Aceh dan Seni Bertahan Hidup

katadata.co.id
12 jam lalu
Cover Berita

Bencana demi bencana yang dialami masyarakat Aceh dalam beberapa tahun terakhir memperlihatkan bahwa ketangguhan bukan sekadar warisan sejarah, melainkan kebutuhan hidup yang terus diperbarui. Di tanah yang sama, lebih dari satu abad silam, sebuah masyarakat pernah memilih jalan panjang dan mahal untuk mempertahankan martabatnya dari kolonialisme. Kiwari, keteguhan itu kembali diuji, bukan oleh meriam imperium, tetapi oleh kerusakan lingkungan, tata kelola sumber daya nan rapuh, dan perubahan iklim yang mempersempit ruang aman kehidupan.

Belanda datang ke Aceh dengan peta, meriam, dan rasa percaya diri imperium. Mereka berhadapan dengan masyarakat yang memiliki memori panjang tentang kedaulatan, jaringan keagamaan yang lentur, dan tradisi politik yang tidak bergantung sepenuhnya pada satu pusat kekuasaan. Pertemuan dua dunia ini melahirkan perang yang bukan saja terpanjang dalam sejarah kolonial Belanda, tetapi juga paling membingungkan bagi para perencana kolonialnya.

Tak Pernah Sepenuhnya Takluk

Sebelum tembakan pertama dilepaskan tahun 1873, Aceh adalah sebuah kesultanan dengan reputasi regional. Selama berabad-abad, ia berdiri di simpang jalur perdagangan Samudra Hindia, menjadi penghubung dunia Islam di Asia Barat dengan kepulauan Asia Tenggara. Sejarah panjang ini membentuk rasa percaya diri politik yang silang selimpat dipatahkan. Aceh tidak memandang dirinya sebagai wilayah pinggiran, melainkan sebagai penjaga gerbang dan tradisi.

Anthony Reid dalam The contest for North Sumatra: Atjeh, the Netherlands and Britain 1858-1898 (Oxford University Press, 1969) meneroka bahwa posisi Aceh dalam persaingan Inggris dan Belanda membuatnya menjadi sasaran geopolitik yang sensitif. Inggris melihat Aceh sebagai mitra dagang yang berguna, sementara Belanda menilainya sebagai anomali yang mengganggu konsolidasi Hindia Belanda. Tatkala Perjanjian Sumatra 1871 membuka jalan bagi agresi Belanda, Aceh menyadari bahwa yang dipertaruhkan bukan sekadar wilayah, tetapi kehormatan sebagai entitas berdaulat.

Perang sebagai Pertahanan Negara

Agresi Belanda pada 1873 pada mulanya dipahami Aceh sebagai perang antarnegara. Sultan, bangsawan, dan struktur kenegaraan bergerak mempertahankan ibu kota. Serangan pertama Belanda gagal. Penyakit, logistik yang subal, dan perlawanan lokal membuat pasukan kolonial mundur dengan kerugian besar. Kegagalan ini memberi pesan penting bagi masyarakat Aceh bahwa kekuatan imperium tidak selalu identik dengan kemenangan cepat.

Akan tetapi, Belanda belajar dari kekalahan. Serangan kedua pada 1874 berhasil menduduki pusat kerajaan dan menghancurkan simbol-simbol kekuasaan. Aceh di atas kertas dinyatakan takluk. Dalam kenyataan, perang baru saja dimulai. Pernyataan kemenangan kolonial ini kelak dikenang sebagai salah satu ilusi terbesar dalam sejarah militer Belanda.

Dari Istana ke Desa

Setelah jatuhnya pusat kesultanan, perang Aceh berubah watak. Ia tidak lagi dipimpin sepenuhnya oleh negara, tetapi oleh komunitas. Ulèëbalang di wilayah wilayah dan para ulama di jaringan keagamaan mengambil peran sentral. Kepemimpinan menjadi terdesentralisasi, adaptif, dan sulit diprediksi. Dalam kondisi ini, kekalahan strategis justru melahirkan keuletan baru.

Ibrahim Alfian dalam Perang di jalan Allah: Perang Aceh 1873-1912 (Pustaka Sinar Harapan, 1987) mencatat bahwa fase inilah yang menjadikan Perang Aceh sangat panjang. Perlawanan tidak lagi bergantung pada satu figur atau satu pusat komando. Ia hidup dalam desa, surau, dan hutan. Ketika satu pemimpin gugur, yang lain muncul. Ketika satu wilayah ditaklukkan, perlawanan berpindah ke wilayah lain.

Perang Sabil sebagai Bahasa Bersama

Salah satu kekuatan terbesar Aceh terletak pada kemampuan mengubah penderitaan menjadi makna. Ulama memainkan peran kunci dalam proses ini. Melalui hikayat dan khutbah, perang diterjemahkan sebagai ibadah. Konsep perang sabil menjadikan perlawanan sebagai jalan spiritual, bukan sekadar kewajiban politik.

Dalam bingkai ini, kematian tidak dipahami sebagai akhir, melainkan sebagai pemenuhan tugas suci. Ide ini menyebar cepat karena ia beresonansi dengan pengalaman sehari-hari masyarakat yang hidup di bawah tekanan militer. Perang sabil menjadi bahasa bersama yang menyatukan petani, pedagang, dan bangsawan dalam satu imajinasi kolektif.

Perlawanan Tiada Akhir

Belanda merespons dengan pendekatan baru. Mereka memadukan kekuatan militer dengan pengetahuan etnografis. Snouck Hurgronje, seorang orientalis, mempelajari struktur sosial Aceh dan menyarankan pemisahan peran ulama dan bangsawan. Strategi ini efektif secara administratif, tetapi tidak sepenuhnya memadamkan perlawanan.

Justru pada saat sumber daya Aceh semakin menipis, serangan sporadis terus terjadi. Bahkan setelah para pemimpin utama ditangkap atau diasingkan, perlawanan lokal tidak pernah benar-benar berhenti. Reid menunjukkan bahwa pada titik ini, perang telah berubah menjadi masalah ketertiban kolonial, bukan lagi konflik diplomatik.

Keteguhan Manusia

Sejarah Aceh juga adalah sejarah individu. Cut Nyak Dien, Teuku Umar, dan Teungku Cik di Tiro bukan hanya simbol heroik, tetapi representasi dari pilihan sulit. Mereka bergerak dalam dunia yang penuh kompromi, pengkhianatan, dan pengorbanan. Keteguhan mereka memperlihatkan bahwa kegigihan tidak selalu berarti kemenangan, tetapi kesediaan untuk terus berdiri ketika alasan untuk menyerah sangat banyak.

Kisah-kisah ini bertahan karena ia menyentuh sisi manusiawi sejarah. Di balik strategi dan ideologi, terdapat keluarga yang tercerai, desa yang porak-poranda, dan generasi yang tumbuh dalam bayang-bayang perang.

Warisan dalam Sejarah Indonesia

Ketika Perang Aceh mereda pada awal abad kedua puluh, Belanda mungkin memperoleh kendali administratif. Namun Aceh tidak pernah sepenuhnya kehilangan otonomi moralnya. Pengalaman panjang melawan kolonialisme membentuk sikap kritis terhadap kekuasaan eksternal dan menanamkan memori kolektif tentang harga kemerdekaan.

Dalam sejarah Indonesia modern, Aceh menempati posisi unik. Ia menjadi wilayah yang paling lama berperang melawan kolonialisme dan salah satu yang paling konsisten mempertahankan identitasnya. Warisan ini terasa hingga hari ini dalam cara Aceh memaknai hubungan dengan negara dan dunia luar.

Pelajaran dari Ujung Barat

Sejarah kegigihan Aceh mengajarkan bahwa kekuatan tidak selalu berasal dari persenjataan atau teknologi. Ia tumbuh dari makna bersama, jaringan sosial yang lentur, dan kemampuan menafsirkan penderitaan sebagai tujuan. Dalam dunia kontemporer yang kembali menyaksikan ketimpangan kekuasaan global, kisah Aceh mengingatkan kita bahwa ketahanan sebuah masyarakat sering kali berakar pada pelbagai hal yang tidak mudah menjadi tolok ukur.

Arkian, Aceh mungkin tidak lagi berhadapan dengan perang kolonial, tetapi ia menghadapi medan perjuangan baru yang tak kalah senyap, nestapa, dan melelahkan. Banjir, longsor, dan krisis ekologis menuntut ketangguhan yang berbeda, namun berakar pada sumber yang sama, yakni solidaritas komunitas, makna bersama, dan kemampuan bertahan di tengah keterbatasan. 

Jika dulu kegigihan Aceh membentuknya sebagai subjek sejarah melawan imperium, hari ini kegigihan itu menentukan apakah ia mampu bertahan sebagai masyarakat yang bermartabat di tengah krisis ekologis. Dalam ketekunan menghadapi bencana, Aceh kembali mengajarkan bahwa bertahan hidup bukan hanya soal selamat, tetapi soal menjaga martabat di hadapan zaman yang berubah.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
14 Orang Terluka dalam Serangan Brutal di Pabrik Karet Jepang
• 3 jam lalumetrotvnews.com
thumb
Firman Utina Kunjungi Akademi Osasuna, Tak Hanya Belajar Aspek Teknis
• 6 jam laluskor.id
thumb
Ancol Siapkan Konten Pertunjukan Baru di Libur Nataru Tahun Ini
• 23 jam lalumetrotvnews.com
thumb
Kemendikdasmen Kucurkan Rp 32 M Bantu 16 Ribu Tenaga Pengajar Terdampak Bencana
• 4 jam lalukumparan.com
thumb
Prakiraan Cuaca BMKG Hari ini Sabtu, 27 Desember 2025: Waspada Cuaca Ekstrem akibat Siklon Tropis
• 13 jam lalumediaindonesia.com
Berhasil disimpan.