Bisnis.com, JAKARTA — Pusat perbelanjaan alias mal menghadapi tekanan berat sepanjang 2025 seiring melemahnya daya beli masyarakat. Fenomena rombongan jarang beli (rojali) dan rombongan hanya bertanya (rohana) membuat transaksi tetap rendah, meski mal ramai dikunjungi.
Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda menilai tekanan terhadap pusat perbelanjaan saat ini tidak hanya berasal dari maraknya perdagangan daring, melainkan juga dari penurunan pendapatan masyarakat. Alhasil, kondisi tersebut memicu fenomena rojali dan rohana dinilai merugikan pengelola pusat perbelanjaan.
“Dengan daya beli yang merosot, tahun 2025 seperti titik kelam pusat perbelanjaan hingga memunculkan fenomena rohana dan rojali,” kata Huda kepada Bisnis, Sabtu (27/12/2025).
Dia menilai, pelemahan daya beli masyarakat menjadi pemicu maraknya fenomena pengunjung yang datang ke pusat perbelanjaan tanpa melakukan transaksi.
Meski pendapatan masyarakat menurun, kebutuhan akan hiburan tetap ada. Namun, keterbatasan finansial membuat masyarakat memilih aktivitas berbiaya rendah, seperti berjalan-jalan tanpa melakukan pembelian.
Di sisi lain, sambung dia, ketika ingin berbelanja, konsumen justru cenderung beralih ke platform perdagangan daring yang menawarkan harga lebih kompetitif.
Menurutnya, program diskon belanja yang digulirkan pemerintah belum mampu mendorong konsumsi secara signifikan. Huda memandang, persoalan utama bukan pada harga, melainkan pada kemampuan beli masyarakat yang melemah akibat pendapatan yang turun dan terbatasnya lapangan kerja.
“Ketika pendapatan masyarakat turun, mereka tidak mampu untuk beli barang,” ujarnya.
Celios juga menyoroti sebagian kelompok rojali dan rohana berasal dari masyarakat yang belum terserap di pasar kerja. Huda melihat tambahan pendapatan musiman selama periode libur Natal dan Tahun Baru (Nataru) dinilai belum memberikan dampak berarti bagi pusat perbelanjaan.
Lebih lanjut, Huda melihat adanya pergeseran fungsi pusat perbelanjaan. Mal, ujar dia, kini tak lagi semata menjadi tempat transaksi jual beli, melainkan ruang publik untuk bersosialisasi. Perubahan perilaku ini menuntut pengelola untuk menyesuaikan model bisnis agar tetap berkelanjutan.
Untuk itu, Celios mendorong pengelola pusat perbelanjaan untuk mengembangkan sumber pendapatan alternatif di luar tenant ritel konvensional, seperti melalui penyelenggaraan acara, festival, maupun konser berskala menengah dan besar guna




