Konsolidasi demi konsolidasi mewarnai panggung politik Tanah Air sepanjang tahun 2025. Rupanya, konsolidasi pasca-Pemilu 2024 belum juga usai meski pemerintahan baru telah terbentuk sejak Oktober 2024.
Lobi-lobi untuk mendapatkan dukungan politik tidak terhenti meski pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming telah mendapatkan dukungan mayoritas partai politik di parlemen. Mulanya, saat pemilihan presiden (pilpres), Prabowo-Gibran didukung oleh empat partai politik (parpol) parlemen, yakni Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai Demokrat, dan Partai Amanat Nasional (PAN).
Pascapilpres, tiga parpol parlemen menyusul bergabung dengan barisan koalisi pendukung pemerintahan Prabowo-Gibran. Ketiganya, Partai Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), mengusung pasangan calon presiden-wakil presiden pesaing Prabowo-Gibran. Bergabungnya tiga parpol itu juga tidak lepas dari safari politik yang gencar dilancarkan Prabowo pascapilres.
Dengan demikian, sampai saat ini, pemerintahan Prabowo-Gibran mendapatkan dukungan mayoritas di parlemen, yakni tujuh dari delapan parpol di DPR. Tujuh parpol itu menguasai 470 kursi atau 81 persen dari total 580 kursi di parlemen.
Meski telah mendapatkan dukungan mayoritas, Prabowo dan elite partainya, Gerindra, terus berupaya mendekati partai politik yang kini masih berada di luar pemerintahan dan pimpinannya dengan dalih menjaga stabilitas. Satu-satunya parpol di luar pemerintahan adalah Partai Demorasi Indonesia Perjuangan (PDI-P).
Setelah melalui serangkaian lobi, akhirnya Presiden Prabowo bertemu dengan Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri. Pada 7 April 2025, sepekan setelah Hari Raya Idul Fitri, Prabowo menyambangi kediaman Megawati di Jalan Teuku Umar, Jakarta. Tidak diketahui secara pasti apa yang dibahas dalam pertemuan empat mata selama 1,5 jam itu. Sejumlah elite PDI-P mengungkapkan bahwa pertemuan itu merupakan pertemuan personal dan silaturahmi Lebaran, sehingga tidak mempengaruhi sikap partai.
Dalam Kongres VI di Bali, awal Agustus 2025, PDI-P menegaskan tetap berada di luar pemerintahan. PDI-P akan hadir sebagai penyeimbang kritis, mendukung kebijakan pemerintah yang prorakyat tetapi siap mengritik bila terjadi penyimpangan.
Lobi juga tidak hanya dilancarkan kepada partai politik, tetapi juga elite yang dianggap masih berpengaruh, salah satunya Presiden ke-7 RI Joko Widodo. Hal ini tentu tidak terlepas dari tekad Prabowo yang sejak awal kemenangan, yakni merangkul semua unsur dan semua kekuatan.
Dengan pertimbangan memperkuat barisan itu pula, Presiden telah empat kali merombak kabinet. Di sisi lain, partai-partai politik juga terus berkonsolidasi, untuk kembali meneguhkan dukungan kepada pemerintah sekaligus mempersiapkan barisan untuk menghadapi Pemilu 2029.
Peneliti senior Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Firman Noor, beberapa waktu lalu, mengatakan, sepanjang tahun pertama pemerintahan Presiden terlihat masih berkonsolidasi secara politik dan kelembagaan. Sebab, meski saat berkampanye Prabowo-Gibran menjanjikan keberlanjutan dari pemerintahan periode sebelumnya, banyak agenda dan target pemerintahan yang berbeda.
Sejak awal, lanjutnya, Presiden ingin menghimpun sebanyak-banyaknya kekuatan sehingga harus membentuk struktur kabinet yang besar untuk menempatkan orang.
Menurut Firman, pengisian struktur pemerintahan yang besar itu juga lebih mempertimbangkan kepentingan politis. Akibatnya, tokoh yang dipilih belum tentu profesional di bidangnya. Berkaca dari sejarah, tokoh-tokoh dengan latar belakang politik pun kerap kali lebih mengutamakan kepentingan mempertahankan kekuasaan ketimbang mewujudkan program prioritas.
Hal ini selaras dengan pandangan Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial Center for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes. Kendati memiliki menteri dan wakil menteri yang relatif banyak, Presiden Prabowo tetap dominan di kabinet. Kondisi ini bisa terlihat dari sebagian besar kebijakan dikeluarkan tanpa adanya pembahasan dengan para menteri.
“Dominasi Presiden yang besar itu terlihat dalam menentukan banyak kebijakan penting. MBG (Makan Bergizi Gratis), Koperasi Merah Putih, segala macam itu diputuskan tanpa adanya pembahasan kebijakan mendalam di tingkat kabinet dan juga tingkat koalisi,” ujarnya di Jakarta, Selasa (23/12/2025).
Padahal, jika dilihat dari kabinet presiden-presiden sebelumnya, pembahasan kebijakan isu-isu strategis di kabinet cukup intens dilakukan. Sementara dalam pemerintahan Presiden Prabowo, tidak semua menteri yang dipanggil untuk membahas dan berdiskusi terkait kebijakan strategis.
Presiden Prabowo, lanjut Arya, juga hanya memanggil segelintir menteri atau pejabat tinggi negara untuk membahas isu-isu strategis. Sebut saja Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan, Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi, hingga Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia.
Ketiga menteri tersebut memang memegang jabatan penting di partai masing-masing. Zulkifli menjabat Ketua Umum PAN, sementara Bahlil adalah Ketua Umum Partai Golkar. Prasetyo Hadi saat ini menjabat Ketua DPP Partai Gerindra.
Namun, Arya melihat ketiga sosok ini dipanggil bukan karena latar belakang mereka di partai politik. Dia menilai para menteri ini dipanggil karena berkaitan dengan isu-isu strategis sesuai dengan kebijakan Prabowo.
“Jadi, saya kira itu bukan karena kedekatan koalisi, tetapi menteri-menteri tersebut banyak berhubungan dengan program strategis. Zulhas (Zulkifli Hasan) terkait pangan dan MBG, Bahlil soal energi. Ada juga yang sering dipanggil Ketua BGN (Dadan Hindayana),” lanjutnya.
Dominasi Presiden Prabowo Subianto juga terlihat dalam dinamika koalisi pemerintahan. Menurut Arya, hal ini bisa dilihat dari dukungan DPR terhadap kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan Prabowo. Namun, hal ini belum tentu bertahan lama.
“Presiden memang punya kekuasaan yang besar saat ini. Dia bisa melakukan reshuffle segala macam. Tapi, nanti di tahun ketiga belum bisa dipastikan karena partai-partai itu akan berhitung juga,” ujarnya.
Perhitungan tersebut, kata Arya, termasuk bagaimana kondisi masyarakat memandang pemerintahan Prabowo. Jika ada ketidakpuasan terhadap kinerja pemerintah, bukan tidak mungkin pelan-pelan partai akan menarik diri dan berpihak kepada masyarakat.
“Para partai saya kira tengah menunggu bagaimana situasi di tingkat masyarakat. Dan memang idealnya begitu, saat partai lebih memihak kepada kondisi masyarakat dibandingkan kekuasaan,” paparnya.



