Secangkir kopi sering menjadi pintu masuk menuju keheningan. Saat aroma kopi mengepul pelan, ritme hidup yang cepat seakan melambat. Di saat itu, seseorang mulai berdialog dengan dirinya sendiri. Sunyi bukan berarti kosong, melainkan penuh dengan pertanyaan, kegelisahan, dan harapan yang selama ini tertinggal. Dalam keheningan, pikiran dipaksa jujur, tidak lagi bersembunyi di balik keramaian atau pendapat orang lain.
Keberanian untuk berpikir muncul ketika seseorang bersedia menghadapi sunyi itu. Berpikir bukanlah aktivitas pasif; ini membutuhkan keteguhan untuk mempertanyakan hal-hal yang dianggap biasa. Banyak orang lebih memilih keramaian agar tidak perlu berpikir terlalu dalam. Namun, tanpa keberanian untuk berpikir, manusia mudah terjebak dalam arus pendapat mayoritas, mengikuti tanpa memahami, dan menerima tanpa mengkritisi. Kopi, dalam kesederhanaannya, sering menjadi teman setia dalam proses berpikir yang sunyi namun mendalam.
Lebih jauh, kopi juga mengajarkan tentang kejujuran rasa. Ia pahit, dan tidak semua orang menyukainya. Namun justru dari kepahitan itu muncul kenikmatan yang otentik. Begitu juga dengan berpikir. Tidak semua hasil pemikiran terasa nyaman. Terkadang, berpikir membawa kita pada kesadaran akan kesalahan, keterbatasan, atau kenyataan yang tidak menyenangkan. Dibutuhkan keberanian untuk menerima hasil pemikiran tersebut tanpa menyangkalnya.
Dalam konteks sosial, keberanian berpikir sangat penting. Masyarakat yang sehat adalah masyarakat yang memberi ruang bagi individu untuk berpikir kritis. Sayangnya, budaya instan sering kali lebih menghargai jawaban cepat daripada proses berpikir yang matang. Di sinilah kopi dan sunyi menjadi simbol perlawanan kecil: sebuah upaya meluangkan waktu untuk merenung sebelum bertindak dan berbicara.
Akhirnya, kopi, sunyi, dan keberanian untuk berpikir bukan sekadar pengalaman pribadi, melainkan kebutuhan bersama. Dari pikiran-pikiran yang lahir dalam keheningan, muncul ide-ide, empati, dan keputusan yang lebih bijak. Maka, di tengah hiruk pikuk dunia, kita mungkin perlu kembali menyeduh kopi, menerima sunyi, dan beranikan diri untuk benar-benar berpikir.
Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Ilmu Komputer Universitas Katolik Santo Thomas Medan





