap beberapa tahun. Revisi pada 2021, untuk pertama kalinya menyebutkan China, Rusia, dan Korea Utara sebagai ancaman serangan siber dengan mengatakan bahwa dunia maya telah menjadi "ranah persaingan antarnegara yang mencerminkan ketegangan geopolitik."

Strategi keamanan siber berangkat dari kekhawatiran Badan Keamanan Jepang, yang telah mengamati adanya peningkatan serangan ransomware, penipuan keuangan, dan pelanggaran data secara terus-menerus.



Baca juga: China serukan dunia cegah "kebangkitan militerisme" di Jepang

Baca juga: China desak agen perjalanan pangkas wisata ke Jepang 40 persen


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Informasi Terkini: BBMKG Terbitkan Peringatan Dini Gelombang Tinggi Di Perairan Bali
• 23 jam lalunarasi.tv
thumb
14 Orang Terluka dalam Serangan Brutal di Pabrik Karet Jepang
• 4 jam lalumetrotvnews.com
thumb
Asosiasi Serikat Pekerja Nilai UMP 2026 Belum Mampu Tutupi Biaya Hidup Buruh
• 12 jam lalukompas.tv
thumb
Belum Fix Cerai dari Ridwan Kamil, Atalia Praratya Dijodoh-jodohkan dengan Dedi Mulyadi, Bermula dari Hal Ini
• 11 jam lalugrid.id
thumb
Angola Gagal Menang! Gol Telat Zimbabwe Bikin Asa Lolos Piala Afrika 2025 Masih Menggantung
• 15 jam lalutvonenews.com
Berhasil disimpan.