EtIndonesia. Pada Desember 1914, di Kota West Orange, New Jersey, meskipun malam musim dingin telah larut, Thomas Edison masih sibuk bekerja di pabriknya. Sang penemu besar itu tengah mencurahkan seluruh tenaga dan pikirannya, berusaha mewujudkan impian-impian yang ia kejar sepanjang hidup.
Bengkel kerja Edison dibangun dari baja dan beton, dan konon dirancang tahan api. Namun kenyataan berkata lain. Di tengah kesibukan para pekerja, tiba-tiba api menjilat atap bengkel, membubung tinggi dan menerangi langit malam yang gelap gulita.
Putra Edison yang berusia 24 tahun, Charles, panik mencari ayahnya ke sana kemari. Ketika akhirnya menemukannya, dia melihat sang ayah berdiri terpaku, menatap dengan pilu hasil kerja keras seumur hidupnya yang kini berubah menjadi abu. Rambut putih Edison yang berantakan tertiup angin, sementara wajahnya diterangi cahaya api yang menari-nari.
“Aku benar-benar merasa iba kepadanya,” kenang Charles. “Ayah sudah 67 tahun. Seluruh jerih payah hidupnya musnah hanya dalam sekejap.”
Saat Edison melihat Charles, dia justru berteriak cemas : “Charles, di mana ibumu?”
Ketika Charles menjawab bahwa dia tidak tahu, Edison malah bercanda : “Cepat cari dia dan bawa ke sini untuk menonton kembang api ini. Pemandangan semegah ini mungkin tak akan pernah dia lihat lagi seumur hidupnya.”
Keesokan paginya, Edison berdiri di hadapan puing-puing bengkel yang hancur total.
Namun alih-alih meratap, dia tersenyum dan mulai menarik kesimpulan: “Bencana ini sangat berharga. Semua kesalahan yang pernah kita buat ikut musnah bersama api. Syukurlah, kini kita bisa memulai kembali dari awal.”
Sungguh sebuah sikap mental yang luar biasa lapang.
Nilai kegagalan terletak pada kenyataan bahwa tanpa kegagalan, tak akan ada keberhasilan. Semakin sering gagal, semakin dekat kita pada kesuksesan.(jhn/yn)





