1. Satwa liar dalam pusaran bencana ekologis Sumatera
2. Bukan hanya manusia, gajah pun jadi korban keganasan ”tsunami jilid dua” Aceh
3. Bangkai gajah di Pidie Jaya membawa pesan untuk manusia
4. Orangutan Tapanuli ditemukan mati tertimbun gelondongan kayu
5. Bencana ekologis Sumatera, guncangan besar konservasi orangutan tapanuli
Dalam konteks bencana alam di Sumatera saat ini, satwa liar, seperti gajah, turut menanggung dampak buruk lingkungan. Berbahayanya habitat mamalia darat terbesar itu terlihat dari ditemukannya bangkai gajah sumatera akibat terhanyut arus banjir bandang.
Guru Besar Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada Raden Wisnu Nurcahyo, Selasa (2/12/2025), menyampaikan bahwa pembunuh utama gajah tersebut ialah aktivitas alih fungsi lahan perkebunan kelapa sawit yang tak terkendali sehingga merusak habitat gajah.
Tragedi mengenaskan lain yang menimpa hewan juga terjadi pada kelompok satwa endemik Sumatera Utara, yakni orangutan tapanuli. Pascabencana ditemukan bangkai spesies kera langka terperangkap dalam tumpukan puing-puing banjir di wilayah hutan Batang Toru, Sumut (Kompas.id, 13/12/2025).
Pemberitaan dari The Guardian, Jumat (12/12/2025), memperkirakan terdapat 33-54 ekor spesies orangutan tapanuli telah terbunuh akibat bencana banjir dan longsor di Sumatera Utara. Dengan estimasi jumlah orangutan tapanuli kurang dari 800 ekor, risiko bencana ini menjadi alarm ancaman eksistensi satwa endemik tersebut.
Rianda Purba, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), menyatakan, beberapa sungai yang meluap di wilayah hulu blok barat hutan Batang Toru yang menjadi habitat orangutan merupakan dampak dari intervensi aktivitas pertambangan, perkebunan sawit, dan aktivitas manusia lainnya. Meskipun kerentanan wilayah Batang Toru terhadap bencana alam tergolong sedang, catatan deforestasi Walhi, Selasa (2/12/2025), memaparkan, deforestasi Batang Toru dalam periode 2016-2024 mencapai 72.938 hektar. Jika intervensi ekosistem tersebut tidak segera dihentikan, kerentanan tersebut dapat mengundang bencana yang lebih destruktif dan memicu keselamatan satwa endemik (Kompas, 13/12/2025).
Sama halnya dengan gajah sumatera, ekosistem yang semakin sempit dan terfragmentasi akibat deforestasi akan menyulitkan orangutan untuk bertahan hidup.
Bukan hanya manusia, dampak bencana hidrometeorologi akibat siklon tropis Senyar di Aceh turut dirasakan satwa liar. Satu ekor gajah sumatera ditemukan mati di antara timbunan kayu dan lumpur pascabanjir bandang di Kabupaten Pidie Jaya, Aceh. Pemerintah Provinsi Aceh menyebutkan, bencana kali ini menjadi yang terparah setelah gempa dan tsunami 2004.
Dilansir dari Kompas.com, bangkai gajah itu ditemukan di Gampong Meunasah Lhok, Kecamatan Meureudu, Pidie Jaya, Sabtu (29/11/2025).
Lokasinya di wilayah yang masih terisolasi karena akses di sekitarnya masih terendam luapan Sungai Meureudu. Akses ke sana hanya bisa dilakukan dengan berjalan kaki sekitar dua jam.
Saat ditemukan, kepala dan setengah tubuh gajah itu terkubur material sisa banjir bandang, Selasa (25/11/2025). Gajah itu diduga terseret arus banjir bandang yang berasal dari kawasan hutan di hulu Sungai Meureudu.
Namun, lantaran kondisi medan yang sulit dan peralatan yang terbatas, warga belum mampu mengevakuasi bangkai gajah tersebut. Saat ini, bangkai satwa langka itu dikabarkan sudah mengeluarkan bau menyengkat.
Warga Desa Meunasah Lhok, Muhammad Yunus, meyakini, bangkai gajah itu berasal dari hutan. Sebab, sepengetahuan Yunus, tidak pernah ada gajah yang hidup berkeliaran di sekitar kampungnya.
”Di desa ini tidak ada gajah. Kami belum pernah lihat gajah. Biasanya gajah ada di hutan. Baru sekarang ini kami lihat gajah di sini yang sudah mati karena banjir,” ujar Yunus.
Bukan hanya keberadaan bangkai gajah yang mengejutkan warga, tumpukan kayu-kayu besar di antara bangkai itu pun tidak kalah mengagetkan. Selama ini, warga tidak pernah melihat kayu-kayu berukuran raksasa tersebut.
Wakil Bupati Pidie Jaya Hasan Basri membenarkan temuan bangkai gajah tersebut. Namun, dia belum bisa memastikan apa penyebab gajah itu ikut terseret material banjir bandang. Dia juga tidak bisa memastikan kenapa material banjir bandang itu dipenuhi tumpukan kayu hutan berukuran besar.
Seekor gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) mati di antara timbunan kayu dan lumpur pascabanjir bandang di Kabupaten Pidie Jaya, Aceh. Hal ini menandakan rumah mereka di salah satu provinsi penting dalam hal keanekaragaman hayati gajah ini telah hancur oleh kerakusan manusia.
Populasi gajah sumatera terus menyusut dan tertekan akibat konversi habitat ke aktivitas ekonomi ekstraktif manusia, seperti tambang dan perkebunan sawit. Akibatnya, peluang kesintasan populasi menurun dan konflik gajah dengan manusia di kampung-kampung meningkat.
Adapun beberapa kantong gajah sumatera di Aceh antara lain meliputi Lamno-Krueng Sabee-Teunom-Woyla Barat, Seulawah-Jantho (Simeulue)-Kemala-Tangse, dan Alue Buloh-Cot Girek-Geureudong-Paya-Bakong.
”Beberapa kantong populasi gajah tersebut tersebar di luar kawasan konservasi utama sehingga tingkat perlindungannya cenderung lebih rendah dan lebih rawan terhadap gangguan,” kata Dewi Lestari Yani Rizki, Chief Conservation Officer WWF Indonesia, saat dihubungi dari Jakarta, Senin (1/12/2025).
Penelitian yang dilakukan Muhammad Ali Imron dan tim tahun 2023 berjudul ”The Importance of Mixed-use Landscapes for the Conservation of Sumatran Elephants (Elephas maximus sumatranus)” menyebutkan bahwa gajah pernah tersebar luas di seluruh Pulau Sumatera, tetapi sekarang populasinya kecil dan terisolasi.
Pada tahun 1980-an, survei cepat memperkirakan masih ada 2.800-4.800 ekor gajah. Empat dekade kemudian atau pada 2020, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memperkirakan total populasi gajah hanya 924-1.359 ekor, yang tinggal di 22 wilayah jelajah, sehingga masuk dalam daftar satwa terancam punah.
Riset tersebut mengukur potensi kesesuaian habitat untuk gajah di seluruh Pulau Sumatera. Hasilnya, lahan ideal untuk habitat gajah sumatera seluas 135.646 kilometer persegi atau 32 persen dari luas daratan Sumatera.
Tim pencari dan penyelamat atau SAR gabungan menemukan bangkai seekor orangutan tapanuli ketika menyisir Sungai Garoga di Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, pada 3 Desember 2025. Aparat penegak hukum sedang melacak pelaku yang menggunduli hutan di sekitar Daerah Aliran Sungai Garoga.
Salah seorang sukarelawan dalam tim SAR gabungan yang menemukan bangkai orangutan tapanuli (Pongo tapanuliensis) itu adalah Decky Chandrawan (37) dari Federasi Arung Jeram Indonesia (FAJI) Tapanuli Selatan. Ia mengatakan awalnya mendapat laporan dari warga yang menduga ada temuan jenazah manusia di hilir Sungai Garoga, Desa Pulau Pakkat, Kecamatan Sukabangun, Tapanuli Tengah.
”Setelah kami sampai lokasi, yang keliatan (telapak) tangan saja, menyembul dari tumpukan gelondongan kayu yang terbawa banjir bandang. Wajar kalau awalnya warga mengira itu jasad manusia,” kata Decky saat ditemui, Jumat (12/12/2025) malam.
Tim SAR gabungan lalu mengangkat tumpukan kayu dan melihat bangkai orangutan tapanuli itu sudah mulai membusuk. Menurut Decky, di punggung hewan itu masih tersisa bulu warna oranye yang membuat tim SAR amat yakin itu adalah satwa langka orangutan tapanuli yang kini jumlahnya kurang dari 800 ekor dan berstatus terancam punah (critically endangered).
”Saya menduga, bukan satu (orangutan) ini saja korbannya. Pasti lebih dari satu karena di hulu itu hutannya masih lebat dan memang itu habitatnya orangutan,” ujarnya.
”Temuan bangkai orangutan ini sempat kami rahasiakan dari publik agar semua pihak fokus lebih dulu ke pencarian (manusia) yang menjadi korban jiwa akibat banjir bandang,” ujar Decky.
Direktur Eksekutif Walhi Sumut Rianda Purba, Senin (8/12/2025), mengatakan, wilayah ekosistem Hutan Batang Toru terdiri dari blok barat dan timur. Blok barat merupakan habitat orangutan tapanuli dan harimau sumatera serta merupakan wilayah hulu sejumlah sungai yang meluap dan mengakibatkan banjir bandang.
Penelitian melalui citra satelit mengungkap bencana Sumatera menyebabkan kematian 34-54 ekor orangutan tapanuli. Bencana ekologis itu merusak rumah terakhir orangutan tapanuli di ekosistem Batang Toru, Sumatera Utara. Jika tidak ada langkah konservasi darurat, orangutan tapanuli akan menjadi spesies kera besar pertama yang punah dalam sejarah modern.
Hal itu menjadi kesimpulan jurnal penelitian berjudul ”Peristiwa Curah Hujan Ekstrem di Sumatera Menyebabkan Kehilangan Habitat yang Kritis dan Dampak Mematikan bagi Orangutan Tapanuli yang Terancam Punah” yang dipublikasikan 14 peneliti di preprints.org, Senin (15/12/2025).
Penelitian itu menyimpulkan, bencana banjir dan longsor menimbulkan guncangan besar pada populasi orangutan tapanuli (Pongo tapanuliensis) yang saat ini berstatus sebagai spesies di ambang kepunahan akibat hilangnya habitat.
Peneliti yang terlibat antara lain Panut Hadisiswoyo dari Orangutan Information Center, Jatna Supriatna dari Departemen Biologi Universitas Indonesia, serta Edvin Adrian dari Badan Riset dan Inovasi Nasional bidang meteorologi dan klimatologi.
Dari Borneo Futures Brunei Darussalam, ada Erik Meijaard, Muiz Wafiy, Safwanah Ni’Mattulah, dan Rona Dennis. Peneliti lainnya berasal dari University of Kent UK, Imperial College London, Wageningen University & Research, Liverpool John Moores University, Senckenberg Museum für Naturkunde Germany, The TreeMap France, dan University of Antwerp, Belgia.
Banjir bandang dan longsor dipicu oleh curah hujan Sumut lebih dari 1.000 milimeter hanya dalam empat hari. Hujan lebat memicu tanah longsor dan banjir di blok barat ekosistem Batang Toru, habitat inti 581 ekor orangutan tapanuli.
Analisis awal menunjukkan 3.964 hektar hutan yang sebelumnya utuh tiba-tiba tersapu oleh tanah longsor dan banjir. Hasil penelitian menunjukkan 33-54 ekor kemungkinan mati akibat tanah longsor, pohon tumbang, atau banjir.




