Kopi, Sunyi, dan Keberanian untuk Berpikir

kumparan.com
14 jam lalu
Cover Berita

Secangkir kopi sering menjadi pintu masuk menuju keheningan. Saat aroma kopi mengepul pelan, ritme hidup yang cepat seakan melambat. Di saat itu, seseorang mulai berdialog dengan dirinya sendiri. Sunyi bukan berarti kosong, melainkan penuh dengan pertanyaan, kegelisahan, dan harapan yang selama ini tertinggal. Dalam keheningan, pikiran dipaksa jujur, tidak lagi bersembunyi di balik keramaian atau pendapat orang lain.

Keberanian untuk berpikir muncul ketika seseorang bersedia menghadapi sunyi itu. Berpikir bukanlah aktivitas pasif; ini membutuhkan keteguhan untuk mempertanyakan hal-hal yang dianggap biasa. Banyak orang lebih memilih keramaian agar tidak perlu berpikir terlalu dalam. Namun, tanpa keberanian untuk berpikir, manusia mudah terjebak dalam arus pendapat mayoritas, mengikuti tanpa memahami, dan menerima tanpa mengkritisi. Kopi, dalam kesederhanaannya, sering menjadi teman setia dalam proses berpikir yang sunyi namun mendalam.

Lebih jauh, kopi juga mengajarkan tentang kejujuran rasa. Ia pahit, dan tidak semua orang menyukainya. Namun justru dari kepahitan itu muncul kenikmatan yang otentik. Begitu juga dengan berpikir. Tidak semua hasil pemikiran terasa nyaman. Terkadang, berpikir membawa kita pada kesadaran akan kesalahan, keterbatasan, atau kenyataan yang tidak menyenangkan. Dibutuhkan keberanian untuk menerima hasil pemikiran tersebut tanpa menyangkalnya.

Dalam konteks sosial, keberanian berpikir sangat penting. Masyarakat yang sehat adalah masyarakat yang memberi ruang bagi individu untuk berpikir kritis. Sayangnya, budaya instan sering kali lebih menghargai jawaban cepat daripada proses berpikir yang matang. Di sinilah kopi dan sunyi menjadi simbol perlawanan kecil: sebuah upaya meluangkan waktu untuk merenung sebelum bertindak dan berbicara.

Akhirnya, kopi, sunyi, dan keberanian untuk berpikir bukan sekadar pengalaman pribadi, melainkan kebutuhan bersama. Dari pikiran-pikiran yang lahir dalam keheningan, muncul ide-ide, empati, dan keputusan yang lebih bijak. Maka, di tengah hiruk pikuk dunia, kita mungkin perlu kembali menyeduh kopi, menerima sunyi, dan beranikan diri untuk benar-benar berpikir.

Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Ilmu Komputer Universitas Katolik Santo Thomas Medan


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
BNPB Sebut Curah Hujan 4-5 Bulan Turun Dalam Satu Malam di Bireun Aceh
• 1 jam laluidxchannel.com
thumb
One Way Diberlakukan Siang Ini, Kendaraan ke Puncak Ditahan di Gadog
• 5 jam laludetik.com
thumb
Klarifikasi GBN MI: Ayu Aulia Dilantik di Kemenhan, Bukan Tim Kreatif Kemenhan
• 12 jam lalurepublika.co.id
thumb
Libur Tahun Baru 2026, Ganjil Genap Ditiadakan tapi E-TLE Tetap Berlaku
• 2 jam lalukompas.com
thumb
Serba-serbi KPK Setop Usut Kasus Izin Tambang di Sultra
• 10 jam laludetik.com
Berhasil disimpan.