FAJAR, MAKASSAR — Keputusan Lucas Dias Serafim meninggalkan PSM Makassar di tengah musim Super League 2025/2026 datang seperti jeda yang tak pernah diumumkan sebelumnya. Sunyi, tiba-tiba, dan menyisakan tanya. Winger asal Brasil itu tak memilih klub besar Indonesia, tak pula menyusul pelatih yang pernah membuatnya percaya pada sebuah proyek besar. Ia justru mengambil jalan memutar: berlabuh di Kamboja bersama Visakha FC.
Pada Jumat sore, 26 Desember 2026, Visakha FC mengumumkan kedatangan Lucas Dias lewat media sosial. “Terkunci dan terisi. Lucas Dias telah tiba,” tulis klub itu singkat. Kalimat yang terdengar sederhana, namun menyimpan latar panjang tentang keputusan personal yang tak mudah.
Lucas datang ke PSM Makassar dengan harapan besar. Didatangkan pada awal musim, pemain berusia 28 tahun itu langsung mendapat peran penting. Dalam sembilan pertandingan, ia mencetak dua gol dan satu assist. Pergerakannya dinamis, disiplin dalam bertahan, dan kerap menjadi penghubung antar lini. Di lapangan, Lucas terlihat menyatu. Di luar lapangan, cerita itu ternyata tak sepenuhnya sama.
Pada 11 Desember lalu, Lucas mendadak pamit. Tanpa isyarat sebelumnya, tanpa rumor cedera panjang. Lewat akun Instagram pribadinya, ia mengumumkan perpisahan lebih awal dengan PSM—sesuatu yang, menurut pengakuannya sendiri, belum pernah ia lakukan sepanjang karier profesional.
“Hari ini, saya mengucapkan selamat tinggal lebih awal dari yang diharapkan, dan ini bukanlah keputusan yang mudah,” tulis Lucas. Kalimat pembuka itu terasa seperti pengakuan batin, bukan sekadar formalitas.
Lucas menegaskan bahwa keputusannya tak berkaitan dengan konflik internal. Tidak ada masalah dengan manajemen, pemain, maupun staf pelatih. Ia menyebut urusan keluarga sebagai alasan utama, menyatakan bahwa ada situasi pribadi yang menuntut kehadirannya secara penuh.
Namun, di balik penjelasan itu, terselip dimensi lain yang jarang dibicarakan secara terbuka dalam sepak bola: rasa tidak nyaman dan tekanan mental.
Dalam lingkaran terdekatnya, Lucas disebut mengalami stres yang cukup berat. Adaptasi budaya, tekanan ekspektasi suporter, tuntutan konsistensi performa, serta kondisi keluarga yang memburuk secara bersamaan menjadi beban berlapis. Sepak bola Indonesia—dengan atmosfer fanatisme tinggi dan sorotan tanpa jeda—tak selalu ramah bagi pemain asing yang sedang rapuh secara emosional.
Makassar memang menyambutnya hangat. Lucas bahkan menyebut PSM sebagai keluarga besar. “Saya disambut dengan tangan terbuka oleh rekan setim, staf, dan penggemar,” tulisnya. Namun kenyamanan kolektif tak selalu cukup untuk menenangkan pergulatan personal.
Perpisahannya pun berlangsung tanpa drama. Pada Kamis sore di Stadion Kalegowa, Lucas berpamitan langsung kepada pelatih, rekan setim, dan ofisial klub. Tak ada konferensi pers. Tak ada narasi heroik. Hanya salam perpisahan singkat sebelum latihan dimulai. PSM melepasnya dengan empati, memahami bahwa ada hal-hal yang tak bisa ditunda atau dinegosiasikan.
Selama di Makassar, Lucas sebenarnya datang dengan idealisme. Saat pertama diperkenalkan, ia berbicara tentang sejarah PSM, klub tertua di Indonesia, dan keinginannya menjadi bagian dari kisah besar itu. Rekam jejaknya pun mendukung: pengalaman di Liga Thailand bersama Uthai Thani FC, total 202 pertandingan profesional dengan 30 gol dan 28 assist.
Satu faktor yang membuatnya mantap ke PSM kala itu adalah Bernardo Tavares. Pelatih Portugal tersebut dikenal tegas, metodis, dan konsisten. “Bernardo telah membangun sesuatu yang kuat,” ujar Lucas kala itu. Kini, Bernardo berada di Persebaya Surabaya. Spekulasi reuni pun sempat menguat.
Secara logika sepak bola, langkah itu masuk akal. Lucas memahami filosofi Bernardo. Persebaya membutuhkan winger berpengalaman. Adaptasi tak lagi jadi soal. Namun sepak bola tak selalu tunduk pada kalkulasi teknis.
Lucas memilih Visakha FC—klub yang menawarkan lingkungan lebih tenang, ekspektasi lebih rendah, dan ritme kompetisi yang berbeda. Kamboja mungkin bukan panggung utama Asia Tenggara, tetapi justru di situlah Lucas menemukan jarak dari tekanan yang menggerogoti.
Keputusan ini bukan tentang ambisi yang mengecil, melainkan tentang keseimbangan hidup. Tentang memilih ruang yang lebih sunyi untuk memulihkan diri, baik sebagai pemain maupun sebagai manusia.
Reuni dengan Bernardo Tavares pun resmi tinggal wacana. Setidaknya untuk sekarang.
Lucas Dias memilih jalan lain. Dan seperti banyak kisah dalam sepak bola modern, kisah ini mengingatkan bahwa di balik statistik dan taktik, ada aspek rapuh yang sering luput dari sorotan: kesehatan mental, kenyamanan batin, dan keberanian untuk berhenti sejenak demi bertahan lebih lama.





